Wednesday, 11 September 2013

Tiga Jari Menunjuk Kita

Oleh: Herry Tjahjono

Budaya tuding adalah refleksi dari sikap hidup, kebiasaan, dan perilaku kehidupan yang antitanggung jawab. Artinya, ketika kehidupan menuntut tanggung jawab seseorang (sesuai status dan profesi masing-masing), ia cenderung menolak bertanggung jawab.

Budaya tuding ini khas Indonesia yang kontraproduktif. Lihatlah gejala budaya tuding itu dalam keseharian kita, di sekeliling kita, di negeri ini. Di kalangan pemimpin, pejabat baru menuding pendahulunya atau sebaliknya: sang pendahulu menuding penggantinya tidak becus. Pemerintah lama menuding pemerintah baru sebagai penyebab amburadulnya kehidupan berbangsa, demikian juga pemerintah baru menuding pemerintah lama punya kontribusi terhadap kondisi sekarang.

Prinsip manajemen suksesi yang baik menyebutkan bahwa aspek tanggung jawab itu saling terkait satu sama lain dalam dinamika organisasi, baik dari pemimpin pendahulu maupun penggantinya, karena memang tak mungkin dipisahkan. Pejabat yang antimundur, baik karena kesalahan maupun kegagalan, adalah refleksi dari budaya tuding yang halus dan bersifat tidak langsung.

Alasan yang dipakai dengan cara menuding atasannya: saya menunggu pemimpin, presiden, sebab kewenangan menentukan dirinya harus mundur berada pada pemimpin. Pemerintah saling tuding dengan DPR.

Ketika ada narapidana yang kepergok hidup pesta-pora dan bak raja di penjara, semua saling tuding: baik di antara petugas, pemimpin lembaga pemasyarakatan, maupun jajaran kementerian. Pendeknya, budaya tuding terjadi dan merajalela hampir di segenap dimensi, khususnya di kalangan pemimpin (nasional).

Pertanyaannya: mengapa budaya tuding ini sangat kuat dan kental mewarnai kehidupan berbangsa kita? Jawabannya ada pada pendidikan. Ya, pendidikan budaya tuding pada manusia Indonesia itu dimulai sejak masa kanak-kanak sampai dewasa. Manusia Indonesia terperangkap oleh lingkaran setan budaya tuding, sejak kecil sampai dewasa. Sederhananya, sejak kecil seorang anak telah dididik tidak mengenal tanggung jawab, menghindari tanggung jawab, dan menolak tanggung jawab.

Lihatlah seorang anak yang terjatuh. Orangtua akan mengalihkan tanggung jawab pada batu, lantai, bahkan pengasuhnya. Demikianlah proses pendidikan model budaya tuding itu berlangsung di setiap kesempatan, termasuk di sekolah dan perguruan tinggi.

Selain dialihkan ke obyek lain atau orang lain, orangtua juga sering mengambil alih langsung tanggung jawab, bahkan ketika kehidupan menuntut seorang anak belajar bertanggung jawab. Sekilas, orangtua bak pahlawan yang sanggup melindungi anak- anaknya. Sementara itu, sang anak akan mulai belajar berdiri meringkuk di belakang orangtua. Sejak itu seorang anak mengenal budaya tuding dalam hidupnya.

Selanjutnya ketika anak beranjak dewasa, kehidupan menyodorkan berbagai contoh kepemimpinan budaya tuding di segenap dimensi kepemimpinan. Dan, ia mulai belajar melakukan imitasi budaya tuding itu dari para pemimpinnya. Maka, demikianlah proses pendidikan budaya tuding itu berlangsung terus-menerus, melalui lingkaran setan budaya tuding yang tak pernah diputus mata rantainya.

Dua sindrom

Tentu saja pola pendidikan budaya tuding pada masa kanak-kanak itu akhirnya juga melahirkan para pemimpin yang sekarang memimpin bangsa. Lingkaran setan budaya tuding itu setidaknya menghasilkan dua sindrom yang memprihatinkan.

Pertama, sindrom kentut! Jika dalam kerumunan tiba-tiba ada suara atau bau kentut, setiap orang akan cenderung berteriak lantang: ”Bukan saya!” Itu sebabnya, sindrom kentut disebut juga ”sindrom bukan saya”. Ketika kesalahan terjadi, seseorang akan cepat berteriak: ”Itu bukan saya, itu bukan tanggung jawab saya.”

Kedua, sindrom tinggal glanggang colong playu. Sindrom ini membuat seseorang lebih memilih meninggalkan arena dan melarikan diri dari tanggung jawab, colong playu. Contoh paling menjijikkan dari sindrom ini adalah para koruptor yang melarikan diri, menutup-nutupi kesalahan kerabat atau koleganya.

Kedua sindrom inilah yang, sekali lagi, dominan menghiasi pentas kehidupan berbangsa, khususnya pentas kepemimpinan nasional. Katanya kita adalah bangsa yang besar, tetapi kita lupa bahwa sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang punya tanggung jawab, bangsa yang siap dan mampu bertanggung jawab. Semua itu dimulai dari segenap warganya yang punya tanggung jawab.

Kata Winston Churchill, ”The price of greatness is responsibility”. Sebuah bangsa besar ditentukan kebesaran para pemimpinnya dan juga kebesaran segenap warganya.

Siapakah yang wajib memutus mata rantai lingkaran setan budaya tuding itu? Paling mudah adalah dengan ”menuding” para pemimpin itu. Namun, dengan menuding para pemimpin yang berkewajiban memberantas budaya tuding, berarti kita sendiri berperan melestarikan budaya tuding. Soalnya, yang paling bertanggung jawab memutus lingkaran setan budaya tuding, ya, kita semua yang termasuk dalam kategori manusia dewasa Indonesia.

Dua tugas pokok kita sebagai manusia Indonesia dewasa. Pertama, mendidik anak-anak kita belajar bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan sikap dan perilakunya. Jangan lagi suka mengambil alih tanggung jawab anak dengan dalih ingin menjadi orangtua yang bertanggung jawab. Itu tak mendidik, tetapi menjerumuskan anak. Kelak anak akan jadi manusia kerdil.

Kedua, memilih dengan penuh tanggung jawab para pemimpin yang berlaga, baik di tingkat dae- rah maupun tingkat nasional sesaat lagi. Kita wajib memilih para pemimpin yang tidak dihinggapi budaya tuding dalam rekam jejaknya. Kita wajib memilih dengan tanggung jawab yang total dan bulat, tidak asal nyoblos.

Saya jadi teringat kebijaksanaan lama yang mengajarkan: ketika kamu menuding orang lain dengan jari telunjukmu, pada saat itu ketiga jarimu yang lain menuding dirimu sendiri.

Herry Tjahjono, Terapis Buda

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan