VIVAnews – Pemillihan Presiden tinggal hitungan hari. Mendekati 9 Juli 2014, kubu
Prabowo Subianto dan Joko Widodo bertarung kian sengit.
Berbagai hasil survei menunjukkan tingkat keterpilihan atau elektabilitas kedua
calon presiden itu tak jauh berbeda. Perlahan tapi pasti, elektabilitas Prabowo
terus meningkat dan mengancam Joko Widodo. Kubu Jokowi pun waspada. Mereka
bertekad bekerja lebih keras untuk mengamankan kemenangan capres nomor urut dua
itu.
Hasil survei terbaru Indo Barometer yang dirilis Minggu, 29 Juni,
memperlihatkan selisih elektabilitas Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kalla
semakin tipis. Elektabilitas keduanya yang beberapa waktu lalu terpaut 12,5
persen kini menciut menjadi hanya 3,4 persen.
Indo Barometer menyatakan elektabilitas Prabowo-Hatta naik 6,1 persen selama
tiga minggu terakhir, sementara Joko Widodo-Jusuf Kalla justru mengalami
penurunan suara 3,9 persen. “Dari perbandingan survei Mei dan Juni 2014 tampak
bahwa selama masa kampanye, Prabowo-Hatta meningkat,” kata Direktur Eksekutif
Indo Barometer Muhammad Qodari.
Pada survei Indo Barometer sebelumnya periode 28 Mei-4 Juni, perolehan suara
Prabowo-Hatta 36,5 persen dan Joko Widodo-Jusuf Kalla 49,9 persen. Sementara
pada survei teranyar periode 16-22 Juni, perolehan suara Prabowo-Hatta naik
menjadi 42,6 persen, dan Jokowi-JK turun menjadi 46 persen.
Jumlah massa mengambang atau swing voters berdasarkan hasil survei Indo
Barometer ini turun 2,3 persen menjadi 11,3 persen dari 13,5 persen pada bulan
Mei. Survei Indo Barometer digelar di 33 provinsi di Indonesia terhadap 1.200
responden yang dipilih melalui metode multistage random sampling. Margin of error survei 3 persen dengan tingkat
kepercayaan 95 persen.
Tren peningkatan suara Prabowo ini sudah terlihat dalam survei Lingkaran Survei Indonesia pimpinan
Denny JA yang digelar 1-9 Juni. Survei LSI dilakukan hanya selisih seminggu
dari Indo Barometer. Dari survei itu LSI menyimpulkan Prabowo dan Jokowi
sama-sama punya kans untuk memenangi Pilpres.
Hasil survei LSI yang dirilis pekan lalu, Kamis 26 Juni 2014, menunjukkan Joko
Widodo-Jusuf Kalla memiliki elektabilitas 45 persen, sedangkan Prabowo-Hatta
38,7 persen. Survei LSI dilakukan di 33 provinsi di Indonesia terhadap 2.400
responden. Margin of error survei ini 2 persen.
LSI mengingatkan meski Joko Widodo masih unggul tipis dalam survei, dia belum
tentu akan menang. Pasalnya, jumlah massa mengambang ketika survei itu digelar
mencapai 32,2 persen. Pemilih ‘galau’ ini belum memutuskan siapa capres yang
bakal mereka pilih. Ada pula yang sudah menentukan pilihan tapi masih bimbang.
Hasil berbeda dipaparkan oleh Lembaga Survei Nasional.
Dalam konferensi pers Minggu, 29 Juni –bersamaan dengan rilis survei terbaru
Indo Barometer, LSN menyatakan Prabowo-Hatta telah mengungguli Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
“Sebanyak 46,6 persen responden memilih Prabowo-Hatta. Pemilih Jokowi-JK hanya
39,9 persen,” kata peneliti utama LSN Dipa Pradipta. Survei LSN ini dilakukan
tanggal 22-26 Juni, tepat setelah Indo Barometer merampungkan surveinya.
LSN mengatakan Prabowo-Hatta unggul di Indonesia bagian barat atau
wilayah-wilayah berpenduduk padat, sedangkan Jokowi-JK unggul di Indonesia bagian
timur yang tak padat penduduk.
Berdasarkan survei LSN, ada 13,5 persen responden yang belum menentukan
pilihannya. Untuk memenangi Pilpres, kedua kubu harus bertarung merebut hati
para undecided voterstersebut.
“Kalau Jokowi bisa ambil semua dari 13,5
persen undecided voters itu, maka kemungkinan dia menang. Tapi
kalau Prabowo bisa ambil minimal setengah dari 13,5 persen undecided voters, maka Jokowi akan
kalah,” kata Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakry.
Survei LSN digelar di 34 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden
1.070 orang. Pengambilan sampel pada survei ini dilakukan secara berjenjang.
Survei memiliki margin of error 3 persen dengan tingkat kepercayaan 95
persen.
Disalipnya Joko Widodo oleh Prabowo itu juga terlihat pada hasil survei Institut Survei Indonesia yang digelar 15-21 Juni. Berdasarkan
survei terbaru ISI tersebut, elektabilitas Prabowo-Hatta 51,18 persen sedangkan
Jokowi-JK 48,82 persen. Sebelum itu pada survei ISI 1-7 Juni 2014,
elektabilitas Prabowo-Hatta 50,25 persen dan Jokowi-JK 49,75 persen.
Padahal pada survei pertama ISI tanggal 18-24 Mei, Joko Widodo masih unggul.
Ketika itu elektabilitas Prabowo-Hatta 47,27 persen, sementara Joko
Widodo-Jusuf Kalla 52,73 persen.
“Joko Widodo-Kalla sempat memimpin di awal masa kampanye. Namun seiring
jalannya kampanye dan debat capres, elektabilitas Jokowi justru turun dan
cenderung stagnan hingga saat ini,” kata Direktur ISI Haris Baginda, Senin 23
Juni 2014.
ISI memprediksi tren peningkatan suara Prabowo ini akan terus terjadi hingga
pemungutan suara tanggal 9 Juli. Menurut ISI, kecil kemungkinan kedua kandidat
capres akan bisa membelokkan tren itu. “Sebab waktu untuk meraih simpati sudah
semakin sempit. Maka semakin kecil juga peluang untuk meraih dukungan,” ujar
Haris.
Lembaga yang juga menggelar survei Pilpres adalah Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI). Dalam survei yang digelar
5-24 Juni itu, LIPI menyatakan Joko Widodo-Jusuf Kalla meraih elektabilitas 43
persen, sedangkan Prabowo-Hatta 34 persen.
Ada 23 persen responden yang belum menentukan pilihan dalam survei terhadap 790
responden yang dipilih berdasarkan metode multistage random sampling itu. LIPI melakukan pengumpulan data
survei melalui wawancara tatap muka. Margin or error survei ini sekitar 3,51 persen dengan
tingkat kepercayaan 95 persen.
Faktor
Penentu
Direktur Vox Populi Survey, Basynursyah, menyatakan tergerusnya elektabilitas
Joko Widodo terutama disebabkan oleh mencuatnya kasus dugaan korupsi pengadaan
bus TransJakarta di masa pemerintahan dia sebagai Gubernur DKI Jakarta. Kasus
itu kini diusut Kejaksaan Agung.
“Pencitraan positif yang dibangun seolah sirna dengan adanya kasus korupsi
pengadaan armada TransJakarta yang menyeret-nyeret Jokowi,” kata Basynursyah.
Terkait kasus ini, akhir Mei lalu beredar surat permohonan penangguhan
penyidikan atas nama Gubernur DKI Joko Widodo kepada Jaksa Agung. Dalam surat
yang tersebar luas di media sosial itu, tertulis Jokowi “Memohon dapat diberikan
penangguhan penahanan dalam proses penyidikan sampai selesainya Pemilu Presiden
untuk menjaga stabilitas politik nasional.”
Beberapa hari kemudian diketahui surat itu palsu. Tim Jokowi-JK pun melaporkan
pembuat surat palsu itu ke Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.
“Tidak pernah ada yang seperti itu. Surat itu
palsu. Fitnah-fitnah seperti itu banyak beredar. Jaksa Agung sudah
menyampaikan, saya tidak terlibat,” kata Joko Widodo, 29 Mei 2014.
Masih berhubungan dengan kasus korupsi TransJakarta, kelompok yang menamakan
diri Progres 98 pertengahan Juni kemarin memunculkan transkrip pembicaraan yang
mereka klaim terjadi antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Jaksa
Agung Basrief Arief. Dalam transkrip itu, Megawati meminta Jokowi tidak diseret-seret
dalam kasus korupsi bus TransJakarta.
Namun Jaksa Agung membantah melakukan perbincangan semacam itu dengan Megawati.
Ia pun melaporkan kasus tersebut ke Mabes Polri. Jokowi tak kurang kesal karena
isu ini. “Gila apa melakukan hal-hal seperti itu,” kata mantan Wali Kota Solo
itu.
Selain karena kedua isu terkait korupsi pengadaan TransJakarta itu, Joko juga
merasa elektabilitasnya merosot karena kampanye hitam tabloid Obor Rakyat.
Pengaruh negatif tabloid itu, menurut Jokowi, terutama terasa di Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI Jakarta.
Dampak signifikan kampanye hitam terhadap Joko Widodo ini, menurut Lingkaran
Survei Indonesia, membuat pemilih Jokowi loncat ke Prabowo. “Pemilih Jokowi
yang menyeberang sekitar 5-10 persen. Cocok dengan kenaikan 5-10 persen yang
dialami Prabowo,” kata peneliti LSI Fitri Hari.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin Makassar, Muhammad Asdar,
juga berpendapat isu di seputar kasus korupsi TransJakarta menjadi batu
sandungan utama Jokowi. “Korupsi ini menjadi isu yang paling mempengaruhi
elektabilitas. Dalam politik, semua bisa dimainkan,” kata dia.
Sementara Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari memaparkan 5 penyebab tren
kenaikan elektabilitas Prabowo. Pertama, bangkitnya mesin politik koalisi Merah
Putih yang berada di belakang Prabowo-Hatta.
Survei Indo Barometer menunjukkan, di
masing-masing partai politik pengusung Prabowo-Hatta, soliditas kader mereka
untuk memilih Prabowo mengalami peningkatan.
Kedua, pemilih beragama Islam cenderung memilih Prabowo-Hatta. Dukungan pemilih
Islam ke Prabowo-Hatta meningkat menjadi 44,1 persen, sedangkan ke Joko
Widodo-Jusuf Kalla malah turun menjadi 44,6 persen dari sebelumnya 49,9 persen.
Ketiga, bergabungnya Demokrat ke barisan Prabowo-Hatta, sekaligus restu tak
langsung yang diberikan Susilo Bambang Yudhoyono pada pasangan nomor urut 1
itu. Berdasarkan survei Indo Barometer, sebanyak 46,5 persen pemilih yang puas
terhadap kinerja SBY kini memilih Prabowo-Hatta.
Keempat, kubu Prabowo-Hatta gencar berkampanye secara lisan dari mulut ke
mulut. Pemilih lebih banyak membicarakan Prabowo-Hatta ketimbang Joko
Widodo-Jusuf Kalla.
Kelima, Prabowo-Hatta dinilai unggul dalam debat capres-cawapres. Sebanyak 49,7
persen responden yang disurvei Indo Barometer menyatakan Prabowo-Hatta lebih
baik dalam menyampaikan visi, misi dan program kerja.
Sebanyak 52,8 persen responden mengatakan
cara bicara Prabowo-hatta lebih baik, dan 51,1 persen responden mengatakan cara
berpakaian Prabowo-Hatta lebih menarik.
Menyikapi posisi Joko Widodo yang kian terancam, Juru Bicara Jokowi-JK Poempida
Hidayatullah meminta seluruh anggota tim sukses Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk
terus waspada terhadap rival mereka. “Tidak boleh lengah. Harus memacu kerja
untuk meraih dukungan,” kata dia.
Poempida juga meminta tim sukses dan relawan Jokowi-JK untuk bekerja lebih
keras karena 9 Juli sudah di ambang mata. (ren)
0 comments:
Post a Comment