Thursday, 12 June 2014

Bicara pengangguran, Prabowo-Hatta lebih kongkrit


Headline

INILAHCOM, Jakarta - Kampanye hitam! Frase ini belakangan jadi sangat populer. Maklum, aroma kompetisi antara pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai Capres-Cawapres kian hari kian sengit saja.
Buat sebagian kalangan, kampanye hitam dianggap biasa; terutama dalam konteks persaingan tadi. Mereka menganggap hal ini sah-sah saja. Tapi buat sebagian lain, kampanye hitam adalah salah satu bentuk mengahalalkan segala cara untuk meraih kemenangan. Pasalnya, konten kampanye hitam memuat berbagai hal yang ‘hitam-hitam’ dari kandidat pesaing.

Pertanyaannya kini, bolehkah kampanye hitam? Sebelum menjawabnya, publik juga belakangan dikenalkan istilah kampanye negatif. Nah, apa pula ini?
Pada dasarnya, kampanye hitam dan kampanye negatif adalah dua hal yang sama tapi sekaligus berbeda. Persamaannya, keduanya sama-sama menyebarluaskan segala keburukan, kelemahan, dan kesalahan kandidat pesaing. Cuma bedanya, kalau kampanye hitam konten yang disiarkan itu tidak terbukti kebenarannya alias fitnah belaka. Sedangkan kampanye negatif substansi materinya benar.
Pada titik ini, jadi jelas bahwa kampanye hitam tidak boleh dilakukan. Sebaliknya kampanye negatif bukan saja boleh, tapi bahkan perlu. Tujuannya, agar publik mengenal betul bakal jagoan yang akan dipilih. Istilah populernya; supaya jangan seperti membeli kucing dalam karung.
Soal teramat serius
Tapi tulisan ini tidak bermaksud membahas soal kampanye negatif atau kampanye negatif. Saya justru ingin mengajak para pasangan Capres-Cawapres plus tim sukses masing-masing untuk berkampanye cerdas dan mencerdaskan.
Saya cuma mau menggugat, kenapa subtansi kampanye itu tidak bicara persoalan yang terkait langsung dengan rakyat? Misalnya, soal pembukaan lapangan kerja dan mengatasi pengangguran?
Bukankah ketiadaan lapangan kerja inilah yang menjadi salah satu biang kerok persoalan? Tanpa pekerjaan, rakyat tidak punya penghasilan. Ujung-ujungnya, mereka sulit --kalau tidak mau disebut ‘tidak bisa’-- memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau sudah begitu, bisa muncul seabrek persoalan. Bukan saja di ranah ekonomi, tapi juga sosial, termasuk masalah kriminalitas dan lainnya.
Soal pengangguran di negeri ini memang tidak bisa dianggap remeh. Ia menjadi perkara teramat serius. Sampai Februari 2014 saja, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,70%.
BPS juga melaporkan jumlah angkatan kerja mencapai 125,3 juta orang. Angka ini 5,2 juta orang lebih besar daripada periode Agustus 2013 yang 120,2 juta orang. Dibandingkan penganggur Februari 2013, jumlahnya 1,7 juta orang lebih banyak. Validkah data ini? Ah, saya sama sekali tidak punya otoritas untuk mempersoalkannya.
Clear, konkret, implementatif
Dari kedua pasangan yang berlaga itu, harus diakui Prabowo-Hatta lebih clear dalam melihat dan menyelesaikan soal pengangguran. Pada visi misinya, mereka menargetkan penciptaan 2 juta lapangan kerja per tahun melalui sektor padat karya. Sektor ini meliputi infrastruktur, pabrik tekstil, sepatu dan alas kaki, dan pertanian.
Pembangunan proyek-proyek infrastruktur dipastikan bakal menyerap tenaga kerja, baik secara langsung maupun tidak. Sedangkan tekstil dan alas sepatu selama ini dikenal sebagai industri padat karya. Di tahun 1990an sektor ini bahkan jadi primadona ekspor mengalahkan komoditas lainnya. Sayang, kini pamornya kian suram saja.
Bagaimana dengan sektor pertanian? Saat ini tidak kurang ada jutaan lahan nganggur di Indonesia. Sebagian di antaranya sudah dikapling-kapiling oleh pengusaha besar. Masing-masing dari mereka mengantongi hak penguasaan puluhan ribu hingga ratusan ribu hektare. Kalau dijadikan lahan produktif, maka dibutuhkan jutaan tenaga kerja.
So, visi dan konsep Prabowo-Hatta dalam perkara pengangguran dan penciptaan lapangan kerja bisa dikatakan clear, konkret, implementatif.
Persoalannya, bagaimana mendongkrak minat tenaga kerja kita, khususnya kalangan muda, untuk mau menjadi petani? Selain gengsi yang dianggap di bawah banderol, nilai tukar petani juga sudah lama jeblok. Itulah yang menjelaskan mengapa sebagian besar petani kita dari waktu ke waktu terus saja miskin. Itu pula yang menjelaskan, kenapa kian lama kian sedikit saja anak muda yang rela melumuri tubuhnya dengan tanah becek pertanian.
Sebaliknya, pasangan Jokowi-Jusuf Kalla hanya menyinggung soal penciptaan lapangan kerja secara sepintas. Keduanya menyebut program ‘Indonesia Kerja’ sebagai bagian dari upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Sayang sekali, di sana nyaris tidak ada penjelasan apa dan bagaimana ‘Indonesia Kerja’ itu diwujudkan. Kalau pun ada, mereka hanya menyebut land reform dan program kepemilikan tanah 9 juta hektare. Tapi lagi-lagi, tidak jelas benar bagaimana implementasinya kelak.
Dalam visi-misi keduanya, yang ada program-program ambisius menggenjot berbagai proyek infrastruktur, tanpa tahu dari mana sumber dananya. Kalau sumber dananya kembali dari utang (baik lokal maupun luar negeri), kapan Indonesia bisa mandiri? Bukankah negeri ini sudah lama masuk dalam apa yang disebut dengan debt trap? Dan, lewat jebakan utang itu pula negara-negara maju kembali ‘menjajah’ negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. (edm)

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan