Negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir pada 22 Maret 1946. Demikian tertulis dalam buku sejarah kemerdekaan Indonesia. Tapi, buku-buku sejarah umumnya tak menjelaskan lebih lanjut, mengapa dan bagaimana Mesir mengakui kemerdekaan Indonesia?
Pengakuan dari negara lain, merupakan syarat penting berdirinya sebuah negara. Tanpa pengakuan negara lain, kemerdekaan yang diproklamirkan tak ada artinya. Dan, untuk ini, bangsa Indonesia pantas berterima kasih kepada jamaah Ikhwanul Muslimin Mesir. Sebab, organisasi Ikhwanul Muslimin lah yang melobi terus menerus agar pemerintahnya mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Pada 16 Oktober 1945 sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk ‘Lajnatud Difa’i'an Indonesia’ (Panitia Pembela Indonesia). Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan dipimpin oleh Hasan Al Banna saat itu menjadi unsur utama 'Panitia Pembela Indonesia' ini.
Sejak itu Ikhwanul Muslimin sering mengadakan demo besar-besaran mendesak pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 November 1945, demonstrasi anti Belanda-Inggris merebak di Timur-Tengah khususnya Mesir. Sholat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Saat Belanda ingin kembali menjajah Indonesia dengan melakukan Agresi Belanda I dan II, jamaah Ikhwanul Muslimin mengerahkan kader-kadernya yang bekerja sebagai buruh di pelabuhan Mesir untuk menghalau kapal-kapal Belanda yang melintasi terusan Suez. Kapal-kapal ini membawa bantuan untuk pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia atas bantuan Inggris yang masih bercokol di Mesir walaupun Inggris telah memberikan kemerdekaan pada Mesir pada tahun 1922.
Pasca agresi militer Belanda ke-1 (21 Juli 1947), pada 9 Agustus kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said, Mesir. Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir terutama dari aktifis Ikhwanul Muslimin berkumpul di pelabuhan itu. Mereka menggunakan puluhan motor boat dengan bendera merah putih berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau motor-motor-boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air dan makanan untuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez.
Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk “Volendam” bergerak dengan dijaga oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr. Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris, dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan para buruh Mesir. Wartawan ‘Al-Balagh’ pada 10/8/1947 melaporkan:
"Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor-boat besar itu ke jurusan lain.”
Peristiwa-peristiwa bersejarah sebagiannya tercantum dalam buku "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri" yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan Lc. Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator dan Wakil Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan), dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution. [download Buku "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri" KLIK INI]
Ini berarti jamaah Ikhwanul Muslimin bukan hanya membantu secara politis tetapi juga dengan tindakan nyata mengorbankan harta bahkan nyawa untuk membantu saudaranya di Indonesia yang berada jauh ribuan kilometer jaraknya untuk merdeka dari kungkungan penjajah Belanda.
***
Pengakuan dari negara lain, merupakan syarat penting berdirinya sebuah negara. Tanpa pengakuan negara lain, kemerdekaan yang diproklamirkan tak ada artinya. Dan, untuk ini, bangsa Indonesia pantas berterima kasih kepada jamaah Ikhwanul Muslimin Mesir. Sebab, organisasi Ikhwanul Muslimin lah yang melobi terus menerus agar pemerintahnya mendukung kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
Pada 16 Oktober 1945 sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk ‘Lajnatud Difa’i'an Indonesia’ (Panitia Pembela Indonesia). Ikhwanul Muslimin yang berpusat di Mesir dan dipimpin oleh Hasan Al Banna saat itu menjadi unsur utama 'Panitia Pembela Indonesia' ini.
Sejak itu Ikhwanul Muslimin sering mengadakan demo besar-besaran mendesak pemerintah Mesir untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Ketika terjadi serangan Inggris atas Surabaya 10 November 1945, demonstrasi anti Belanda-Inggris merebak di Timur-Tengah khususnya Mesir. Sholat ghaib dilakukan oleh masyarakat di lapangan-lapangan dan masjid-masjid di Timur Tengah untuk para syuhada yang gugur dalam pertempuran yang sangat dahsyat itu.
Saat Belanda ingin kembali menjajah Indonesia dengan melakukan Agresi Belanda I dan II, jamaah Ikhwanul Muslimin mengerahkan kader-kadernya yang bekerja sebagai buruh di pelabuhan Mesir untuk menghalau kapal-kapal Belanda yang melintasi terusan Suez. Kapal-kapal ini membawa bantuan untuk pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia atas bantuan Inggris yang masih bercokol di Mesir walaupun Inggris telah memberikan kemerdekaan pada Mesir pada tahun 1922.
Pasca agresi militer Belanda ke-1 (21 Juli 1947), pada 9 Agustus kapal “Volendam” milik Belanda pengangkut serdadu dan senjata telah sampai di Port Said, Mesir. Ribuan penduduk dan buruh pelabuhan Mesir terutama dari aktifis Ikhwanul Muslimin berkumpul di pelabuhan itu. Mereka menggunakan puluhan motor boat dengan bendera merah putih berkeliaran di permukaan air guna mengejar dan menghalau motor-motor-boat perusahaan asing yang ingin menyuplai air dan makanan untuk kapal “Volendam” milik Belanda yang berupaya melewati Terusan Suez.
Kemudian motor boat besar pengangkut logistik untuk “Volendam” bergerak dengan dijaga oleh 20 orang polisi bersenjata beserta Mr. Blackfield, Konsul Honorer Belanda asal Inggris, dan Direktur perusahaan pengurus kapal Belanda di pelabuhan. Namun hal itu tidak menyurutkan perlawanan para buruh Mesir. Wartawan ‘Al-Balagh’ pada 10/8/1947 melaporkan:
"Motor-motor boat yang penuh buruh Mesir itu mengejar motor-boat besar itu dan sebagian mereka dapat naik ke atas deknya. Mereka menyerang kamar stirman, menarik keluar petugas-petugasnya, dan membelokkan motor-boat besar itu ke jurusan lain.”
Peristiwa-peristiwa bersejarah sebagiannya tercantum dalam buku "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri" yang ditulis oleh Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, M. Zein Hassan Lc. Buku ini diberi kata sambutan oleh Moh. Hatta (Proklamator dan Wakil Presiden pertama RI), M. Natsir (mantan Perdana Menteri RI), Adam Malik (Menteri Luar Negeri RI ketika buku ini diterbitkan), dan Jenderal (Besar) A.H. Nasution. [download Buku "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri" KLIK INI]
Ini berarti jamaah Ikhwanul Muslimin bukan hanya membantu secara politis tetapi juga dengan tindakan nyata mengorbankan harta bahkan nyawa untuk membantu saudaranya di Indonesia yang berada jauh ribuan kilometer jaraknya untuk merdeka dari kungkungan penjajah Belanda.
***
Dan, sungguh keterlaluan kalau ada yang sekarang menyatakan IKHWANUL MUSLIMIN adalah organisasi TERORIS.
Sebuah media di Mesir, al-masryalyoum belum lama ini menurunkan hasil wawancara dengan Utusan Presiden RI untuk Timur Tengah, Alwi Shihab. Kedatangan Alwi ke Mesir diutus Presiden Jokowi untuk mengundang diktator as-Sisi guna menghadiri Konferensi Asia Afrika pada 19-24 April mendatang.
Dalam salah satu kutipan wawancara tersebut, mantan menteri luar negeri itu menyebut organisasi Ikhwanul Muslimin (IM) sebagai teroris.
Berikut kutipan wawancara Alwi dengan media Mesir, yang diposting Republika Online...
Menurut Anda, bagaimana dengan Revolusi 30 Juni 2013 (maksudnya kudeta militer yang berujung lengsernya presiden sah Muhammad Mursi)?
Alwi: Revolusi 30 Juni menggagalkan upaya pemecahbelahan Mesir. Tuhan membimbing el-Sisi menjaga persatuan Mesir dari bahaya perpecahan. Saya yakin rakyat Mesir saat ini merasakan ketenangan penuh di bawah kepemimpinan el-Sisi yang mengupayakan kebangkitan hakiki untuk negaranya.
Lantas bagaimana Anda melihat Mesir di bawah pemerintah Ikhwanul Muslimin (sebelum kudeta)?
Alwi: Ada banyak kesalahan besar yang dilakukan oleh rezim IM. Mereka menginginkan perubahan mendasar dalam tatanan masyarakat Mesir, sedangkan manfaatnya cuma kembali ke golongan mereka sendiri, IM juga ingin mengubah identitas Mesir, tetapi rakyat Mesir mencatat sejarah mereka sendiri dengan aksi turun ke jalan pada 30 Juni. Aksi ini dianggap sebagai revolusi rakyat terbesar dalam sejarah yang hendak menjaga persatuan negara, el-Sisi tanggap menerima keinginan rakyat itu.
Apa sikap Indonesia terhadap IM?
Alwi: Ada sebagian kecil kalangan di Indonesia yang menilai IM bukan kelompok teroris, tetapi mereka berubah pikiran dan mulai berpendapat IM telah melenceng dari prinsip-prinsip pergerakan awal mereka. Kekacauan dan aksi teror yang mereka tunjukkan menunjukkan kesalahan mereka dari prinsip-prinsip Islam yang luhur. Dan rakyat Mesir telah memperlihatkan kepada dunia, IM teroris. Buktinya, mereka bergandeng tangan dalam Revolusi 30 Juni untuk menyelamatkan Mesir.
Baru-baru ini Alwi Shihab kemudian mengklarifikasi berita itu. Alwi mengaku pernyataannya dipelintir media bersangkutan.
"Saya terkejut baca wawancara saya di harian Cairo baru-baru ini bahwa IM organisasi teroris. Kata-kata itu bukan dari saya tapi pewawancara yang dia simpulkan," katanya melalui akun Twitter, @ShihabAlwi. /akhina
0 comments:
Post a Comment