Menitikkan Air Mata Membaca Kisah Qurban Bu
Sumi
Cerita pedagang hewan Qurban
(Dikutip dari Milis Daarut Tauhid)
Kisah ini terjadi ± tahun 1995, sudah cukup
lama memang, namun setiap ingin memasuki I’dul Adha saya
selalu teringat dengan kejadian yang pernah saya alami ini, dan sampai
saat ini saya tidak pernah melupakannya.
Awalnya saat
saya sedang menjajakan dagangan bersama teman (kami berempat waktu itu),
kami mengeluh karena sudah 3 hari kami berdagang baru 6 ekor yang terjual,
tidak seperti tahun sebelumnya, biasanya sudah puluhan ekor laku terjual
dan hari raya sudah didepan mata (tinggal 2 hari lagi).
Setelah selesai saya dan teman kembali
bergegas untuk kembali ke tempat kami jualan, dari kejauhan kami melihat
ditempat kami berjualan banyak sekali orang disana dan terlihat teman kami yang
berada disana kesibukan demi melayani calon pembeli. Akhirnya saya dan teman
saya berlari untuk cepat membantu melayani teman kami. Alhamdulillah pada saat
itu sudah ada yang membeli beberapa ekor kambing. “Terima kasih Ya Robb, Engkau
telah mendengar dan menjawab doa kami”, Syukur saya dalam hati.
Namun setelah semuanya terlayani dan keadaan
kembali normal, saya melihat seorang ibu-ibu sedang memperhatikan dagangan
kami, seingat saya ibu ini sudah lama berada disitu, pada saat kami sedang
sibuk ibu ini sudah ada namun hanya memperhatikan kami bertransaksi. Saya tegur
teman saya “Ibu itu mau beli ya ? dari tadi liatin dagangan terus, emang gak
ditawarin ya ?, sepertinya dari tadi udah ada disitu. Kayaknya Cuma liat-liat
aja, mungkin lagi nunggu bus kali. Jawab teman singkat. Memang sih kalau
dilihat dari pakaiannya sepertinya gak akan beli ( mohon maaf.. ibu itu
berpakaian lusuh sambil menenteng payung lipat ditangan kanannya) kalau dilihat
dari penampilannya tidak mungkin ibu itu ingin berqurban. Namun saya coba
hampiri ibu itu dan coba menawarkan. “Silahkan bu dipilih hewannya, ada niat
untuk qurban ya bu ?. Tanpa menjawab pertanyaan saya, ibu itu langsung
menunjuk, “Kalau yang itu berapa bang ?” Ibu itu menunjuk hewan yang paling
murah dari hewan yang lainnya. Kalau yang itu harganya Rp. 600.000,-, jawab
saya. Harga pasnya berapa bang ?, gak usah tawar lagi ya bu… Rp. 500.000 deh
kalau ibu mau. Fikir saya memang dari harga segitu keuntungan saya kecil, tapi
biarlah khusus untuk ibu ini. “Uang saya Cuma ada 450 ribu, boleh gak”. Waduh…
saya bingung, karena itu harga modal kami, akhirnya saya berembug dengan teman
yang lain. “Biarlah mungkin ini jalan pembuka untuk dagangan kita, lagi pula
kalau dilihat dari penampilannya sepertinya bukan orang mampu, kasihan,
hitung-hitung kita membantu niat ibu itu untuk berqurban”. Sepakat kami
berempat. “Tapi bawa sendiri ya.. ?” akhirnya si ibu tadi bersedia, tapi dia
minta diantar oleh saya dan ongkos bajaj-nya dia yang bayar dirumah. Setelah
saya dikasih alamat rumahnya si ibu itu langsung pulang dengan jalan kaki. Saya
pun berangkat.
Ketika sampai di rumah ibu tersebut. Subhanallaah…..
Astaghfirullaah….. Alaahu Akbar, merinding saya, terasa mengigil seluruh badan
saya demi melihat keadaan rumah ibu tersebut. Ibu itu hanya tinggal bertiga
dengan orang tuanya (ibunya) dan satu orang anaknya di rumah gubuk dengan
berlantai tanah dan jendela dari kawat. Saya tidak melihat tempat tidur/ kasur,
yang ada hanya dipan kayu beralas tikar lusuh. Diatas dipan sedang tertidur
seorang perempuan tua kurus yang sepertinya dalam kondisi sakit. “Mak … bangun
mak, nih liat Sumi bawa apa” (oh ternyata ibu ini namanya Sumi), perempuan tua
itu terbangun dan berjalan keluar. “Ini ibu saya bang” ibu itu mengenalkan
orang tuanya kepada saya. Mak, Sumi udah beliin kambing buat emak qurban, ntar
kita bawa ke Masjid ya mak. Orang tua itu kaget namun dari wajahnya terlihat
senang dan bahagia, sambil mengelus-elus kambing orang tua itu berucap, Alaahu
Akbar, Alhamdulillaah, akhirnya kesampaian juga emak qurban. “Nih bang duitnya,
maaf ya kalau saya nawarnya telalu murah, saya hanya kuli cuci, saya sengaja
kumpulkan uang untuk beli kambing yang mau saya niatkan buat qurban ibu saya.
Aduh GUSTI……. Ampuni dosa hamba, hamba malu
berhadapan dengan hambaMU yang satu ini. HambaMU yang Miskin Harta tapi dia
kaya Iman. Seperti bergetar bumi ini setelah mendengan niat dari ibu ini.
Rasanya saya sudah tidak sanggup lagi berlama-lama berada disitu. Saya langsung
pamit meninggalkan kebahagiaan penuh keimanan mereka bertiga.
“Bang nih ongkos bajajnya.!, panggil si Ibu,
“sudah bu cukup, biar ongkos bajaj saya yang bayar. Saya cepat pergi sebelum
ibu itu tahu kalau mata ini sudah basah, karena tak sanggup mendapat teguran
dari Allah yang sudah mempertemukan saya dengan hambaNYA yang dengan kesabaran,
ketabahan dan penuh keimanan ingin memuliakan orang tuanya.
0 comments:
Post a Comment