As-safar atau melakukan
perjalanan adalah bagian dari hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
kita di dunia ini. Setiap kita sudah barang tentu membutuhkannya. Ada yang
melakukan perjalanan untuk kebutuhan dunia, ada juga yang melakukan perjalanan
karena agama, juga ada yang melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, berobat,
dan sebagainya.
Tidak
kalah pentingnya ada juga yang melakukan perjalanan hanya untuk bersilaturrahim
dengan kerabat, atau hanya sebatas berjalan mengisi liburan keluarga,
mengunjungi berbagai negara untuk kebutuhan riset, juga mudik atau pulang
kampung yang biasanya dilakukan oleh penduduk negri ini agar bisa berkumpul
saat lebaran, terutama pada lebaran Idul Fitri.
Karena
perjalan ini adalah bagian dari kehidupan, maka Islam juga melalui syariatnya
sangat memperhatikan masalah ini, karenanya juga Islam banyak memberikan keringanan
bagi mereka yang melakukan perjalanan, baik dalam hal thoharoh,
sholat, maupun puasa.
Kebolehan
Berbuka
Diantara
keringan yang Islam berikan kepada mereka yang melakukan perjalanan (safar)
adalah kebolehan untuk berbuka, hal ini didasari dari dali-dalil, baik dari
Al-Qur’an maupun dari hadits Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya:
Firman
Allah SWT:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
حدثنا يحيى بن يحيى.
أخبرنا أبو خيثمة عن حميد. قال: سئل أنس رضي الله عنه عن صوم رمضان في السفر ؟
فقال: سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فلم يعب الصائم على
المفطر ولا المفطر على الصائم.
Anas
radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang puasa Ramadlaan ketika safar, maka
ia menjawab : “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pada bulan Ramadhan. Maka, orang yang berpuasa tidaklah mencela orang
yang berbuka. Begitu pula orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1118].
Safar
dengan Trasportasi Moderen
Sebagian
dari masyarakat kita mencoba untuk berfilsafat bahwa perjalanan sekarang
berbeda dengan perjalanan mereka yang hidup dimasa lalu, bahwa perjalanan
dimasa lalu sangat menyusahkan dan melelahkan, jadi sangat wajar jika mendapat
keringan untuk tidak berpuasa (berbuka), namun yang demikian tidak didapat dari
perjalan sekarang.
Pesawat
terbang, bus besar, kereta api, kapal laut, mobil mewah dan sebagianya adalah
jenis transportasi moderen yang sangat memberikan kenyamanan dalam perjalanan,
sehingga ada anggapan bahwa keringan yang diberikan untuk berbuka itu sudah
tidak berlaku lagi. Padahal apa yang ada dalam pikiran mereka tidak bisa
langsung dibenarkan.
Dalam
tradisi fikih yang menjad sentral hukum itu adalah dalil, dan bahwa hukum yang
berkaitan dengan ibadah itu bersifat tetap, sampai ada dalil yang menghapus
keberlakuannya. Dan bahwa suatu hukum tidak bisa dihapuskan hanya dengan
standar logika semata.
Kebolehan
untuk berbuka itu sangat jelas landasannya, Al-Qur’an dan Sunnah. Keduanya
menyebutkan bahwa kebolehan berbuka itu atas alasan (illah) perjalanan (safar),
dan perjalanan yang dimaksud tidak mengharuskan perjalanan yang memberatkan (masyaqqah).
Dalam
teori illah, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudah
an-Nazhirmenyebutkan bahwa perjalanan (safar) yang disebutkan oleh
Al-Qur’an dan Hadits itu sudah masuk dalam katagori illah (alasan) yang
darinya bersumber banyak kemaslahatan (mansya’ al-hikmah), walaupun
mungkin disana tidak terdapat sesuatu yang memberatkan atau menyusahkan.
Jadi
perjalanan dengan sistem tranportasi moderen sekarang ini tidak menggugurkan
keberlakuan ayat serta hadits yang membolehkan bagi mereka yang melalukan
perjalanan untuk berbuka.
Imam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya jilid 25 halaman 210 juga
menuliskan:
يجوز الفطر للمسافر
باتفاق الأمة، سواء كان قادرًا على الصيام، أو عاجزًا، وسواء شق عليه الصيام أو لم
يشق
“Bahwa
kebolehan untuk berbuka bagi mereka yang melakukan perjalanan itu sudah
mendajadi kesepakatan semua ulama, baik bagi mereka yang mampu untuk berpuasa
maupun bagi mereka yang lemah untuk itu, baik pejalanannya memberatkan maupun
perjalanan yang tidak memberatkan”
Bagusnya
Berbuka atau Puasa?
Jadi
berbuka atau tetap berpuasa itu hukum dasarnya adalah boleh, bukan wajib. Jika
memang demikian, mana yang lebih utama untuk kita lakukan, berbuka saja atau
tetap berpuasa?
Dalam
hal ini setidaknya para ulama kita terbagi dalam tiga pendapat besar; Puasa
lebih utama, berbuka lebih utama, mana yang paling memudahkan itulah yang
utama.
1.
Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i, yang
demikian teruntuk bagi mereka yang kuat untuk berpuasa. Alasannya adalah bahwa
Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya ketika
melakukan perjalanan lebih banyak berpuasa ketimbang berbuka, dan Rasul shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak akan melakukan sesuatu kecuai yang utama untuk
dilakukan.
2.
Pendapat kedua, dimana berbuka lebih utama adalah pendapat dari Imam Ahmad,
Al-Auza’i, Ishaq dan lainnya, karena keringanan (rukhsah) yang diberikn
oleh Allah SWT itu lebih utama untuk diambil ketimbang diabaikan. Hal ini
senada dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إن الله يحب أن تؤتى رخصة
كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan
rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat
kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].
Imam
Muslim dalama riwatnya menyebutkan bahwa dulunya ketika Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam perjalanan beliau melihat segerombolan orang
yang berkumpul mengerumuni seseorang yang sepertinya dalam kelelahan, lalu
tiba-tiba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan
perihalnya, dan mereka menjawab bahwa dia yang mereka kerumuni itu dalam
keadaan berpuasa, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"ليس من البر أن
تصوموا في السفر".
“Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1115].
3. Pendapat Ketiga adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz, Mujahid dan
Qatadah bahwa yang paling utama itu adalah yang paling ringan diantara
keduanya. [أفضلهما أيسرهما ]. Landasan dasarnya
adalah karena Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah
dihadapkan diantara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah.
Maka
ilustrasinya seperti ini, jika badan kuat dan perjalanan tidak terlalu
memberatkan sedang mengqodho puasa adalah hal yang menyulitkan, karena kita
berpuasa disa’at semua orang berbuka, maka dalam hal ini berpuasa lebih utama,
sedang jika badan lemah dan perjalanan juga memberatkan dan mengqodho puasa
lebih mudah bagi kita walaupun pada waktu itu nanti semua orang berbuka, maka
dalam hal ini berbuka lebih utama untuk diakukan.
Jadi
pendapat yang ketiga ini membedakan kondisi kapan kita lebih baik berpuasa dan
kapan pula kondisi dimana kita lebih baik berbuka.
Puasa
lebih utama ketika kita khawatir lalai dalam mengganti puasa, atau bagi musafir
yang tidak mendapati kelelahan dalam perjalanannya, apalagi jika perjalanan
dilakukan dengan alat transportasi moderen seperti sekarang ini, atau juga bagi
mereka yang hidupnya selalau dalam perjalanan; sopir bus antar kota antara
provinsi, pilot, pramugari, masinis, nakhoda kapal, dan lainnya, mereka ini
baiknya berpuasa saja, jika memang perjalanannya tidak memberatkan.
Akan
tetapi sebaliknya jika memang perjalanan memberatkan, dan kondisi badan lemah,
seperti mereka yang sekarang ini sering mudik dengan menggunakan sepeda motor
karena mungkin tidak punya cukup ongkos, atau kehabisan tiket kreta api,
asalkan memang benar-benar tidak kuat untuk berpuasa, maka dalam hal ini
berbuka lebih baik.
Hanya
saja yang juga harus diperhatikan bagi mereka yang memilih berbuka agar sedikit
bersembunyi ketika makan atau minum, ini demi menjaga kehormatan bulan puasa
juga menghormati mereka yang sedang berpuasa. Juga yang perlu diperhatikan
untuk segera menggantinya ketika nanti bulan puasa sudah berakhir, hal ini
karena Allh SWT berfirman:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Jika
Memilih Berbuka, Kapan Berbukanya?
Safar
memang termasuk alasan yang dengannya kita dibolehkan untuk berbuka, akan
tetapi tidak serta-merta ketika ada niat untuk melakukan perjalanan kita sudah
boleh berbuka. Tidak. setidaknya ada beberapa hal yang harus
terpebuhi barulah kita boleh berbuka:
1.
Keluar Rumah atau Keluar Batas Kota
Jadi
tidak benar jika seandainya hanya dengan alasan safar, lalu dengan sengaja
sebelum keluar rumah kita sudah sarapan pagi, ngopi, ngeteh,
makan nasi uduk, gorengan, lontong, pempek, dan lain sebagainya. ini sangkaan
yang salah dalam memahami perihal kebolehan untuk tidak berpuasa ini.
Tetap
saja bahwa kita dianjurkan untuk makan sahur seperti biasa, dan paginya tetap
berpuasa, lalu kemudian packing dan saat perjalanan dimulai
kita masih dalam keadaan berpuasa, barulah setelah kita keluar rumah dan
setelah kita melewati batas kota berlaku kebolehan untuk berbuka, itu pun jika
perjalanan yang kita lakukan itu memenuhi jarak minimal perjalanan.
Imam
Nawawi dalam kitab Al-Majmu’-nya menegaskan bahwa seseorang itu
barulah dinamakan musafir jika dia sudah melakukan perjalanan yang biasanya
dimulai dengan keluar rumah dan sudah melewati batas kota.
Lebih
jelas Al-Qurthubi didalam tafsirnya jilid 2, hal. 278 menambahkan bahwa seorang
musafir itu tidaklah cukup disebut musafir hanya karena niatnya saja, yang
demikian berbeda dengan seorang yang mukim, disebut musafir dengan perbuatan,
dan dengan seketika bisa disebut mukim (menetap) walau hanya dengan niat. [لِأَنَّ الْمُسَافِرَ لَا
يَكُونُ مُسَافِرًا بِالنِّيَّةِ بِخِلَافِ الْمُقِيمِ، وَإِنَّمَا يَكُونُ
مُسَافِرًا بِالْعَمَلِ وَالنُّهُوضِ، وَالْمُقِيمُ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى عَمَلٍ،
لِأَنَّهُ إِذَا نَوَى الْإِقَامَةَ كَانَ مُقِيمًا فِي الْحِينِ، لِأَنَّ
الْإِقَامَةَ لَا تَفْتَقِرُ إِلَى عَمَلٍ فَافْتَرَقَا]
2.
Jarak Minimal
Para
ulama berbeda pendapat dalam batasan berapa jarak mininal perjalanan yang
membolehkan kita untuk berbuka, perbedaan ini sama perisis dengan perbedaan
para ulama dalam membatasi batasan minimal perjalanan yang membolehkan kita
untuk menjama’ atau mengqoshor sholat.
Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islmi wa Adillatuhmenyebutkan
bahwa myoritas ulama mensyaratkan perjalanan itu berjarak lebih kurang 89 km,
atau detailnya adalah 88, 704 km.
Kalangan
Hanafiyah menilai bahwa safar yang dimaksud adalah perjalanan yang memakan
waktu tiga hari perjalanan, hal ini didarkan kepada keterangan berikut:
كَانَ النَّبِيُّ يَأْمُرُنَا إذَا كُنَّا
سَفْرًا أَنْ لاَ نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ
“Rasulullah
SAW memrintahkan kami untuk mengusap kedua sepatu bila kedua kaki kami dalam
keadaan suci selama tiga hari tiga malam” (HR. Ahmad Nasa’i Tirmizi)
Akan
tetapi kalangan Hanabilah tidak mensyaratkan jarak, asalkan perjalanan itu
masuk secara katagori safar secara urf (budaya), sepertinya
mereka mengaminkan pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni Jilid
2 halaman 257, lagipula Al-Qur’an secara redaksional tidak menyebutkan jarak,
Al-Qur’an hanya menyebutkan katagori safar saja, maka disinilah peran urfdalam
membatasi mana yang secara budaya masuk dalam katagori safar dan mana yang
tidak.
Mudik,
berbuka atau tetap berpuasa? Adalah pertanyaan yang kita sendirilah bisa
menjawabnya setelah kita semuanya mengetahui segala hal yang terkait dengannya.
Semoga Allah SWT meberikan keselamat bagi kita semua para pemudik lebaran, dan
pada waktunya bisa berkumpul bersama keluarga tercinta dalam keberkahan
Ramadhan dan Idul Fitri.
Wallahu
A’lam Bisshawab
Muhammad Saiyid Mahadhir, Lc. MA.
0 comments:
Post a Comment