Islamedia.co - Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al Isra: 36)
Biasanya menjelang perayaan Natal, marak para pelayan mall, pertokoan, dan penginapan, menggunakan atribut natal. Biasanya mereka menggunakan topi Sinterklas. Umumnya mereka muslim dan muslimah, bahkan bisa jadi ada yang rajin shalatnya, muslimahnya pun ada yang berjilbab. Jilbab yes, Sinterklas Ok. Entah karena paksaan atasan, atau memang ketidaktahuannya. Yang jelas, dari sudut pandang apa pun, baik aqidah, akhlak, dan hukum, Islam melarang tegas hal ini. Baik ikut-ikutan apalagi menyerupai. Bukan ini saja, tapi lainnya seperti April Mop, Valentine, Hallowen, dan sebagainya.
Allah Ta’ala berfirman:
Wahai orang-orang beriman, jika kalian ikuti sekelompok orang-orang yang diberikan Al Kitab (Yahudi dan Nasrani) nisaya mereka akan memurtadkan kamu menjadi kafir lagi setelah kamu beriman. (QS. Ali Imran: 100)
Isyarat Kenabian
Sejak 15 abad lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sudah mengisyaratkan akan datangnya masa-masa umat Islam mengekor kehidupan Yahudi dan Nasrani. Pemikiran, budaya, mode, dan sebagainya. Minimal umat Islam sudah kehilangan identitasnya, tidak bangga dengan Islamnya, justru malu, dan lebih suka dan senang dengan identitas khusus kekufuran, dan paling tinggi adalah murtad.
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kalian benar-benar akan mengikuti jalan hidup orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai mereka masuk ke lubang biawak pun kalian tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 3456, 7320, Muslim No. 2669)
Isyarat ini begitu mengerikan. Sebab, umat Islam akan mengikuti mereka sebegitu jauh. Sampai walau mereka masuk lubang biawak, umat Islam akan mengikuti juga. Artinya, walau tidak layak, tidak pantas dan tidak patut diikuti, tetaplah diikuti. Tentunya lubang biawak dengan tubuh manusia lebih besar tubuh manusia, namun tetap kita akan memasukinya karena mengikuti mereka. Artinya, begitu memaksakan untuk tetap mengikuti mereka walau tidak pantas dan menyakitkan, sebagaimana tubuh manusia yang tidak pantas dan tida pas untuk memasuki lubang biawak.
Asy Syaikh Al Ustadz Mushthafa Al Bugha menjelaskan:
Betapa indah pemisalan ini, yang menunjukan benarnya mu’jizat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kita menyaksikan generasi umat ini begitu taklid (ikut-ikutan) terhadap bangsa-bangsa kafir di dunia. Baik berupa akhlak yang tercela, kebiasaan yang rusak, yang memancarkan bau yang busuk yang berputar dalam hidung manusia, di rawa penuh lumpur yang kotor, jahat lagi berdosa, dan menjadi peringatan bagi manusia di mana-mana. (Syarh wa Ta’liq ‘Alash Shahih Al Bukhari, 3/1283)
Mengikuti dan Menyerupai Mereka (Orang Kafir) Maka Bukan Golongan Kami
Kami sampaikan dua hadits untuk menegaskan hal ini. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Daud No. 4031, Ahmad No. 5115, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf No.33016, dll) (1)
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Bukan golongan kami orang yang menyerupai selain kami, janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani.(HR. At Tirmdizi No. 2695, Al Qudha’i, Musnad Asy Syihab No. 1191) (2)
Ketika menjelaskan hadits-hadits di atas, Imam Abu Thayyib mengutip dari Imam Al Munawi dan Imam Al ‘Alqami tentang hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang kafir:
“Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka, berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” (Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim, ‘Aunul Ma’bud, 11/51)
Imam Abu Thayyib Rahimahullah juga mengatakan:
Lebih dari satu ulama berhujjah dengan hadits ini bahwa dibencinya segala hal terkait dengan kostum yang dipakai oleh selain kaum muslimin.(Ibid, 11/52)
Demikianlah keterangan para ulama bahwa berhias dan menggunakan pakaian yang menjadi ciri khas mereka –seperti topi Sinterklas, kalung Salib, topi Yahudi, peci Rabi Yahudi- termasuk makna tasyabbuh bil kuffar – menyerupai orang kafir yang begitu terlarang dan dibenci oleh syariat Islam.
Ada pun pakaian yang bukan menjadi ciri khas agama, seperti kemeja, celana panjang, jas, dasi, dan semisalnya, para ulama kontemporer berbeda pendapat apakah itu termasuk menyerupai orang kafir atau bukan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menganggap kostum-kostum ini termasuk menyerupai orang kafir, maka ini hal yang dibenci dan terlarang, bahkan menurutnya termasuk jenis kekalahan secara psikis umat Islam terhadap bangsa-bangsa penjajah. Sedangkan menurut para ulama di Lajnah Daimah kerajaan Saudi Arabia seprti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi, dan lainnya, menganggap tidak apa-apa pakaian-pakaian ini. Sebab jenis pakaian ini sudah menjadi biasa di Barat dan Timur. Bukan menjadi identitas agama tertentu.
Pendapat kedua inilah yang lebih tepat, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam riwayat shahih, pernah memakai Jubah Romawi yang sempit. Sebutan “Jubah Romawi” menunjukan itu bukan pakaian kebiasaannya, dan merupakan pakaian budaya negeri lain (Romawi), bukan pula pakaian simbol agama, dan Beliau memakai jubah Romawi itu walau agama bangsa Romawi adalah Nasrani.
Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai jubah Romawi yang sempit yang memiliki dua lengan baju.(HR. At Tirmidzi No. 1768, katanya: hasan shahih. Ahmad No. 18239. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 3070. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya)
Sementara dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengenakan Jubbah Syaamiyah (Jubah negeri Syam). Riwayat ini tidak bertentangan dengan riwayat Jubbah Rumiyah. Sebab, saat itu Syam termasuk wilayah kekuasaan Romawi.
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
Banyak terdapat dalam riwayat Shahihain dan lainnya tentang Jubbah Syaamiyah, ini tidaklah menafikan keduanya, karena Syam saat itu masuk wilayah pemerintahan kerajaan Romawi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 5/377)
Syaikh Al Mubarkafuri menerangkan, bahwa dalam keterangan lain, saat itu terjadi ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang safar. Ada pun dalam riwayat Malik, Ahmad, dan Abu Daud, itu terjadi ketika perang Tabuk, seperti yang dikatakan oleh Mairuk. Menurutnya hadits ini memiliki pelajaran bahwa bolehnya memakai pakaian orang kafir, sampai-sampai walaupun terdapat najis, sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakai Jubah Romawi tanpa adanya perincian (apakah baju itu ada najis atau tidak). (Ibid)
Mengambil Ilmu Dari Mereka (Orang Kafir) Bukan Termasuk Tasyabbuh (penyerupaan)
Begitu pula mengambil ilmu dan maslahat keduniaan yang berasal dari kaum kuffar, maka ini boleh. Dahulu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan cara Majusi dalam perang Ahzab, yaitu dengan membuat Khandaq (parit) sekeliling kota Madinah. Begitu pula penggunakaan stempel dalam surat, ini pun berasal dari cara kaum kuffar saat itu, dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengikutinya.
Oleh karena itu, memakai ilmu keduniaan dari mereka, baik berupa penemuan ilmiah, fasilitas elektronik, transportasi, software, militer, dan semisalnya, tidak apa-apa mengambil manfaat dari penemuan mereka. Ini bukan masuk kategori menyerupai orang kafir. Sebab ini merupakan hikmah (ilmu) yang Allah Ta’ala titipkan melalui orang kafir, dan seorang mu’min lebih berhak memilikinya dibanding penemunya sendiri, di mana pun dia menjumpai hikmah tersebut.
Jadi, tidak satu pun ketetapan syariat yang melarang mengambil kebaikan dari pemikiran teoritis dan pemecahan praktis non muslim dalam masalah dunia selama tidak bertentangan dengan nash yang jelas makna dan hukumnya serta kaidah hukum yang tetap. Oleh karena hikmah adalah hak muslim yang hilang, sudah selayaknya kita merebutnya kembali. Imam Tirmidzidan Imam Ibnu Majah meriwayatkan –dengan sanad dhaif- sebuah kalimat, “Hikmah adalah harta dari seorang mu’min, maka kapan ia mendapatkannya, dialah yang paling berhak memilikinya.”
Meski sanadnya dhaif, kandungan pengertian hadits ini benar. Faktanya sudah lama kaum muslimin mengamalkan dan memanfaatkan ilmu dan hikmah yang terdapat pada umat lain. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, bahwa Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu pernah berkata, “Ilmu merupakan harta orang mu’min yang hilang, ambil-lah walau dari orang-orang musyrik.” (3) Islam hanya tidak membenarkan tindakan asal comot terhadap segala yang datang dari Barat tanpa ditimbang di atas dua pusaka yang adil, Al Qur’an dan As Sunnah. Wallahu A’lam wa Lillahil ‘Izzah
0 comments:
Post a Comment