Thursday, 17 October 2013

Haramkah Gaji PNS Karena Lulus Dengan Menyogok?



Assalamu'alaikum wrb.wb 

Saya mau tanya ustadz, bagaimana hukumnya gaji yang diterima seorang PNS yang lulus PNSnya dikarenakan menyogok? Apakah gajinya halal? atau haram karena sebenarnya dia tidak layak jadi PNS? 

Terimakasih ustadz atas jawabannya. 

Syukron

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,Yang namanya menyogok, tentu saja haram hukumnya. Sebab perbuatan menyogok atau suap itu melecehkan keadilan, menghinakan profesionalisme, dan mencederai rasa kebersamaan.


Maka semua pihak pasti sepakat bahwa menyogok untuk jadi PNS, apapun istilah penghalusan yang digunakan, tetap saja hukumnya haram. Ada begitu banyak ayat dan hadits yang bisa dituliskan dengan panjang dan berderet-deret memenuhi halaman ini.
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (QS Al Maidah 42).
Kalimat 'akkaaluna lissuhti' secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil suap atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.
وَلاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِل وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَال النَّاسِ بِالإْثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui(QS Al Baqarah 188)
Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan suap dengan ungkapan yang sharih dan zahir. Misalnya hadits berikut ini :
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ " وَالرَّائِشَ
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap (HR Khamsah kecuali an-Nasa'i dan dishahihkan oleh at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
لَعَنَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ - وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ - وَالرَّائِشَ
Rasulullah SAW melaknat penyuap, yang menerima suap dan perantaranya (HR Ahmad)

Maka kita tidak lagi mempermasalahkan hukum sogok menyogok disini, karena sudah disepakati keharamannya. Yang kita masalahkan adalah : apakah sepanjang umur si PNS itu bisa dikatakan makan gaji yang haram, hanya gara-gara dulu sewaktu penerimaan CPNS, dia sempat menyogok? Apakah si PNS itu harus memutuskan keluar dan berhenti, agar bisa makan harta yang halal?

Inilah yang menjadi masalah dimana kita dituntut untuk bersikap adil dan realistis. Kita tidak boleh dengan seenaknya main jatuhkan vonis haram atas gaji mereka, hanya karena kita merasa kesal dengan kebobrokan sistem dan kerusakan sikap mental. Semua harus dipertimbangkan masak-masak.
Kita Butuh Undang-undang, Bukan Sekedar Fatwa
Satu lagi, fatwa haramnya gaji buat PNS yang menyogok atau kinerjanya kurang baik, tentu tidak bisa hanya dikeluarkan oleh satu pihak. Fatwa itu harus dijadikan sebuah undang-undang dulu, sehingga punya kekuatan hukum yang tetap.
Saya percaya 100% bahwa fatwa haramnya gaji PNS yang menyogok, kalau pun ada yang berfatwa demikian, tidak akan mengubah apa pun. Sebab kedudukan fatwa itu amat rendah, bisa didengar kalau mau, tetapi bisa saja diabaikan dan dibuang seenaknya.
Kalau pun mau ditegakkan, maka yang kita butuhkan adalah undang-undang yang resmi, sah dan mengikat kepada semua pihak. Sehingga nantinya kalau terbukti seorang PNS menyogok atau berkinerja kurang baik, bisa dengan mudah diberhentikan. Dan pemberhentiannya  didasarkan pada undang-undang yang sah.
Banyak Konsenkuensi Yang Harus Ditanggung
Kalau kita dengan sewenang-wenang mengeluarkan fatwa dan vonis bahwa gaji yang diterima PNS itu haram, sementara para PNS tetap saja menjadi PNS dan menerima gaji, maka akan ada banyak konsekuensi yang harus kita tanggung dan juga harus kita pikirkan.
Kalau gaji PNS difatwakan haram, konsekuensinya berarti istrinya haram menerima nafkah dari suaminya. Karena uang yang dipakai untuk menafkahi adalah uang haram.
Dan kalau istri tidak menerima nafkah dari suaminya lantaran haram, pernikahan mereka bisa berujung kepada perceraian. Sebab seringkali pengantin pria membaca shighat ta'liq, bahwa kalau dalam sekian waktu tidak memberi nafkah kepada istrinya dan bla bla, maka jatuh lah talak satu.
Demikian juga yang berlaku pada anak-anaknya. Kalau gaji ayah mereka yang PNS itu difatwakan haram, berarti anak-anak itu tidak boleh menerima uang dan biaya hidup serta makan dari ayah mereka. Sebab terlanjur harta yang diberikan oleh ayahnya termasuk harta haram juga.
Kalau anak-anak yang tidak tahu dosa itu diberi makan oleh ayahnya dengan uang gaji yang kita vonis sebagai haram, maka konsekuensinya berarti darah dan daging yang tumbuh pada tubuh tubuh anak-anak itu juga haram. Karena bersumber dari gaji yang haram.
Lebih parahnya lagi, kalau PNS itu berbelanja dan melakukan transaksi jual-beli, maka hukum jual-belinya itu tidak sah secara syariah. Sebab uang yang dipakai itu pastinya dari gaji yang terlanjur kita vonis haram, maka hukumnya ikut jadi haram. Semua barang, makanan, minuman, bahkan rumah dan seterusnya,  yang dibeli pakai uang dari gaji itu mau tidak mau harus jadi haram hukumnya.
Bayar listrik, air minum, gas, cicilan kendaraan dan semuanya juga tidak sah, karena gajinya bersumber dari harta yang telah 'divonis' sebagai gaji yang haram.
Bahkan lebih parahnya lagi, kalau PNS itu mengeluarkan zakat, infak atau sedekah, semuanya tidak sah dan tidak mendatangkan pahala. Lagi-lagi sebabnya karena semua itu pakai uang haram.
Maka kita harus lebih berhati-hati untuk mengeluarkan vonis haram atas gaji PNS. Tidak mentang-mentang waktu masuknya lewat jalur sogok menyogok, lantas kita dengan seenaknya berfatwa atas keharaman gaji yang diterimanya.
Ketidak-layakan Jadi PNS
Kalau halal haramnya gaji PNS ditetapkan berdasarkan layak atau tidak layaknya seseorang menjadi PNS, maka konsekuensinya juga harus kita pertimbangkan matang-matang.

Sebab nanti akan ada banyak sekali PNS yang makan gaji haram. Kenapa?
Karena dalam kenyataannya, kita temukan memang banyak sekali PNS yang berperilaku tidak layak, atau setidak-tidaknya kurang layak untuk menjadi pelayan masyarakat. Meski pun tentu tidak semua PNS seperti itu.
Namun kalau secara serampangan kita fatwakan bahwa PNS yang tidak layak itu diharamkan dari memakan gaji, pasti akan muncul gelombang protes yang amat besar.

Berapa banyak para PNS yang sebenarnya kurang layak itu untuk menjadi pelayan masyarakat. Meski sudah ada mesin absensi di tiap kantor, sehingga yang telat akan dipotong gajinya, namun biar bagaimana pun yang namanya otak manusia pasti lebih pintar dari mesin.
Di berbagai instansi pemerintahan kita masih sering menyaksikan para PNS yang pagi-pagi jam 07.00 datang ke kantor sekedar untuk mengisi absen, setelah itu pulang lagi ke rumah atau ke kost-nya untuk meneruskan tidur. Baru kembali ke kantor nanti menjelang makan siang, lalu keluar kantor kelayapan entah kemana. Sore hari menjelang absen, sudah rapi berjajar di depan mesin absen. Itu pemandangan sehari-hari yang saya saksikan dengan dua bola mata saya ini.
Lagi-lagi ini bukan kelakuan semua PNS. PNS yang rajin dan kinerjanya baik jumlahnya pasti lebih banyak. Kalau pun ada yang seperti itu, tentu hanya oknum saja. Namun tetap saja kita amat menyayangkan kinerja PNS yang seperti itu. Sudah dapat gaji besar, tetapi kerjaannya tidak jelas. Ada istilah 'mandor kawat, kerja kendor tetapi makannya kuat.
Dan ketidak-layakan itu bukan hanya sebatas pada PNS saja, justru para pejabat yang jadi atasan mereka malah lebih parah lagi. Kalau dihitung-hitung, para pejabatnya malah lebih sangat tidak layak untuk memanggul amanah dari rakyat. Cuma karena mereka punya koneksi, bisa kasih upeti, maka dengan mudahnya jabatan itu 'dibeli'.

Kalau kita fatwakan bahwa pejabat yang tidak cakap dan tidak layak itu gajinya haram, akan muncul konsekuensi yang panjang juga. Dan sudah bisa dipastikan akan muncul gelombang protes yang lebih besar lagi.

Perbaikan Harus Dipastikan Berjalan
Namun saya setuju, dalam tataran masyarakat yang sudah maju dan tata kelola negara yang sudah ideal, ke depan nanti seharusnya kita tingkatkan kualitas pada PNS dan pejabatnya. Nantinya harus ada semacam standar penilaian yang profesional dan proporsional bagi para PNS dan pejabat. Mereka yang kita percaya untuk menjadi 'pelayan' seharusnya tidak berubah jadi 'penguasa'.

Dan kalau dari penilaian yang berjalan sepanjang waktu itu, ternyata 'rapot' mereka banyak merahnya, terpaksa tidak naik kelas. Dan bisa saja ke depan diusulkan, bahwa PNS atau pejabat yang tidak layak itu, bisa dikurangi gajinya, dibatasi fasilitas yang menjadi haknya, dan seterusnya. Bahkan seharusnya ada mekanisme pemecatan yang dijalankan dengan adil dan terbuka.

Semua itu perlu dipertimbangkan, demi untuk menjaga kualitas pelayanan para PNS dan pejabatnya kepada rakyat. Dan semua itu merupakan bentuk pertanggung-jawaban yang realistis, transparan dan masuk akal.

Namun sayangnya, kita masih harus banyak kecewa dulu untuk hari-hari ini. Ternyata meski usia reformasi sudah cukup lama, dan sudah bisa menurunkan seorang Presiden RI yang pernah berkuasa 32 tahun lamanya, bukan berarti kita bisa dengan mudah mengubah sikap mental para PNS dan mengubah gaya kinerja para pejabatnya.

Harus ada semacam good-will dari level kekuasaan yang lebih tinggi untuk masalah ini. Kita tidak mungkin berharap terlalu jauh agar PNS yang kurang layak itu sadar dengan sendirinya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Rumah
Fiqih
Indonesia

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan