REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Asma Nadia
Sopir dan kondektur berhenti menarik angkutan. Para pejalan kaki mengalihkan langkah ke warung kecil. Pekerja di hotel berhenti sejenak dan bersyukur, meski tidak banyak tamu yang datang. Rumah makan terisi kelompok pengunjung yang sengaja datang beramai-ramai.
Berpasang mata terpaku ke satu arah. Terdengar sorak dan teriakan gembira bercampur khawatir, nyaris serentak. Pemandangan yang mengingatkan saya pada euforia bulu tangkis di era delapan puluhan. Masa- masa Rudi Hartono, Lim Swie King, Ivana Lie, Icuk Sugiarto, Luis Pongoh, dan bintang bulu tangkis lainnya, saat bulu tangkis men jadi kebanggaan dan karenanya setiap pertandingan yang disiarkan dari layar kaca mustahil dilewatkan.
Tapi, masa itu sudah lama berlalu. Bulu tangkis tak lagi menimbulkan gelombang semangat nasional. Lalu apa yang sedang terjadi dan ditunggu begitu banyak kalangan pada hari dan waktu bersamaan, kali ini?
Jawabannya adalah, Timnas Sepak Bola Indonesia melawan Korea Selatan.
Bukan persoalan mudah mengalahkan Korsel. Bahkan, beberapa bulan lalu hal ini dianggap seperti mimpi bagi sebagian orang. Tidak hanya karena tim Korsel adalah juara bertahan, tetapi pada level U-19 mereka mempunyai tradisi juara piala Asia. Korsel merupakan negara paling sukses di Asia yang telah mengoleksi 12 trofi sejak turnamen itu diadakan pada 1959.
Sementara Indonesia hanya pernah sekali menerima tropi pada tahun 1961, itu pun sebagai juara bersama dengan tim dari Burma.
Tapi, sejak Timnas U-19 mengalah kan Vietnam di final Piala AFF U-19 dan mengakhiri puasa gelar selama 22 tahun, bangsa Indonesia mulai berani bermimpi. Apalagi kemenangan tersebut juga dicapai setelah melewati trauma selalu gagal setiap berhadapan dengan Malaysia.
Adalah pelatih Indra Sjafri yang sejak dini rajin memberi semangat pada anak asuhannya bahwa mereka harus dan bisa mengalahkan Korea. Namun, yang tidak disadari sang pelatih, melalui media, semangat yang ditanamkan tidak hanya menyentuh anggota tim tapi ikut hinggap dan menulari masyarakat Indonesia yang mendengar ucapannya, lalu melihat anak-anak muda kita bermain dengan militansi serta mental yang kuat.
Karena itu, tak heran ketika diadakan survei menjelang pertandingan Indonesia versus Korea, sebagian besar responden percaya Indonesia bisa menang. Dan kepercayaan ini terbukti. Evan Dimas, yang dimanjakan umpan matang oleh rekan-rekannya, melesakkan tiga gol ke gawang Korea Selatan. Hattricksang kapten tidak mampu disamakan oleh juara bertahan hingga akhirnya Indonesia menang.
Tumpah riuh kegembiraan menyelimuti bangsa Indonesia yang selama ini haus prestasi, daha- ganya terpenuhi. Alhamdulillah.
Kegembiraan yang membuat berbagai pihak untuk sekejap lupa akan berbagai masalah yang menimpa, kasus-kasus korupsi yang tak tuntas, nilai dolar yang tak kunjung turun, dan lain-lain.
Sayangnya, belum juga hilang kegembiraan, muncul berita tak sedap, semacam penyakit lama yang kambuh. Sang bintang, Evan Dimas, dipertanyakan karena berlabuh pada tim yang dianggap ilegal oleh organisasi Induk PSSI.
Bahkan, Vietnam mempertimbangkan menuntut Indonesia yang menurunkan pemain yang bukan dalam tim yang diakui PSSI. Sekali lagi masalah ini muncul dan membuat tak hanya saya, tapi cukup banyak pihak tak habis pikir. Masih relevankah meributkan status keorganisasian dan mengabaikan kemampuan atlet potensial untuk mengharumkan nama bangsa.
Sebegitu besarkah ego organisasi hingga kepentingan bangsa sanggup dinomor duakan?
Saya jadi teringat ketika keponakan bercerita bahwa tim futsal di sekolahnya habis dibantai oleh tim lain. Informasi yang mengherankan, karena saya tahu selama ini kemenakan dan beberapa teman satu permainan, benar-benar kuat. Bagaimana mereka yang merupakan pemain terbaik di sekolah, dikalahkan tim sekolah lain yang bukan unggulan?
Jawaban sang kemenakan sungguh mengaget kan "Kami semua tidak bisa ikut main karena kami tidak ikut ekskul futsal. Pelatih hanya membawa anak-anak yang ikut ekskul futsal saja, sekalipun pelatih tahu insya Allah, kami jauh lebih baik dari anak-anak yang mengikuti ekskul."
Rupanya pelatih hanya mementingkan ego keorganisasian. Baginya "formalitas" jauh di atas segala-galanya. Dengan sikapnya sang pelatih seolah berkata, jika kamu tidak ikut ekskul futsal, sekalipun paling jago di sekolah, sekalipun bisa membawa harum nama sekolah, tidak akan diturunkan, karena bagi sang pelatih hal itu sama dengan mencoreng nama ekskul futsal sendiri. Alangkah menyedihkan.
Seharusnya semua pihak berpikir untuk kebaikan secara keseluruhan. Bagaimana bangsa bisa maju dan berjuang, serta mempersembahkan kebanggaan, jika ego organisasi dan kelompok berada di atas kepentingan yang lebih besar? Parahnya hal ini ternyata tak hanya terjadi dalam skala nasional, bahkan sudah diterapkan sejak dini.
Mendadak saya jatuh kasihan pada ananda- ananda kita, yang telah menjadi korban ego, jauh sebelum mereka mulai berprestasi.
0 comments:
Post a Comment