Wednesday, 4 December 2013

Kisah Simol Siloper Koran Dan Tukang Sayur Yang Kini Jadi Calon Walikota

KASURAU - 1994. “Ustadz. Ini uangnya. Alhamdulillah, annida dan sabili nya habis semua. Tarbawi dan anak sholeh banyak yang pesan Ustadz. Kalau yang lain kurang laku”. Seperti bIasa, setIap akhir bulan, Simol menjemput majalah edisi baru ke Ustadznya. Sore itu lidah Simol kelu. Ia masih ciut untuk meminjam sebagIan uang setoran itu. Simol butuh uang itu. Amat butuh. Untuk membeli mutoh, mesin gambar. Simol khawatir, kalau jadi Ia membeli mesin itu. Ia bakal banyak mendapat orderan gambar dan tidak bisa mengantarkan majalah lagi. Simol merasa dirinya bukan bagIan dari dakwah lagi. Apalagi Simol belum dapat juga pengganti tugasnya sebagai loper majalah. 


1995. Pagi itu, seperti biasanya Simol dan sahabat-sahabatnya subuh di almadaniy dan selesai dengan halaqah. Saatnya saling berbagi keluh kesah. Entah kenapa, Simol masih juga ciut untuk berhutang. Apakah karena Simol merasakan perjuangan hidup Ustadz pun tak kalah berat. Usaha baru Ustadz pun seperti antara hidup dan mati. Menafkahi keluarga dari jualan sayur dan buah potong. “saya ini kan sarjana pertanIan. Salahsatu cara menghargai petani adalah menciptakan pasar untuk hasil yang mereka tanam?”. Canda Ustadz pagi itu penuh syukur. Padahal tempat tinggalnya di bawah standar kelayakan. Itu materi kulIah Simol kemaren; perumahan dan permukiman. “antum saja yang prihatin melihatnya. Kami di dalamnya bahagIa kok. Apalagi ada si ummi”. Candanya makin renyah. Simol tau kalo itu cara si Ustadz 'menyindir' peserta halaqah yang takut menikah. Iya. Simol memang prihatin. Prihatin melihat isi meja dagangan yang tak seberapa,  syukur-syukur masih ada yang menitipkan kue untuk di jual. Karena di depan warung Ustadz ramai anak sekolah pertiwi yang belanja pagi dan sIang hari. Sekolah itu mewajibkan siswanya zuhur berjamaah di masjid seberang jalan dan detik itulah rezeki si Ustadz.

1997. “Ustadz, saya mau stop dulu kuliah!. Bantuan dari baznas belum ada kabar!. Ngapain juga berharap tadz. Hidup berakal mati beriman. Saya masih punya 2 tangan dan 2 kaki”. Ustadz menatap Simol. Tak biasanya Simol ketus seperti itu. Simol tau Ustadz prihatin melihatnya. Apakah si loper majalah yang bercita terlalu tinggi?. Siapalah Simol!. Simol cuma berdinas sebagai gharim zuhur di musholla FPBS dengan proyek sampingan merapikan gudang koperasi UNP dari kardus dan karung. Segunung kardus dan karung itu belum tentu dapat menutupi biaya kuliahnya. Bagaimana mungkin membeli 12 mata rapidho dan 5 tabung kalkir setiap semester. Belum lagi meja dan mesin mutoh yang gagah impIannya itu. Harganya berlipat kali tarif spp Simol. Alhamdulillah saja Simol belum pernah membayar spp serupiahpun. Ada beasiswa BPPA-Dikti sampai wisudanya. Begitulah Simol anak si kuli bangunan. 

1998. “Saya ada uang ma’had. Kamu boleh pakai dulu”. Simol tak yakin uang sebanyak itu. Dua belas juta rupiah. Planing Simol berubah. Simol ingin ‘melarikan’ uang itu ke malaysia. Cerita tentang malaysia banyak Simol dengar dari Heri sahabatnya. Anak seorang tki ilegal yang kuliah di teknik mesin 93. Dan Simol pun tiba di Semenanjung. Membawa mukenah bordiran bukittinggi dan baju telukbelanga. Hampir dua tahun. Ia menjadi ‘pelancong’. Dengan identitas sebagai ‘student’. Gonta-ganti pintu migrasi Simol coba; portdickson. Malacca. Muar. Johor. Tak jarang Simol harus mencari visa ke migrasi Kolok-Thailand dan Johor-Singapore. Back packers. Alasan studi literasi, riset dan oleh-oleh dalam tas nya itu. Menjadi senjata jitu di pintu imigrasi. Alhamdulillah. Pasar seni kualalumpur dan bazar di kolej-kolej universiti. Menjadi wilayah jajahannya. Setiap kali ramadhan uang mahad itu pun berkembang empat kali lipat. Apalagi ketika rusuh jakarta dan turunnya soeharto. 3800 rp per 1 ringgit malaysIa, dan 5.500 rp per 1 dolar singapore. Fantastis!.

1999. “Ustadz. Ini laporan bagi hasilnya. Saya mau selesaikan tugas akhir. Kemarin saya jumpa bang Irwan Prayitno waktu sholat ashar di Kolej Malaya. Jumpa bang Urwatul Wutsqo di kolej islam antarabangsa. Alhamdulillah bisa satu lingkaran tausiyah. Beliau titip salam buat Ustadz. Ustadz. Saya juga ingin lanjut S2 seperti abang-abang di Almadaniy. Apalagi cerita Ustadz Suhairi ketika jadi sopir taksi waktu kuliah di madinah amat menginspirasi”. Ustadz memegang pundak Simol. Tatapannya bening. “Kembalikan berapa yang kamu pinjam. Dan serahkanlah sisanya untuk dakwah!”. Simol terharu biru. Simol merasa bahwa diri nya pun ternyata masih bagian dari dakwah. Selama ini yang Simol tahu. Hanya mereka yang aktif dalam ‘eldeka’ saja. “antum! Dakwah itu ibarat mobil. Harus ada yang berperan sebagai mesinnya, sebagai sopirnya, rodanya, sebagai bahanbakarnya, dst, bahkan sebagai kaca spionnya. Jika salah satunya tidak ada. Dakwah itu tidak akan jalan sempurna. Kalaupun. Besok pagi. Antum sudah merantau. Meninggalkan negeri ini. Tetaplah dalam dakwah. Dengan apa yang antum bisa lakukan. Ajaklah semua mahluk dimuka bumi ini pada kebaikan. Islam rahmatan lil alamin!”.

2013. Dua puluh tahun berlalu. Simol. Si kepala tataruang itu sedang sedikit lebay, Ia tengah berbalut rindu pada ustazdnya. Rindu pada tausyiah-tausyiah sang Ustadz. Tentang amanat dakwah yang diembannya di level birokrat. Sengaja. Simol membuka internet. Wow. Si pedagang sayur dan buah itu pun kini menjadi walikota. Semoga. Wajahnya sebentar lagi akan menghiasi majalah-majalah dakwah yang dulu Simol antar keliling kota. Harapan Simol. Kota ‘green city’ menjadi konsep tataruang kota yang dipimpinnya. Dimana warga akan menikmati hijaunya kota. Memanen berbagai komoditi pertanian. Dari halaman rumah sendiri. Bahkan menjadi nilai ekonomi dan ekologi. Selamat berdakwah Ustadz!.

# catatan bersama bapak Mahyeldi, Harneli Bahar, Ahmad Suhairi, Andi Zubir

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan