INILAHCOM, Jakarta - Kampanye
hitam! Frase ini belakangan jadi sangat populer. Maklum, aroma kompetisi antara
pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai
Capres-Cawapres kian hari kian sengit saja.
Buat
sebagian kalangan, kampanye hitam dianggap biasa; terutama dalam konteks
persaingan tadi. Mereka menganggap hal ini sah-sah saja. Tapi buat sebagian
lain, kampanye hitam adalah salah satu bentuk mengahalalkan segala cara untuk
meraih kemenangan. Pasalnya, konten kampanye hitam memuat berbagai hal yang
‘hitam-hitam’ dari kandidat pesaing.
Pertanyaannya
kini, bolehkah kampanye hitam? Sebelum menjawabnya, publik juga belakangan
dikenalkan istilah kampanye negatif. Nah, apa pula ini?
Pada
dasarnya, kampanye hitam dan kampanye negatif adalah dua hal yang sama tapi
sekaligus berbeda. Persamaannya, keduanya sama-sama menyebarluaskan segala
keburukan, kelemahan, dan kesalahan kandidat pesaing. Cuma bedanya, kalau
kampanye hitam konten yang disiarkan itu tidak terbukti kebenarannya alias
fitnah belaka. Sedangkan kampanye negatif substansi materinya benar.
Pada
titik ini, jadi jelas bahwa kampanye hitam tidak boleh dilakukan. Sebaliknya
kampanye negatif bukan saja boleh, tapi bahkan perlu. Tujuannya, agar publik mengenal
betul bakal jagoan yang akan dipilih. Istilah populernya; supaya jangan seperti
membeli kucing dalam karung.
Soal
teramat serius
Tapi
tulisan ini tidak bermaksud membahas soal kampanye negatif atau kampanye
negatif. Saya justru ingin mengajak para pasangan Capres-Cawapres plus tim
sukses masing-masing untuk berkampanye cerdas dan mencerdaskan.
Saya
cuma mau menggugat, kenapa subtansi kampanye itu tidak bicara persoalan yang
terkait langsung dengan rakyat? Misalnya, soal pembukaan lapangan kerja dan mengatasi
pengangguran?
Bukankah
ketiadaan lapangan kerja inilah yang menjadi salah satu biang kerok persoalan?
Tanpa pekerjaan, rakyat tidak punya penghasilan. Ujung-ujungnya, mereka sulit
--kalau tidak mau disebut ‘tidak bisa’-- memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalau
sudah begitu, bisa muncul seabrek persoalan. Bukan saja di ranah ekonomi, tapi
juga sosial, termasuk masalah kriminalitas dan lainnya.
Soal
pengangguran di negeri ini memang tidak bisa dianggap remeh. Ia menjadi perkara
teramat serius. Sampai Februari 2014 saja, Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) sebesar 5,70%.
BPS
juga melaporkan jumlah angkatan kerja mencapai 125,3 juta orang. Angka ini 5,2
juta orang lebih besar daripada periode Agustus 2013 yang 120,2 juta orang.
Dibandingkan penganggur Februari 2013, jumlahnya 1,7 juta orang lebih banyak.
Validkah data ini? Ah, saya sama sekali tidak punya otoritas untuk
mempersoalkannya.
Clear,
konkret, implementatif
Dari
kedua pasangan yang berlaga itu, harus diakui Prabowo-Hatta lebih clear dalam melihat dan menyelesaikan soal
pengangguran. Pada visi misinya, mereka menargetkan penciptaan 2 juta lapangan
kerja per tahun melalui sektor padat karya. Sektor ini meliputi infrastruktur,
pabrik tekstil, sepatu dan alas kaki, dan pertanian.
Pembangunan
proyek-proyek infrastruktur dipastikan bakal menyerap tenaga kerja, baik secara
langsung maupun tidak. Sedangkan tekstil dan alas sepatu selama ini dikenal
sebagai industri padat karya. Di tahun 1990an sektor ini bahkan jadi primadona
ekspor mengalahkan komoditas lainnya. Sayang, kini pamornya kian suram saja.
Bagaimana
dengan sektor pertanian? Saat ini tidak kurang ada jutaan lahan nganggur di
Indonesia. Sebagian di antaranya sudah dikapling-kapiling oleh pengusaha besar.
Masing-masing dari mereka mengantongi hak penguasaan puluhan ribu hingga
ratusan ribu hektare. Kalau dijadikan lahan produktif, maka dibutuhkan jutaan
tenaga kerja.
So,
visi dan konsep Prabowo-Hatta dalam perkara pengangguran dan penciptaan
lapangan kerja bisa dikatakan clear, konkret, implementatif.
Persoalannya,
bagaimana mendongkrak minat tenaga kerja kita, khususnya kalangan muda, untuk
mau menjadi petani? Selain gengsi yang dianggap di bawah banderol, nilai tukar
petani juga sudah lama jeblok. Itulah yang menjelaskan mengapa sebagian besar
petani kita dari waktu ke waktu terus saja miskin. Itu pula yang menjelaskan,
kenapa kian lama kian sedikit saja anak muda yang rela melumuri tubuhnya dengan
tanah becek pertanian.
Sebaliknya,
pasangan Jokowi-Jusuf Kalla hanya menyinggung soal penciptaan lapangan kerja
secara sepintas. Keduanya menyebut program ‘Indonesia Kerja’ sebagai bagian
dari upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Sayang sekali, di sana nyaris
tidak ada penjelasan apa dan bagaimana ‘Indonesia Kerja’ itu diwujudkan. Kalau
pun ada, mereka hanya menyebut land
reform dan program kepemilikan tanah 9
juta hektare. Tapi lagi-lagi, tidak jelas benar bagaimana implementasinya kelak.
Dalam
visi-misi keduanya, yang ada program-program ambisius menggenjot berbagai
proyek infrastruktur, tanpa tahu dari mana sumber dananya. Kalau sumber dananya
kembali dari utang (baik lokal maupun luar negeri), kapan Indonesia bisa
mandiri? Bukankah negeri ini sudah lama masuk dalam apa yang disebut dengan debt trap? Dan, lewat jebakan utang itu pula negara-negara
maju kembali ‘menjajah’ negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. (edm)
0 comments:
Post a Comment