Friday, 26 August 2016

Dimana mainanku yang dulu..?

Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung seumur hidup. Dia tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Setiap manusia, siapa pun dia pasti membutuhkan bantuan orang lain dalam hidupnya. Baik hal yang besar ataupun kecil. Olehnya itu manusia dikenal juga sebagai makhluk sosial.

Proses sosialisasi pada akhirnya melahirkan dua tipe manusia yakni problem solver atau problem maker. Mereka yang suka berbagi, suka menolong dan peka terhadap sesama, saling memahami serta bertingkah laku positif dikategorikan dalam tipe problem solver. Tipe ini yang diharapkan tumbuh dan menghiasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mengisi semua sendi-sendi kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Sebaliknya mereka yang mementingkan ego sendiri, pelit dengan barang miliknya, suka mempermasalahkan hal-hal kecil, sering terlibat tawuran dan tindakan negatif lainnya termasuk dalam tipe problem maker. Mereka cenderung menjadi generasi yang menodai nilai-nilai sosial agung yang telah diilhamkan dalam setiap jiwa manusia.
Pada dasarnya proses sosialisasi dimulai sejak usia manusia lahir di dunia. Setiap anak dikaruniai nilai-nilai sosial yang luhur dari sang pencipta. Tugas orang tua selanjutnya adalah mempertahankan, merawat, memupuk, dan mengembangkan nilai-nilai sosial tersebut agar jangkauannya lebih luas. Walaupun juga, nurani menjadi hal yang sangat besar pengaruhnya pada proses ini. Posisi orang tua sangat penting dalam mengenalkan variabel-variabel yang akan mempengaruhi proses sosialisasi ini. Termasuk cara bijak dalam menyikapi perbedaan dalam proses bersosialisasi. Baik perbedaan selera, latar belakang pengalaman ataupun cara pandang terhadap suatu masalah.
Usia anak pra sekolah (golden age) merupakan masa kerentanan anak untuk melatih dirinya menjadi makhluk sosial yang problem solver. Pada usia ini membutuhkan usaha keras orang tua untuk melatih dan mengembangkan nilai-nilai sosial alamiah anak. Sebab, ketika nilai-nilai sosial tersebut tidak diasah dan dilatih maka akan menjadi terkebiri. Sehingga dia akan tumbuh menjadi generasi yang kurang peka dan egois dalam kehidupan sosialnya.
Dalam masa kerentanan tersebut, harusnya seorang ayah ataupun ibu sangat selektif dalam mendekatkan anak dengan objek-objek yang terkait dengan proses pengembangan jiwa sosialnya. Termasuk dalam menentukan permainan dan tontonan apa yang layak dilakoni oleh sang anak. Juga dalam menasihati dan menjelaskan ketidaktahuan anak yang muncul dalam rasa penasaran nya. Selain itu orang tua juga harus peka terhadap dinamika yang muncul di masyarakat berkaitan dengan proses anak dalam belajar bersosialisasi. Tindakan proteksi yang berlebihan akan mempengaruhi proses perkembangan sosialisasi anak.
Ketika orang tua menghindarkan anaknya untuk bergaul dengan anak lain yang status sosialnya berada di bawahnya, maka akan membuat anak tumbuh dan berkembang dengan perasaan kurang peduli terhadap sesamanya. Sang anak akan mengambil kesimpulan bahwa, “saya tidak boleh bergaul dengan anak orang miskin, karena ibu melarang ku”.  Sehingga akan tertanam di dalam pikirannya bahwa dia hanya boleh bergaul dengan teman yang selevel dengan dirinya. Akhirnya dia akan cenderung tumbuh sebagai pribadi yang sombong dan pelit dalam berbagi.

Ketika seorang anak tengah bermain bersama anak lainnya lalu dia menangis karena salah satu anak mengganggunya, maka sebaiknya orang tua menahan diri untuk melakukan pembelaan terhadap anaknya. kecuali anak lainnya melibatkan orang tua dalam menyelesaikan masalah tersebut. Sebaiknya orang tua menahan diri dan membiarkan anak tersebut memecahkan sendiri masalahnya sampai mereka mencapai kata damai bersama anak-anak lainnya. Mereka sesungguhnya sudah memiliki modal awal berupa kepekaan sosial alamiah yang telah diilhamkan oleh sang pencipta dalam dirinya. Karena tidak jarang kita menemukan anak-anak yang saling bergaduh, namun setelah itu mereka akan bermain dan jalan bersama lagi. Bahkan persahabatan mereka bertambah erat setelah hubungan diantara keduanya mereka perbaiki. Sedangkan keterlibatan dan intervensi orang tua dalam menyelesaikan masalah sosial anak hanya akan membuat mereka manja, egois dan bersifat pengecut.
Hari ini seiring perkembangan dunia digital permasalahan anak menjadi sangat kompleks. Sebab perkembangan dunia digital menambah variabel baru dalam mempengaruhi proses sosialisasi anak. Yang paling dekat dan sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari saat ini adalah lain tontonan dan games digital ataupun online yang sering dimainkan. Dua hal ini sangat akrab dalam kehidupan bermasyarakat saat ini. Sayangnya kemunculan nya tidak terlalu ditanggapi serius oleh para orang tua. Bahkan tidak jarang mereka ikut mendukungnya. Mereka merasa biasa-biasa saja ketika sang anak memperagakan beberapa adegan dan penampilan dari apa yang mereka tonton. Salah satu adegan yang santer saat ini adalah memperagakan aksi-aksi brutal dalam sinetron anak jalanan. Bahkan tidak jarang mereka saling beradu fisik dengan sesamanya dan membagi diri dalam geng-geng yang ada di sinetron tersebut. Sampai ada yang bercita-cita untuk menjadi anggota geng motor.
Sedangkan dari sisi games digital ataupun online, salah satu dampaknya adalah membatasi anak untuk belajar bersosialisasi dengan anak–anak sebayanya. Waktu mereka banyak tersita untuk games digital ataupun online yang cenderung membuat seseorang untuk cenderung mementingkan diri sendiri. Sebab aktivitasnya pada ruang–ruang sempit lagi terbatas interaksi nya. Akhirnya, tidak ada lagi pembiasaan bekerjasama dengan anak-anak lainnya untuk saling memahami satu sama lainnya. Permainan-permainan tradisional yang telah turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi telah tereduksi oleh games-games online. Kalau dulu ada permainan bentengan, engklek, kucing dan tikuskasti dan yang lainnya, maka saat ini sudah mulai tergantikan oleh Far cry, Mortal Kombat X, Alien Shooter, bahkan saat ini yang tengah populer adalah game Pokemon Go. Padahal permainan tradisional sangat syarat akan nilai-nilai sosial dan pembiasaan nya.
Permainan tradisional selain sebagai alat untuk melatih anak dalam bersosialisasi, juga merupakan salah satu kekayaan budaya kita. Para orang tua terdahulu telah membuktikan akan sikap sosial yang dibangun lewat permainan-permainan sederhana ini. Kekerabatan antar tetangga yang dibangun lewat permainan tradisional, begitu erat. Selain itu dari segi ekonomi, permainan tradisional juga tidak membutuhkan biaya besar. Bahkan ada yang sama sekali tidak membutuhkan biaya. Karena bahannya bisa didapatkan bebas di alam. Jadi teringat masa-masa saat diajak teman-teman untuk mencoret-coret tanah karena hendak bermain engklek.
Sehingga seperti apa generasi bangsa ke depannya sangat ditentukan oleh pembiasaan hari ini. Apa yang ditontonnya, permainan apa yang dimainkannya, kepada siapa dia bergaul, dan pendekatan apa yang diberikan orang tua kepada anaknya sangat mempengaruhi masa depannya. Apakah nantinya ia akan menjadi seorang problem solver ataukah problem maker.
Selamat Hari Anak Nasional. (dakwatuna.com/hdn)



0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan