Pada umumnya masyarakat kita meyakini akan pentingnya shalat sebagai sebuah sarana paling utama mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bahkan pada sebagian masyarakat islam di Indonesia, terdapat sebuah tradisi di mana seseorang jika merasa ajalnya telah dekat ia akan menyiapkan beberapa karung beras dan berwasiat kepada ahli warisnya jika kelak meninggal untuk membayarkan fidyah layaknya zakat fitrah dari beras tersebut sebanyak shalat fardhu yang ia tinggalkan. Atau jika pun tidak menyiapkan beras untuk fidyah, mereka berwasiat agar ahli warisnya kelak mengqadha’ setiap shalat yang ia tinggalkan semasa hidupnya.
Awalnya penulis fikir,ini hanyalah sekedar sebuah tradisi beberapa masyarakat di negri ini. Hingga ketika pada hari pertama id fitri tahun ini penulis mendapati bahwa hal tersebut bukan hanya sebuah tradisi namun seakan telah menjadi pemahaman yang diyakini sebagai ibadah/ketentuan syariat yang mesti dilakukan. Sebab pemahaman ini disampaikan khsusunya pada moment-moment kematian oleh orang-orang yang notabene dianggap ustadz bahkan kyai. Tepatnya hal itu penulis dapati ketika salah seorang mertua ipar penulis meninggal dunia pada tanggal 1 syawal 1434 H kemaren.
Lalu pertanyaannya adalah, apakah tradisi tersebut memang ada ketentuannya dalam syariat Islam atau adakah keterangan-keterangan dari ulama yang dapat kita temui terkait masalah mengqadha’ shalat bagi orang yang telah meninggal? Jika ada, apakah dengan cara melaksanakan shalat itu sendiri oleh ahli waris si mayit atau dengan memberikan fidyah kepada fakir miskin atas setiap shalat yang dipastikan telah ditinggalkan oleh si mayit semasa hidupnya?
Beberapa Hukum Terkait Dengan Orang yang Telah meninggal
Sebelum mencari jawaban atas pertanyaan di atas, perlu kiranya penulis paparkan beberapa keterangan ulama terkait beberapa hukum yang berhubungan dengan orang yang telah meninggal:
Pertama, Ulama sepakat bahwa seseorang yang telah meninggal tidak lagi dibebankan atasnya beban-beban syariat, sebab seseorang yang meninggal pasti tidak mampu melakukan ibadah apapun secara adaa’ (pada waktu yang telah ditentukan syariat) ataupun qadha’ (di luar waktu yang telah ditentukan syariat). Dan juga karena seorang yang telah meninggal pada dasarnya telah menuju proses hari pembalasan atas amal perbuatannya di dunia. (Fawatih Ar Rahamut, 1/175).
Ibnu Nujaim berkata,“Sesungguhnya kematian itu menghapuskan beban-beban syariat di dunia, karena beban-beban syariat itu bersandar kepada kemampuan, di mana seseorang yang telah meninggal tidak memiliki kemampuan itu. (Fath Al Ghaffar Syarh Al Mannar, 3/98).
Kedua, Ulama pun sepakat bahwa meskipun amal orang yang meninggal telah terputus,namun ia masih mendapatkan kucuran pahala dari amal shalih yang telah ia lakukan di dunia.
Sebagaimana keterangan sebuah hadits yang diriwayatkan imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia meninggal maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: 1) Shadaqah jariah atau, 2) ilmu yang bermanfaat atau 3) doa anak shalih.” (HR. Muslim).
Dan hadits riwayat Ibnu Majah dan ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di antara amal dan kebaikan yang akan terus diterima seseorang setelah ia meninggal adalah ilmu yang ia ajarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf al Qur’an yang ia wariskan, masjid yang ia dirikan, rumah bagi ibnu sabil yang ia bangun, sungai yang ia alirkan, atau shadaqah dari hartanya yang ia keluarkan semasa hidupnya, (pahala semua amal itu) akan mengikutinya setalah ia meninggal.” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah).
Ketiga, Adapun pahala yang dapat ia terima dari amalan yang bukan berasal dari hasil perbuatannya semasa hidup, maka ulama membaginya menjadi dua jenis:
1. Doa dan istighfar kaum muslimin baginya.
Imam An Nawawi berkata, “Ulama telah ber-ijma’ (sepakat) bahwa doa untuk mayit dapat bermanfaat baginya dan pahalanya dapat sampai kepadanya sebagaimana firman Allah SWT, “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami…” (QS. Al Hasyr: 10) dan doa Rasulullah SAW, “Ya Allah ampuni orang-orang yang hidup di antara kami dan orang-orang yang telah meninggal. (HR. Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi dari Abi Hurairah).
2. Amal ibadah yang dilakukan oleh orang-orang hidup yang diniatkan pahalanya dikirimkan kepada si mayit seperti ibadah haji, shadaqah, puasa, shalat, bacaan al Qur’an dll.
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat tentang kemasyru’iyatan amalan yang dilakukan atas dasar hal tersebut pada setiap jenis ibadah yang dilakukan termasuk sampai atau tidaknya pahala ibadah yang dilakukan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyya.39/255-256).
Dari beberapa keterangan ulama di atas dapat disimpulkan bahwa kematian merupakan salah satu ambang batas pembebanan beban-beban syariat pada seorang mukallaf dalam artian seorang yang telah meninggal tidak dituntut melakukan amal ibadah apapun sebab syarat qudrah/kemampuan telah hilang.
Adapun terkait pahala yang masih dapat diterima oleh mayit, maka ulama menjelaskan bahwa hal itu dapat terjadi, apakah pahala tersebut berasal dari amalan-amalan yang mayit lakukan semasa hidupnya dan pahalanya tetap terus mengalir meskipun ia telah meninggal atau amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup yang pahalanya diperuntukkan bagi sang mayit.
Qadha’ Shalat Bagi Orang Yang Meninggal
Sementara itu, jika kita kembali pada persoalan awal, yaitu tentang ibadah shalat yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal semasa hidupnya apakah ada ketentuan atau pendapat ulama tentang keharusan atau bolehnya ahli waris si mayit mengqadha’ shalat-shalat yang ditinggalkan, apakah dengan shalat itu sendiri atau dengan fidyah?
Maka dalam hal ini kita dapat merujuk kepada keterangan ulama tentang hukum mewakilkan (an niyabah) ibadah kepada orang lain.
Pertama; Ulama sepakat bahwa ibadah yang terkait dengan harta seperti zakat, shadaqah,dan kaffarat maka hal itu boleh diwakilkan kepada orang lain, apakah orang yang dibebankan ibadah tersebut mampu melakukannya sendiri atau tidak, masih hidup atau sudah meninggal. Sebab kewajiban yang berlaku atasnya adalah terkait dengan harta maka boleh saja diwakilkan kepada orang lain. Sebagai contoh jika seseorang memiliki kewajiban untuk mengeluarkan zakat maal (ternak, kebun, emas dll) namun sebelum ia mengeluarkannya, ia meninggal. Maka dalam hal ini kewajiban itu tetap berlaku dan ahli warisnyalah yang mengeluarkannya dari harta si mayit.
Kedua: Adapun jika ibadah itu terkait dengan badan seperti shalat dan puasa maka menurut kesepakatan ulama hal itu tidak boleh diwakilkan kepada orang lain semasa hidupnya berdasarkan firman Allah SWT:
وَأَنْ لَيْسَ لِلإْنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS. An Najm: 39).
Dan sabda Rasulullah SAW:
لاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلاَ يُصَلِّ يأَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ
“Tidak boleh seseorang puasa untuk orang lain dan tidak boleh pula seseorang shalat untuk orang lain.” (HR. Abd Razzaq dan Malik dari Ibnu Umar).
Namun para ulama menambahkan bahwa larangan dalam hadits ini terkait pembebasan dari beban syariat bukan pemberian pahala ibadah kepada orang lain.
Ketiga: Adapun jika yang bersangkutan telah meninggal maka menurut kalangan Al Hanafiyyah, Al Malikiyyah, dan Asy Syafi’iyyah (jumhur ulama) hukumnya tetaplah sama sebagaimana ia hidup (sholatnya tidak boleh diwakilkan atau diqadha’ oleh orang lain). Kecuali Ibnu Abd Al Hakam dari kalangan Al Malikiyyah yang berpendapat bolehnya seseorang mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sang mayit semasa hidupnya. (Lihat: Badai’ Ash Shanai’ 2/212, Ibn ‘Abdin 1/514,2/121-130. 5/96, Al Haththab 2/543, Al Furuq 2/205, 3/188, Kasyf Al Asrar 1/150, Nihayah Al Muhtaj 3/184-187).
Mayoritas ulama yang melarang hal tersebut beralasan bahwa mengqadha’ sholat orang yang telah meninggal menafikan fungsi dari ibadah itu sendiri. Sebagaimana penjelasan imam Asy Syatibi dalam Al Muwafaqat (2/167), “Sesungguhnya tujuan dari ibadah adalah ketundukan kepada Allah, menghinakan diri dihadapan-Nya, tunduk taat pada hukum-Nya, serta memenuhi hati dengan zikir kepada-Nya, hingga seorang hamba dapat merasakan kehadiran dan pengawasan Allah dengan hati dan anggota badannya serta tidak lalai dari-Nya. Dan selalu berusaha mengharapkan keridhoannya serta mendekatkan dirinya kepada Allah sesuai dengan kemampuannya. Sedangkan an niyabah (mewakilkan ibadah kepadaorang lain) menafikan tujuan ini bahkan bertentangan dengannya…” (lihat juga: Fath Al Qadir 2/359, 360, Al Majmu’ 6/372, Nihayah Al Muhtaj 2/187, Al Muntaqa 2/63, Bidayah Al Mujtahid 1/320, I’lam Al Muwaqqi’in 4/390).
Namun kalangan Al Hanafiyyah berpendapat jika sang mayit yang memiliki kewajiban mengqadha’ shalat sebelum meninggalnya berwasiat kepada wali atau ahli warisnya untuk mengqadha’ shalatnya dengan kaffarat maka wajib bagi mereka untuk melaksanakan wasiat tersebut berupa ½ sho’/2 mud/12 ons dari makanan pokok atas setiap shalat yang ditinggalkan. Adapun kaffarat itu sendiri hanya bisa diambil dari 1/3 harta yang ditinggalkannya sebagaimana ketentuan hukum wasiat yang hanya dibolehkan berwasiat maksimal 1/3 hartanya. Akan tetapi jika sang mayit tidak pernah berwasiat untuk melakukan itu maka gugurlah kewajiban shalat tersebut karena sebuah uzur (kematian). (Radd Al Mukhtar 1/237).
Sedangan sebagian kalangan Syafi’iyyah –pendapat yang tidak masyhur dalam mazhab– berpendapat bahwa wali mayit hendaknya memberikan fidyah atas setiap shalat yang ditinggalkan sebanyak satu mud/6 ons dari makanan pokok. (Nihayah al Muhtaj wa Hasyiah Asy Syibramalisi ‘alaihi 3/188).
Sedangkan kalangan Al Hanabilah membedakan antara shalat fardhu dan shalat nadzar. Untuk shalat fardhu mereka berpendapat bahwa tidak dibolehkan an niyabah/mewakilkan shalat wajib atas mayit sebab shalat wajib tidak dapat diwakilkan semasa hidupnya demikian pula setelah ia meninggal. Adapun jika shalat nadzar, maka jika ia tidak mampu melakukannya karena sebuah udzur lalu meninggal maka tidak perlu dibayar oleh ahli warisnya sedangkan jika pada asalnya ia mampu melakukan namun belum dilakukan hingga meninggal maka disunnahkan bagi ahli warisnya untuk membayar nazarnya. Dan diperbolehkan pula bagi selain wali mayit membayar nadzarnya dengan izin atapun tanpa izin dari mayit semasa hidupnya. (Syarh Muntaha Al Iradat 1/121, 417, 418, 457, 458, Al Mughni 9/31).
Wallahua’lam bis Shawab
Isnan Ansory, M.Ag
Peneliti dan Dosen Kampus Syariah, Rumah Fiqih Indonesia (RFI)
sumber: rumahfiqih.com
sumber: rumahfiqih.com
0 comments:
Post a Comment