Thursday, 24 October 2013

Sederhana dan Jujur Impian PKS


Jakarta - PKS masih punya mimpi menjadi partai sederhana dan jujur. Mimpi ini seperti era Partai Keadilan (PK) dahulu yang penuh dengan kader yang memikat publik. Mungkinkah, dengan kondisi saat ini PKS masih bisa mencapai mimpi itu?

"Kita ingin menyampaikan ke publik, bahwa ada PKS yang beda loh," kata Kepala Bidang Humas PKS Mardani Alisera dalam surat elektroniknya, Senin (21/10/2013).
Mardani punya gambaran soal sederhana dan jujur itu dalam bentuk partai asketis. Berikut curahan hati dia soal PKS yang diimpikannya.

Politik Asketis

Dalam sebuah dialog membahas masa depan partai politik Indonesia menjelang 2014 pada medio Februari lalu, Burhanuddin Muhtadi menyampaikan kerinduannya pada parpol aksetis. Partai yang mampu menampilkan kinerja optimal dengan memberikan contoh melalui pengelolaan keuangan partai yang transparan, menjadikan politik sebagai wadah perjuangan nilai bukan transaksional-pragmatis.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, asketisme adalah paham yg mempraktikkan kesederhanaan, kejujuran, dan kerelaan berkorban. Jadi, politik asketis adalah pilihan politik yang mengedepankan fungsionalitas dengan menjadikan kesederhanaan, kejujuran dan berkorban jalan hidup. Dalam hiruk pikuk dunia politik Indonesia menjelang 2014, adakah politik asketis di Indonesia?

Pertanyaan ini menarik di tengah rendahnya citra parpol dan politisi di Indonesia saat ini. Bukan hanya perilaku koruptif yang mengemuka tapi juga masalah etis yang kian jarang terlihat. Sikap kenegarawan, sikap politik perjuangan serta iklim politik yang dinamis namun penuh dengan nuansa saling menghargai jarang dirasakan publik.

Bagi PKS sendiri, hingar bingar berita yang muncul berbeda jauh dengan suasana saat menjelang Pemilu 2004. Bukan berita tentang impor sapi, tentang uang mahar untuk pilkada atau cerita tentang kemewahan. Melainkan cerita yang mempesona publik yang dekat dengan iklim politik asketis.

Dalam sebuah perbincangan dengan Mas Silih Agung Wasesa, penulis best seller Political Branding, mengatakan bahwa bukunya tersebut murni terispirasi oleh apa yang dilakukan PKS pada periode 1999-2004 tatkala jargon bersih dan peduli benar-benar nyata dirasakan masyarakat. Di Yogya, tempat kuliah beliau, klinik pelayanan kesehatan PKS buka 24 jam melayani. Bahkan tidak jarang menjemput pasien. Para dokter dan perawat yang mayoritas kader dan simpatisan, bekerja tekun tanpa berharap imbalasn bahkan tak jarang nombok dana sendiri agar klinik tetap berjalan.

Di Kelapa Gading tatkala terjadi banjir besar, kepanduan PKS dengan seragam cokelatnya menolong sampai kepelosok di mana aparatpun kadang sulit menjangkaunya. Banyak diantara yang dibantu itu warga keturunan. Semua dilayani dengan ihsan. Tatkala diberikan imbalan, pejuang keadilan itu dengan senyum tulus menolak sambil mengatakan,” Kami gembira dapat menolong Bapak dan Ibu. Ini peluang pahala dan nilai yang diajarkan oleh PKS pada kami.”

Di ranah legislatif, kita temukan gelombang para aleg DPRD PKS yang dengan teguh menolak politik uang. Mulai dari akhYuswar Hidayatullah di DPRD Sumsel dan diikuti oleh kader lain dipelosok Idonesia. Di Pusat sosok Hidayat Nurwahid yang tampil lugas dengan kebersahajaannya mempesona publik. Salah satu stasiun TV sampai kesulitan untuk membawa peralatannya karena harus masuk jalan sempit menuju rumah Pak Hidayat.

Salah satu kenangan indah tatkala pendiri Forum Lingkar Pena ukhti Helvy memindahkan sketsa indah kehidupan kader PKS itu kedalam buku fenomenal Bukan Dari Negeri Dongeng. Bahwa, kesederhanaan, kejujuran dan kerelaan berkorban itu bukan hanya ada dalam nash Al Qur’an atau tuturan baginda Nabi Muhammad SAW atau teks buku akhlaq tapi wujud dalam sekumpulan orang-orang biasa yang terduduk dalam madrasah tarbiyah dalam lingkungan kader PKS.

Satu dekade telah berlalu. Panggung politik kini banyak dihiasi cerita pak Jokowi yang blusukan mendengar dan menyapa masyarakat. Di banyak hasil survei, popularitas dan elektabilitas Jokowi jauh mengungguli calon yang nota bene sudah beriklan untuk menjadi salah satu kandidat Presiden RI. Profil Jokowi yang merendah, blusukan, mendengar dan mencoba sibuk melayani masyarakat sebetulnya mengulang kembali pesan bahwa publik dari dulu memiliki nurani dan connected dengan organisasi, orang atau siapun yang memang fokus menjalankan politik asketisme ini.

Kita, para aktivis dakwah, sebenarnya sejak awal diingatkan menjalankan sikap ini. Imam Hasan Al Bana, pernah menggadaikan rumah tanpa ada seorangpun yang tahu untuk membiayai dana bulanan beberaga keluarga dakwah yang sang suami sedang ‘sekolah’ di madarasahnya Nabi Yusuf.

Kata Imam Hasan Al Bana,” Andai masyarakat tahu, kita lebih mencintai mereka ketimbang kita mencintai keluarga kita sendiri.” Sehingga wajar tatkala seorang ikhwah mengingatkan dulu 90% waktu kita untuk dakwah dan hanya 10% untuk diri dan keluarga. Sekarang, kita para aktivis dakwah, perlu berbenah agar harapan publik pada politik asketis bisa terwujud. 
detik.com

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan