BAB I
PENDAHULUAN
Majelis Hakim yang kami muliakan
Rekan-rekan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Serta hadirin yang setia mengikuti persidangan ini,
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberi kita kekuatan dan kesehatan sehingga bisa menjalani persidangan
atas terdakwa Luthfie Hasan Ishaaq (LHI) yang sudah hampir mendekati saat-saat
akhir ini. Kami juga menyampaikan terimakasih dan rasa hormat yang mendalam
kepada Majelis Hakim atas segala kesabaran dan jiwa kepemimpinannya dalam
proses pemeriksaan persidangan ini menunjukkan keseriusan serta menjunjung
tinggi asas fairness, terkontrol dan profesional.
Perlu kami kemukakan, bahwa persidangan ini yang nantinya akan
diakhiri dengan putusan yang MENGATAS-NAMAKAN KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA, tentu merupakan putusan yang sangat diharapkan bukan saja oleh
Terdakwa LHI dan Penasihat Hukumnya tetapi juga tentunya diharapkan oleh rekan
JPU sekalipun.
Kami juga mengamati bahwa Yang Mulia Ketua Majelis setiap akan
membuka persidangan, dengan suara lirih namun terbaca oleh kami, senantiasa
mengawali dengan membaca dan menyebut asma ALLAH “Bismillah Arrochman Arochim”, Allah Yang Maha
Pengasih dan Penyayang, dan Allah yang juga Maha Adil, ini memberi arti bahwa
Yang Mulia Ketua Majelis telah menghadirkan Keadilan Allah SWT dalam ruang
pengadilan ini.
Dengan mengatas namakan Tuhan YME, dan dengan mengingat Allah yang
Arrochman dan Arrochim maka sudah barang tentu kita tidak perlu menghiraukan
surat tuntutan JPU, yang telah menuntut Terdakwa LHI dengan hukuman penjara 18
tahun, yang sangat tidak mencerminkan keadilan.
Selanjutnya, dalam rangka menegakkan Keadilan dan kebenaran,
perlu kiranya kita resapi juga pesan Rasulullah SAW dengan sabdanya yang
terkenal :yaitu
“Qull Haqq Walau Kaana Murron”
(Katakan yang benar, sebagai benar, walaupun pahit untuk
mengatakannya)
Kami, Penasihat Hukum Terdakwa, secara khusus merasa perlu
menyampaikan kesan bahwa persidangan ini telah berjalan secara seimbang. Yaitu
seimbang antara kepentingan untuk mendakwa Terdakwa LHI dan kepentingan untuk
membela Terdakwa LHI sebagai pihak yang tidak bersalah. Kami berpendapat
Majelis hakim telah berhasil berperan menciptakan keseimbangan ini. Sebab tidak
dapat dipungkiri bahwa dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, masih dapat
ditemui sementara Hakim yang bersikap “mengambil alih” tugas seorang Penuntut
Umum sebagai pendakwa, dan hanya tertarik untuk membuktikan kesalahan terdakwa
dan melupakan tugasnya sebagai Hakim dan tidak menyadari bahwa sikap seperti
itu adalah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 158 KUHAP yang melarang
seorang Hakim selama persidangan menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan
disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya seorang terdakwa.
Memperhatikan jalannya persidangan selama ini sebagaimana telah
dikemukakan diatas, kami Tim penasihat Hukum merasa yakin, bahwa Majelis
Hakim Yang Mulia tentunya akan secara obyektif menjadikan hanya fakta-fakta
yang terungkap selam persidangan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam
mengambil keputusan atas perkara ini, terbebas dari pengaruh pemberitaan
media masa dan pengaruh pendapat dalam berbagai tulisan. Hanya dengan demikian
Terdakwa dapat memperoleh keadilan dalam perkara ini. Sekali lagi “Qulil haq walau kaana murron“ katakan yang benar
sebagai benar meskipun pahit untuk mengatakannya.
Melalui persidangan yang terbuka ini, pada akhirnya kita tentu
telah dapat menjawab pertanyaan yang paling mendasar atas perkara ini, yaitu
apakah benar Terdakwa LHI telah melakukan perbuatan sebagaimana yang
didakwakan, yaitu melakukan korupsi dan kemudian melakukan pencucian uang?.
Tentang dakwaan korupsi, isu sentralnya adalah perihal dugaan
adanya hadiah atau janji dari Maria Elizabeth Liman yang akan memberikan Rp 40
milyar kepada Terdakwa LHI. Dari Rp 40 Milyar tersebut, menurut Penuntut Umum,
Maria telah mengeluarkan Rp 1,3 milyar, yang oleh Penuntut Umum diyakini diperuntukkan
bagi Terdakwa LHI.
Bahwa Terdakwa LHI adalah sebagai anggota DPR sebetulnya tidak ada
hubungannya dengan motif Maria. Jika betul Maria diposisikan sebagai penyuap
maka kedudukan Terdakwa LHI sebagai anggota DPR tidak diperlukan oleh si
penyuap untuk memperoleh hal yang dikehendaki. Sehingga faktor “anggota DPR”
hanyalah unsur yang ditempelkan oleh Penuntut Umum supaya kasus ini bisa
bergulir menjadi perkara dengan magnitude seperti
perkaranya Terdakwa LHI ini.
Kenyataan bahwa Terdakwa LHI mempunyai hubungan dekat dengan Ahmad
Fathanah dieksploitisir sedemikian rupa oleh Penuntut Umum untuk bisa
dimaknai sebagai sebuah kerja sama. Padahal yang terbukti kedekatan
tersebut justru sesuatu keadaan yang dimanfaatkan oleh Fathanah untuk mencari
uang untuk kepentingannya sendiri. Dengan mengatas namakan Terdakwa LHI,
Fathanah telah berhasil meminta uang dari Maria sejumlah Rp 1,3 milyar. Uang
ini telah diterima oleh Fathanah dan tidak pernah sampai kepada Terdakwa LHI. Jadi
sebetulnya bukan sebuah kerja sama namun lebih tepatnya adalah sebuah tipu daya
Fathanah terhadap Maria Elizabeth Liman. Jika Penuntut Umum mempercayainya
sebagai kerjasama maka berarti Penuntut Umum telah berhasil diperdayai juga
oleh Fathanah sebagaimana keberhasilannnya memperdayai Maria Elizabeth Liman.
Perihal dugaan adanya janji juga tidak terbukti. Yang terbukti
adalah sebuah upaya tipu daya dari Fathanah terhadap Terdakwa LHI akan adanya
janji pemberian Rp 40 milyar dari Maria untuk Terdakwa LHI. Karena ternyata
baik Maria maupun Elda tidak pernah menjanjikan demikian. Jadi bagaimana
mungkin Terdakwa LHI bisa dituduh telah menerima janji jika janji tersebut
tidak pernah ada? Sayang permintaan kami untuk mengkonfrontir antara saksi
Maria, Elda dan Fathanah, perihal janji ini tidak dikabulkan oleh
Majelis. Semoga penolakan oleh Majelis ini adalah karena Majelis memang
sudah yakin bahwa janji tersebut memang hanya karangannya Fathanah semata untuk
memperdayai Terdakwa LHI.
Tentang dakwaan TPPU, dari keseluruhan transaksi, pembelanjaan dan
penempatan uang yang didakwakan hampir semuanya (90%) telah terbukti bukan dari
hasil kejahatan. Beberapa transaksi yang tidak berhasil kami klarifikasi semata
karena ketidak-hadiran saksi, dan kami sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk
menghadirkannnya. Namun yang merupakan pembelaan kami perihal TPPU ini adalah
fakta bahwa Terdakwa LHI adalah pengusaha sukses sebelum menjadi anggota DPR.
Terdakwa LHI adalah pemegang saham mayoritas (praktis pemiliknya) PT.
Sirat Inti Buana. Pegawai perusahaan ini, DELLY AGUSTIAN UTAMA, memberikan
kesaksian di persidangan ini bahwa omzet perusahaan sejak tahun 2003 adalah
diatas Rp 35 milyar dalam setahun. Di tahun 2005 bahkan mencapai omzet Rp 72
milyar, di tahun 2005 Rp 67 milyar. Hal ini membuktikan bahwa PT . Sirat Inti
Buana (SIB) adalah bukan perusahaan fiktif sebagaimana yang hendak dikesankan
oleh sdr. Penuntut Umum, bahkan pembukuan perusahaan menunjukkan bahwa PT SIB
adalah perusahaan sehat. Yang jelas transaksi pembelian 5 bidang tanah di Bogor
seharga Rp 3,5 milyar, yang oleh penuntut umum dituduhkan sebagai transaksi
yang mencurigakan, telah berhasil kami buktikan bahwa sumber dananya adalah
dari PT SIB, milik Terdakwa LHI.
Selain dari pada pengusaha sukses, Terdakwa LHI juga dikenal
sebagai Ustad yang sukses. Murid-muridnya Terdakwa LHI juga banyak yang sukses
secara ekonomis. Contohnya Oke Setiadi, murid Terdakwa LHI yang sukses ini
adalah pengusaha Ban Mobil. Dengan kesuksesannnya itu Oke Setiadi, di
persidangan ini bersaksi, bahwa dia menginfakkan Rp 1 Milyar kepada Terdakwa
LHI yang oleh Terdakwa LHI dipergunakan untuk membeli mobil VW Caravelle untuk
kepentingan partai yang dipimpinnnya, yaitu PKS. Sdr Penuntut Umum menanyakan
bukti (tertulis) ? Kami heran, mana ada orang bershadaqoh dan berinfaq minta
tanda bukti. Demikian juga ketika menantunya titip uang untuk dibelikan rumah,
ya wajarlah jika seorang menantu percaya kepada mertua sehingga tidak
memerlukan tanda bukti.
Bendahara umum PKS, Ustad Mahfudz dan presiden partai Anis Mata
yang bersaksi di pengadilan memberikan keterangan bahwa adalah wajar bila
aset-aset PKS terutama aset bergerak seperti mobil, untuk alasan administratif
diatas namakan kader partai, karena biasanya memang donatur memberikannya
secara pribadi namun pribadi tersebut memberlakukannya sebagai amanah untuk
partai. Dan begitulah tradisi di PKS, sehingga mobil VW Caravelle yang secara
formil adalah tercatat milik Terdakwa LHI, tetapi sesungguhnya secara materiil
adalah asetnya PKS. Bila sdr Penuntut Umum juga berpendapat bahwa dalam hukum
Acara Pidana yang dicari adalah kebenaran materiil maka dengan pendekatan yang
sama mobil VW Caravelle juga harus diartikan, secara materiil, adalah sebagai
miliknya partai bukan milik pribadi Terdakwa LHI.
Oleh karena itu, jika sdr Penuntut Umum tertarik untuk menggali
profilnya Terdakwa LHI, jangan hanya diungkap profilnya sebagai anggota DPR,
namun juga profilnya sebagai pengusaha sukses dan profilnya sebagai Ustad yang
dicintai murid-muridnya. Hal ini perlu kami sampaikan karena adanya
pendapat Penuntut Umum bahwa transaksi dan aset-aset yang dikuasai Terdakwa LHI
tidak sesuai dengan profilnya. Apalagi selalu mengungkap bahwa Rekening
tertentu atau aset tertentu belum dilaporkan dalam LHKPN. Jika sdr Penuntut
Umum konsekuen dengan UU No 28/1999 yang dijadikan rujukan dalam dakwaannya
tentang TIPIKOR, maka Sdr Penuntut Umum harus memahami bahwa kewajiban
mencatatkan harta kekayaan pejabat itu adalah bukan hanya sebelum menjabat,
namun juga selama menjabat (Pasal 5 ayat 3 UU No 28/1999). Sehingga
dimungkinkan adanya harta kekayaan yang belum dicatatkan ketika harta tersebut
diperoleh selama masa jabatannya. Kealpaan pejabat mencatatkan harta
kekayaan hanyalah diberikan sanksi administatif (Pasal 20 ayat 1, UU No 28/1999
).
Perihal TPPU ini tokoh sentralnya juga pada Fathanah. Jika pada
kasus korupsi yang diperdaya adalah Maria Elizabeth Liman, maka pada kasus TPPU
yang diperdaya adalah Yudi Setiawan yang telah banyak dimintai uang Fathanah
dengan mencatut nama Terdakwa LHI. Namun Penuntut Umum mengkaitkan setiap
tindakan Fathanah dengan Terdakwa LHI padahal sebetulnya yang terjadi Terdakwa
LHI dijadikan tempat perlindungan bagi kecurangan seorang Ahmad Fathanah.
Perdebatan akademis perihal TPPU ini adalah apakah Predicate Crime
(Kejahatan Asal) harus ada/dibuktikan dulu atau tidak untuk bisa menuntut
perkara TPPU? Ahli Yunus Husein berpendapat tidak harus, namun ahli Dr.
Mudzakir mengatakan harus ada. Sebab pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 itu hanyalah follow up crime (kejahatan ikutan) yang hanya
bisa ada karena
ada pasal 2 (Core Crime). Mengenai eksistensi Pasal 69, Ahli Mudzakir
mengatakan, itu hanyalah diperbolehkannya TPPU di proses tanpa
harus ada kejahatan asal, namun tidak berarti boleh di putus.
Yang juga merupakan perdebatan akademis tentang TPPU ini adalah
tentang wewenang Jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara TPPU ketika
secara eksplisit tidak ada hukum acara yang memperbolehkannya. Menurut Ahli
Yunus Husein, atas dasar penafsiran pasal 75 maka Jaksa KPK boleh melakukan
penuntutan. Sebaliknya Ahli Mudzakir mengatakan, kewenangan penegak hukum harus
diperoleh dari ketentuan yang secara eksplisit ditentukan dalam Undang-Undang,
tidak boleh diperoleh karena penafsiran. Sebab jika penafsiran diperbolehkan
maka nanti polisi pun bisa bertindak sebagai penuntut.
Yang menarik tentang pendapatnya Ahli Yunus Husein adalah
kepastian hukum boleh dikesampingkan demi tercapainya keadilan. Pendapat ini
menimbulkan pertanyaan bagi kami. Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof)
yang saat ini sedang diberlakukan terhadap Terdakwa LHI adalah suatu
ketidakadilan bagi Terdakwa LHI, meskipun oleh UU No 8/2010 sudah ditentukan
demikian. Apakah demi keadilan omkering van bewijslast boleh
kita kesampingkan ?
Akan tetapi secara sekilas, perlu kiranya kami mohonkan perhatian
majelis hakim bahwa perkara ini sebenarnya berawal dari peristiwa
apa yang oleh KPK dikatakan sebagai operasi tangkap tangan terhadap saksi
Fathanah di hotel Le Meredien yang dimobilnya diketemukan uang sebanyak 1
Milyar yang sudah berkurang sebanyak 20 juta karena dipakai oleh saksi
Fathanah, uang tersebut oleh KPK dan kemudian oleh JPU, dianggap dan dikesankan
seolah-olah sebagai uang suap saksi Juard dari Indoguna untuk Terdakwa
LHI, padahal, sebagaimana terungkap dalam persidangan dari saksi dibawah sumpah
yang ditelpon oleh Fathanah yaitu saksi Felix Rajali dan saksi Ilham Ramli
untuk datang ke hotel, uang tersebut dimaksudkan untuk membayar mobil dan
furniture kepada kedua saksi tersebut.
Sebagaimana terungkap dalam persidangan, saksi memang datang ke
Hotel dan memberitahukan kedatangannya kepada saksi Fathanah akan tetapi saat
itu telah terjadi penangkapan oleh KPK terhadap Fathanah, maka dengan
sendirinya penyerahan dan penerimaan uang tersebut gagal.
Majelis hakim yang kami muliakan.
Jadi atas dasar kesaksian siapa bahwa uang tersebut dimaksudkan
untuk diberikan kepada Terdakwa LHI sebagaimana dikatakan oleh Yth JPU?, dengan
berat hati kami terpaksa harus mengatakan bhwa sdr JPU tidak jujur dan
telah memanipulir fakta, semata-mata dengan tujuan agar Terdakwa LHI yang tidak
bersalah ini untuk dihukum, kami terpaksa harus juga mengatakan bahwa nampaknya
sdr JPU telah menerapkan “tujuan menghalalkan cara” termasuk
dengan cara memanipulir fakta persidangan, sungguh menyedihkan tetapi itulah
yang terjadi dalam perkara ini.
Manipulasi oleh sdr JPU juga terjadi sebagaimana terbaca baik
dalam BAP, Surat Dakwaan bahkan Surat Tuntutan tentang percakapan telpon antara
saksi Fathanah dengan supirnya Sahrudin alias Allu, versi sdr JPU sebgaimana
terbaca dalam surat dakwaan dan Tuntutan dikatakan sbb :”Alun jangan jauh-jauh dari mobil ada daging busuk Luthfi”,
padahal percakapan sebenarnya sebagaimana diperdengarkan dalam sidang atas
permintaan Penasihat hukum jelas terdengar : “Alu lu jangan jauh-jauh dari
mobil ada daging busuk” jelas terdengar tidak nama Luthfi disebut-sebut dalam percakapan
tersebut. Bukankah fakta ini membuktikan dengan jelas tindakan
JPU yang manipulatif ?
Disini kelihatan dengan jelas bahwa semangat Penuntut Umum pada
KPK, bukan lagi semangat untuk menegakkan hukum dan kebenaran, melainkan
semata-mata dilandasi oleh keinginan mencari-cari kesalahan, jika kesalahan itu
tidak terbukti tetap saja menuntut untuk menghukum dan menjebloskan seseorang
dalam penjara, agar dengan demikian Penuntut Umum dapat memperoleh applaus dari
masyarakat.
Tuntutan agar Terdakwa LHI dihukum penjara selama 18 tahun sungguh
keterlaluan. Kelihatan hanyalah dilandasi motif untuk mencari sensasi dan
pujian. Semangat untuk menghukum dan mencari sensasi sepertinya lebih menonjol
dari pada menegakkan hukum.
Adalah juga satu kenyataan kasus ini disidangkan dalam suasana
gegap gempita atas ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq dalam kapasitasnya selaku
Presiden PKS dan anggota DPR.
Berbagai pemberitaan tersebut apalagi yang bersifat politis sudah
tentu menimbulkan kekhawatiran dalam diri Terdakwa LHI nantinya akan dapat
mempengaruhi Majelis Hakim dalam menjatuhkan Putusan, namun memperhatikan cara
Yang Mulia Ketua dalam memimpin sidang, kami sangat yakin tidak akan
terpengaruh atas hura-hura tertangkapnya terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini sangatlah beralasan kami
terpaksa mengungkapkan kekecewaan kami atas tuntutan pidana selama 18 tahun
terhadap Terdakwa LHI yang terkesan sangat dipaksakan.
Kekecewaan kami ini terpaksa kami utarakan karena tuntutannya sama
sekali tidak didasarkan pada hasil pembuktian dan sama
sekali telah mengabaikan fakta persidangan. Seolah sejak awal rekan
JPU sudah mempunyai “mindset” untuk menuntut Terdakwa
LHI, baik dakwaannya terbukti maupun tidak. Semua unsur yang oleh sdr JPU
dikatakan terbukti, ternyata hampir semuanya hanyalah didasarkan pada kata-kata
yang ada di dalam BAP dan kata-kata yang ada di dalam Surat Dakwaan, bukan merupakan
kata-kata yang diperoleh dari hasil pembuktian di persidangan.
Majelis Hakim yang kami muliakan
Sebelum kami mengakhiri bagian pendahuluan ini kiranya menarik
untuk disimak tuntutan JPU khususnya pada bagian tentang hal-hal yang
memberatkan yang antara lain oleh Yang Terhormat Sdr. JPU dikatakan :
-
Perbuatan Terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama dan terorganisir telah
menunjukkan keberpihakan pada kelompok atau pengusaha tertentu sehingga merusak
kebijakan Pemerintah…..dst
-
Perbuatan Terdakwa selaku penyelenggara Negara dan sekaligus pejabat publik
yang berkolusi dengan saksi Fathanah dalam upaya mendapatkan keuntungan materi
dengan cara mempengaruhi kebijakan perijinan dan atau memperoleh
proyek-proyek…dst .
Menjadi pertanyaan, atas dasar fakta dan bukti apa sdr JPU bisa
menyimpulkan bahwa Terdakwa LHI telah melakukan perbuatan yang “terorganisir” dan menunjukkan “keberpihakan” pada kelompok atau pengusaha tertentu
dan mempengaruhi “kebijakan “ perijinan ,“
kesimpulan sdr JPU tersebut jelas merupakan kesimpulan yang imaginatif
yang tidak didukung oleh bukti yang meyakinkan .
Majelis Hakim yang kami muliakan
Tidak ada fakta persidangan yang bisa dijadikan bukti bahwa ada
peranan Terdakwa LHI yang dapat dikwalifisir sebagai “mempengaruhi kebijakan
perijinan”
Terdakwa LHI, sebagaimana terungkap sebagai fakta persidangan,
hanya sekali berperan mempertemukan Mentan dengan Elizabeth dari Indoguna di
Medan. Semua saksi yang hadir dalam pertemuan tersebut dengan tegas mengatakan,
bahwa Terdakwa LHI hanya melihat dan menyaksikan diskusi keras yang terjadi
antara saksi Elizabeth dengan Menteri Pertanian Suswono tentang data
perdagingan yang disampaikan oleh Elizabeth dari PT. Indoguna Utama kepada
Saksi Suswono (Mentan).
Fakta yang terungkap dalam persidangan dengan jelas menegaskan,
bahwa tidak ada peran Terdakwa yang dapat dikwalifisir sebagai “bantuan” kepada
PT. Indoguna untuk mengusahakan penambahan kuota, fakta justru membuktikan
bahwa semua permohonan penambahan kuota yang diajukan berkali-kali oleh
Indoguna ternyata semuanya ditolak .
Fakta persidangan juga telah membuktikan bahwa ternyata perijinan
untuk mendapat kuota atau tambahan kuota tidak ada pada Mentan melainkan ada
pada tiga kementerian yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Menko
Ekuin.
Seandainya pun quod-non Terdakwa
LHI mempengaruhi Mentan hal mana tidak akan memberi arti, karena Mentan memang
tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan permohonan tersebut.
BAB II
FAKTA PERSIDANGAN DAN ANALISIS
Majelis Hakim yang kami muliakan
Rekan-rekan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Telah sama-sama kita pahami, bahwa dalam musyawarah terakhir untuk
pengambilan keputusan, Majelis Hakim harus mendasarkan keputusannya pada surat
dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang
sebagaimana diatur dalam pasal 182 ayat (4) KUHAP. Dengan demikian suatu
putusan perkara pidana tidak boleh didasarkan pada suatu hal di luar surat
dakwaan dan segala sesuatu yang tidak terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Untuk itu kami akan menguraikan elemen-elemen perbuatan yang
didakwa Sdr. Penuntut Umum dan mengemukakan fakta pemeriksaan di sidang
pengadilan sehubungan dengan elemen-elemen dakwaan Sdr Penuntut Umum a quo
serta analisis kami terhadap fakta tersebut.
I. DAKWAAN TIPIKOR
A.1 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Terdakwa LHI baik sebagai orang yang melakukan (pleger) atau turut
serta melakukan perbuatan bersama-sama (medepleger) dengan Ahmad Fathanah, menerima pemberian atau janji yaitu menerima hadiah berupa uang
sejumlah Rp.1.300.000.000,- dari Maria Elizabeth Liman.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
Di persidangan tidak terbukti adanya kerjasama antara Terdakwa LHI
dengan Fathanah, selain fakta bahwa mereka adalah teman dekat. Yang terbukti
adalah bahwa Fathanah bekerja sendiri dalam memperdaya Maria Elizabeth Liman.
Perihal dakwaan bahwa Terdakwa LHI menerima pemberian Rp 1,3 milyar dari Maria
Elizabeth Liman, adalah tidak benar dan tidak terbukti. Yang terbukti adalah
bahwa keseluruhan uang Rp 1,3 Milyar dari Maria diterima oleh Ahmad
Fathanah dalam dua tahap dan dalam dua waktu yang berbeda serta berdiri
sendiri. Tahap pertama Rp 300 juta, diberikan oleh Maria atas dasar permintaan
Fathanah melalui Elda Deviane Adiningrat sebelum pertemuan di Medan dan Tahap
kedua, Rp 1 milyar diminta dan diterima oleh Fathanah setelah pertemuan di
Medan yang kejadiannnya adalah sebagai berikut:
(1) Tahap Pertama, Rp 300 juta.
Bahwa sebelum berangkat ke Medan saksi Ahmad Fathanah melalui Elda Devianne
Adiningrat minta uang kepada Maria Elizabeth Liman, sebesar Rp. 300.000.000.-
dimana menurut keterangan Maria Elizabeth Liman sebelum berangkat ke Medan
dirinya ditelepon oleh Elda Devianne Adiningrat yang meminta fee sebagai
penggantian uang bensin, tetapi menurut saksi Elda Devianne Adiningrat, uang
Rp. 300.000.000.- untuk Terdakwa LHI. Uang sejumlah Rp. 300 juta itu baru
diambil oleh saksi Jerry Roger Kumontoy pada tanggal 13 Januari 2013 dari
kantor PT. Indoguna Utama kemudian uang tersebut tidak diserahkan kepada Ahmad
Fathanah melainkan diserahkan kepada Rony sebagai penyertaan Ahmad Fathanah
dalam proyek PLTS. Dengan demikian terkait dengan uang sebesar Rp. 300 juta
tidak terbantahkan bahwa uang tersebut bukan untuk kepentingan Terdakwa LHI.
Terdakwa LHI tidak pernah meminta, menyuruh dan tidak mengetahui bahwa
Ahmad Fathanah meminta uang kepada Maria Elizabeth Liman. Oleh karena itu
keterangan Elda Devianne Adiningrat yang mengatakan Ahmad Fathanah meminta uang
sebesar Rp. 300 juta untuk terdakwa, harus dimaknai bahwa sebenarnya Ahmad
Fathanah hanya memanfaatkan dan mencatut nama terdakwa saja. Mengenai fakta bahwa
Ahmad Fathanah mencatut nama Terdakwa LHI bersesuaian dengan saksi Elda
Devianne Adiningrat.
Saksi Elda Devianne Adiningrat menerangkan bahwa dirinya pernah
mendapat pesan dari Ahmad Rozy apabila ada apa-apa baik permintaan uang dari
Ahmad Fathanah jangan langsung dituruti atau ditanggapi namun klarifikasi dulu
dengan Terdakwa LHI.
(2) Tahap Kedua, Rp 1 milyar. Bahwa setelah Ahmad Fathanah melalui Terdakwa LHI
dapat mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan menteri Pertanian SUSWONO,
Ahmad Fathanah meminta bantuan dana kepada Maria Elizabeth Liman dengan alasan
untuk membuat seminar, serta bantuan safari dakwah PKS dan dana kemanusiaan di
Papua tetapi tidak menyebut berapa nominalnya dan kemudian melalui telepon
Maria Elizabeth Liman memberitahu Ahmad Fathanah bahwa akan diberikan bantuan
dana sebesar Rp. 1 milyar.
Pada tanggal 29 Januari 2013 saksi Ahmad Fathanah datang ke PT
Indoguna untuk mengambil uang yang diminta Ahmad Fathanah yang diserahkan oleh
Arya Abdi Effendy, saksi Juard Effendy dan Rudy Susanto senilai Rp. 1 milyar
yang terdiri dari Rp. 500 juta dari PT. Indoguna Utama dan Rp. 500 juta dari
saksi Rudy Susanto.
Setelah menerima uang dari PT Indoguna Utama Ahmad Fathanah
menelpon terdakwa dan menanyakan “ada dimana ? nih ada yang
menguntungkan”, dan dijawab oleh Terdakwa “ya .. sedang diatas panggung sedang
seminar”. Menurut saksi Ahmad Fathanah bahwa dirinya mengatakan “ada yang menguntungkan” sebagai candaan dan biasanya
saksi Ahmad Fathanah kalau berbicara seperti itu terdakwa ustad Luthfi Hasan
Ishaaq mau bertemu karena sudah tiga hari tidak bertemu. Sedangkan menurut
keterangan terdakwa dirinya sama sekali tidak mengerti maksud dari kata-kata
Ahmad Fathanah ketika menelpon apalagi Terdakwa LHI sedang diatas mimbar
sehingga tidak fokus. Ditambah lagi dengan fakta bahwa Terdakwa tidak pernah
menelpon atau menghubungi kembali Ahmad Fathanah untuk menanyakan tentang
maksudnya menelpon Terdakwa dengan mengatakan “ada yang menguntungkan”.
Ahmad Fathanah setelah menerima uang menuju Hotel Le Meredien dan
kemudian menghubungi saksi Felix Radjali untuk menerima pembayaran mobil
Mercedes Benz yang dari PT William Mobil dan juga saksi Ilham Ramli agar datang
ke hotel tersebut untuk menerima pembayaran furniture yang dibeli dari X’tra
Design senilai Rp. 485 juta. Betul kedua orang saksi Felix Radjali dari PT
William Mobil dan Ilham Ramli sore tanggal 29 Januari 2013 datang ke Hotel Le
Meredien dengan membawa dokumen dan tanda terima uang tetapi tidak bertemu
karena Ahmad Fathanah sore itu ditangkap KPK.
Seandainya –quad non- sore
atau malam hari tanggal 29 Januari 2013, KPK tidak datang menangkap Ahmad
Fathanah di Hotel Le Meredien Jakarta, maka dapat dipastikan bahwa saksi Ilham
Ramli dan Felix Radjali akan menerima uang dari Ahmad Fathanah masing-masing untuk
Ilham Ramli sebagai pembayaran furniture dan Felix Radjali untuk pembelian
mobil Mercedez.
Bahwa dari uang tersebut Ahmad Fathanah mengambil Rp 10 juta
dikantongi untuk keperluan sendiri dan Rp 10 juta diberikan kepada Maharani
Suciono.
Ahmad Fathanah tidak membawa uang Rp 1.000.000.000.- (satu milyar
rupiah) itu ke dalam Hotel Le Meredien tetapi meninggalkannya dimobil dengan
mengatakan kepada sopirnya saksi Sahrudin melalui telepon: “jaga mobil jangan jauh-jauh karena ada daging busuk”,
hal mana sesuai dengan pemutaran rekaman pembicaraan telepon antara Ahmad
Fathanah dengan supirnya saksi Sahrudin di persidangan tanggal 7 Nopember 2013.
Pemutaran hasil penyadapan telepon Ahmad Fathanah dengan sopirnya Sahrudin
dilakukan atas permintaan terdakwa dan Penasehat hukum karena terjadi perbedaan
ketika mendengar keterangan saksi Sahrudin tentang apakah Ahmad Fathanah
mengatakan : “ada daging busuk” atau “ada daging milik ustad Luthfi”.
Ternyata kata-kata yang ada dalam hasil rekaman penyadapan yang
diputar di persidangan tanggal 7 Nopember 2013, Ahmad Fathanah mengatakan
kepada saksi Sahrudin : “jangan jauh karena disitu ada
daging busuk”, bukan mengatakan “jangan jauh-jauh karena ada dagingnya
ustad Luthfi” sebagaimana keterangan Sahrudin yang tetap
dimuat Surat Tuntutan halaman 936 yang menyebutkan Ahmad Fathanah mengatakan
kepada sopirnya dengan kata-kata:“jangan jauh-jauh karena ada
dagingnya ustad Lutfhi”. Jika hasil rekaman penyadapan tidak
diperdengarkan di persidangan maka akan timbul kesan bahwa uang sejumlah Rp. 1
millar itu memang ditujukan kepada Terdakwa LHI dan hal itu merupakan fitnah
terhadap Terdakwa LHI.
Atas adanya fakta-fakta diatas maka analisis kami adalah tidak
terbantahkan bahwa mengenai uang yang diterima Ahmad Fathanah dari PT Indoguna
Utama sejumlah Rp. 1.300.000.000.- melalui dua kali penerimaan yaitu pertama
tanggal 13 Januari 2013 sebesar Rp. 300.000.000.- dan kedua tanggal 29 Januari
2013 sebesar Rp. 1.000.000.000.- tidak ditujukan kepada Terdakwa Luthfi Hasan
Ishaaq. Terdakwa Luthfi Hasan ishaaq tidak pernah meminta, tidak pernah
menyuruh dan bahkan tidak mengetahui sama sekali perbuatan Ahmad Fathanah
meminta uang kepada Maria Elisabeth Liman, hal tersebut semata-mata atas kemauan
Ahmad Fathanah sendiri.
Dengan kata lain, Ahmad Fathanah telah berhasil menipu Maria Elizabeth Liman untuk
menyerahkan uang Rp 1,3 Milyar kepadanya, untuk kepentingan dan keuntungan
Ahmad Fathanah sendiri. Keberhasilan Ahmad Fathanah menipu Maria Elizabeth
Liman karena Ahmad Fathanah telah menggunakan serangkaian kata–kata bohong
seolah untuk kepentingan PKS atau untuk kepentingan Terdakwa LHI sehingga Maria
Elizabeth tergerak untuk memberikan uang kepada Ahmad Fathanah.
A.2 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Maria Elizabeth Liman mempunyai maksud supaya Terdakwa LHI membantunya untuk mendapatkan
surat rekomendasi dari Kementerian Pertanian yang berisi persetujuan atas
permohonan penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 (sepuluh ribu)
ton yang diajukan oleh PT Indoguna Utama dan anak perusahaannya.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
(1) Bahwa Elizabeth Liman selaku Direktur Utama PT
Indoguna Utama pernah mengajukan permohonan penambahan kuota impor daging
sebanyak dua kali yaitu pada tanggal 8 Nopember 2012 sebanyak 500 ton dan
tanggal 26 Nopember 2012 sebanyak 5150 ton untuk semester tahun 2012, tetapi
kedua permohonan tersebut ditolak karena sudah tidak ada penambahan kuota. Pada
saat itu Terdakwa LHI belum kenal dengan Maria Elizabeth Liman sehingga
Terdakwa LHI tidak mengetahui mengenai kedua permohonan penambahan kuota impor
tersebut.
(2) Bahwa Maria Elizabeth Liman diperkenalkan kepada Ahmad
Fathanah oleh Elda Devianne Adiningrat sekitar Desember 2012 untuk membantu
mengurus permohonan penambahan kuota impor daging bagi PT. Indoguna Utama,
kemudian melalui perkenalan itu Ahmad Fathanah memperkenalkan Maria Elizabeth
Liman dan Elda Devianne Adiningrat dengan Terdakwa LHI.
Atas dua kejadian ini dapat dibenarkan bahwa memang Maria
Elizabeth Liman mempunyai maksud untuk memperoleh bantuan dari Terdakwa LHI,
namun demikian tidak pernah terbukti di persidangan bahwa Terdakwa LHI bersedia
membantu Maria dengan maksudnya itu.
A.3 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Terdakwa LHI menerima janji dari Maria Elizabeth Liman bahwa
Maria akan memberikan komisi/fee sebesar
Rp.5.000,- per kilogram jika Terdakwa LHI dapat mempengaruhi Menteri Pertanian
Suswono menyetujui rekomendasi penambahan kuota sebanyak 8.000 (delapan ribu)
ton sehingga total uang yang dijanjikan Maria kepada Terdakwa LHI adalah
sejumlah Rp.40.000.000.000 (empat puluh Milyar).
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
Bahwa dengan mencermati saksi-saksi; Maria Elizabeth
Liman, Arya Abdi Effendy, Juard Abdi Effendy, Pudji Rahayu Aminingrum, Debby
Irawati, Fanny, Hilda, Deni Adiningrat, Jerry Roger, Ahmad Fathonah, Ahmad
Zaki, dan keterangan LHI (Terdakwa) di persidangan, membuktikan adanya bukti
hukum sebagai berikut :
Tentang Pertemuan-Pertemuan.
(1) Bahwa memang ada pertemuan pada tanggal 28 Desember 2012
bertempat di restoran Angus Steak House Chase Plaza Jakarta, dimana dalam
pertemuan tersebut kedatangan Terdakwa LHI terlambat, dan pada saat Terdakwa
LHI datang sudah ada saksi Maria Elizabeth Liman, Elda Devianne
Adiningrat dan Ahmad Fathanah, yang dalam pertemuan tersebut Terdakwa
diperkenalkan kepada Elda Devianne Adiningrat dan Maria Elizabet Liman,
dan Terdakwa LHI tidak mengetahui apa yang dibicarakan sebelum
kedatangannya dalam pertemuan tersebut. Kedatangan Terdakwa LHI di pertemuan
tersebut mendengarkan presentasi yang disampaikan oleh Maria
Elizabeth Liman tentang adanya kelangkaan daging, tingginya harga daging,
diketemukannya dipasaran pencampuran dengan daging celeng dan tikus.
Bahwa tidak ada kesaksian Maria Elizabeth Liman dan Ahmad Fathanah serta Elda
Devianne Adiningrat di persidangan yang menyatakan “ada
permintaan kepada Terdakwa LHI untuk membantu pengurusan penerbitan rekomendasi
dari kementerian pertanian untuk menambah kuota import daging sapi sebanyak
8.000 (delapan ribu) ton yang diajukan PT. Indoguna beserta 4 (4) anak
perusahaannya”.
(2) Didalam pertemuan yang dihadiri oleh Terdakwa LHI, menurut
keterangan Elda Devianne Adiningrat, Terdakwa LHI hanya diam saja, hanya
mendengarkan dan Terdakwa LHI tidak mempunyai peranan dalam penambahan kuota.
Demikian juga berdasarkan keterangan saksi Maria Elizabeth Liman, dalam
pertemuan itu Terdakwa LHI tidak begitu fokus mengikuti pembicaraan, karena
sibuk menelpon. Didalam pertemuan-pertemuan sebelumnya antara Maria Elizabeth
Liman dengan Elda dan Ahmad Fathanah, tidak pernah menyebut-nyebut
Terdakwa. Maria Elizabeth Liman, bahkan tidak tahu menahu tentang adanya
permohonan penambahan quota yang 8000 ton.
(3) Bahwa dalam persidangan didapatkan fakta hukum, telah terjadi
pertemuan pada tanggal 05 Oktober 2012 bertempat di hotel Grand Hyatt Jakarta
Pusat antara Maria Elizabeth Liman dengan Elda Devianne Adiningrat, dan
pertemuan dalam bulan Nopember 2012 di restoran Angus Steak Hous Senayan City,
Jakarta Selatan antara Elda Devianne Adiningrat, Maria Elizabeth Liman dengan
Ahmad Fathanah, dan ada pertemuan lagi pada tanggal 30 Nopember 2012
antara Ahmad Fathonah, Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat
di Chase Plaza Jakarta Selatan. Bahwa berdasarkan fakta hukum
juga, bahwa serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut tidak diketahui dan
tidak dihadiri oleh Terdakwa. Dan kalaulah betul dalam pertemuan
tersebut membicarakan tentang rencana meminta bantuan Terdakwa LHI untuk
dapat memperoleh izin rekomendasi tambahan kuota impor daging, maka yang
harus bertanggung jawab adalah mereka-mereka yang membicarakannya, tidak
diminta pertanggungan jawab kepada Terdakwa LHI, yang pada saat itu Terdakwa
LHI belum kenal dengan mereka.
(3) Bahwa dalam persidangan diketemukan fakta bahwa pada tanggal
30 Desember 2012 terjadi pertemuan antara Ahmad Fathanah, Maria
Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat di Private Room Lantai IV restoran
Angus Steak House Senayan City, namun dalam fakta dipersidangan ini juga,
Terdakwa tidak mengetahui dan juga tidak menghadiri pertemuan tersebut,
sehingga tidak mengetahui apa yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut.
(4) Fakta dalam persidangan, telah terjadi pertemuan di
kamar 9006 hotel Aryaduta Medan pada jam 06.00 wib antara Terdakwa LHI,
Suswono, Maria Elizabeth Liman dan Soewarso. Pertemuan tersebut di fasilitasi
oleh Terdakwa LHI, namun berdasarkan fakta di persidangan melalui kesaksian
Soewarso, Suswono, Maria Elizabeth Liman dan Ahmad Fathonah serta
keterangan Terdakwa LHI yang menyatakan telah terjadi ketegangan antara menteri
Suswono dengan Maria Elizabeth Liman terkait dengan dengan adanya perbedaan
antara data yang disampaikan Maria Elizabeth Liman sebagai pendiri Aspidi
dengan data yang dimiliki Kemententerian Pertanian. Menurut keterangan Suswono,
data yang ada di kementerian Pertanian sudah dilakukan validasi dan
analisis melalui pendekatan ilmiah dari pakar-pakar dari perguruan tinggi
seperti IPB, yang tidak mungkin disalahkan dengan data yang disampaikan oleh
Maria Elizabeth Liman. Dalam pertemuan tersebut Suswono melontarkan ide agar
data yang disampaikan oleh Maria Elizabeth Liman agar di uji publik
melalui seminar untuk menguji validitasnya.
(5) Bahwa dalam pertemuan tersebut, Maria Elizabeth Liman
menyampaikan telah terjadi jual-beli izin import daging di lapangan, sehingga
banyak perusahaan yang memiliki izin import dialihkan (dijual) kepada
perusahaan lain yang memang importir. Terhadap informasi itu, Suswono yang
sudah lama mendapatkan informasi yang serupa, namun belum ada yang melapor pada
dirinya sebagai menteri pertanian, sehingga adanya informasi dari Maria
Elizabeth Liman tersebut di jadikan momentum untuk memperoleh data perusahaan
yang terlibat dalam praktek jual beli izin kouta impor daging. Dan dalam
pertemuan itu, Maria Elizabeth Liman menyanggupi untuk memberikan data
itu, dan Suswono minta kepada Warso agar data tersebut bisa diambil dari
Elizabeth Liman.
(6) Tidak ada bukti hukum, bahwa dalam pertemuan di kamar 9006 di
hotel Aryaduta Medan membicarakan tentang rekomendasi izin penambahan kouta
import daging, apalagi janji-janji untuk meloloskan permohonan
rekomendasi penambahan kouta impor daging.
(7) Didalam pertemuan di kamar 9006 di hotel Aryaduta Medan itu,
Terdakwa LHI lebih banyak diam dan hanya menengahi perdebatan antara saksi
Elizabeth Liman dan Menteri Pertanian Suswono. Pertemuan hanya berlangsung
sekitar 15 menit dan tidak ada tindakan yang dilakukan Terdakwa LHI setelah itu
untuk mendapatkan rekomendasi penambahan kuota impor daging sapi terhadap
Menteri Pertanian Suswono.
(8) Bahwa menurut fakta hukum, pada tanggal 11 Januari
2013 jam 19.00 wib di restoran Angus Steak Hous Senayan City Jakarta Selatan
telah terjadi pertemuan antara Maria Elizabeth Liman, Elda Devianne Adiningrat,
Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi dan Suharyono selaku Kepala Pusat
Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian
Pertanian.
(9) Bahwa pada tanggal 28 Januari 2013 telah terjadi pertemuan di
restoran Angus Steak House Senayan City Jakarta Selatan antara Ahmad
Fathanah, Maria Elizabeth Liman, Arya Abdi Effendi.
(10)Bahwa dalam pertemuan-pertemuan tersebut, baik pada tanggal 11
Januari 2013 maupun pada tanggal 28 Januari 2013, tidak ada keterlibatan,
kehadiran dan sepengetahuan Terdakwa. Apabila Ahmad Fathanah menyebut-nyebut
nama Terdakwa, semata-mata secara sepihak utuk kepentingan dirinya untuk
mengelabui Maria Elibeth Liman dengan cara menjual nama Terdakwa. Hal ini
telah diakui oleh saksi Ahmad Fathanah didalam persidangan.
Tentang Menerima Janji Empat Puluh Milyar Rupiah.
(11)Mari kita lihat, apakah betul Terdakwa terbukti secara sah
telah menerima janji sebesar Rp.40.000.000.000,- (Empat Puluh Milyar) dari
Maria Elizabeth Liman, dengan merujuk pada bukti-bukti sbb :
(a) Fakta hukum tentang pembicaraan permohonan
penambahan kuota pada pertemuan di restoran Angus Steak House di Chase Plaza,
Jakarta Selatan tertanggal 30 Nopember 2013 antara Maria Elizabeth Liman dengan
Elda Devianne Adiningrat, menurut Maria Elizabeth Liman dalam persidangan
dikatakan tidak pernah ada.
(b) Betul, Juard Effendi pada tanggal 18 Desember 1912
selaku Direktur General Affair and HRD PT. Indoguna pernah mengajukan
permohonan rekomendasi penambahan kuota kepada Kementerian Pertanian sebanyak 8.000
(delapan ribu) ton atas nama PT. Indoguna dan 4 (empat) anak perusahaan PT.
Indoguna, yaitu PT. Sinar Terang Utama, PT. Nuansa Guna Utama, CV. Cahaya Karya
Indah dan CV. Surya Cemerlang, namun menurut Juan Effendi dalam
persidangan menyatakan, permohonan tersebut tidak terdaftar secara online di
PPVT, sehingga secara resmi belum sampai kepada pejabat yang berwenang untuk
memutuskan menerima atau menolak terhadap surat tersebut.
(c) Bahwa menurut keterangan Syukur Irwantoro
(Dirjen Peternakan) dalam persidangan mengatakan tidak pernah ada surat
permohonan penambahan kuota impor daging yang sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton
dari PT. Indoguna Utama dan anak-anak perusahaannya.
(d) Bahwa telah terjadi percakapan antara saksi Maria
Elizabeth Liman dan Elda Adiningrat, yang percakapan tersebut membicarakan
tentang praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan fee yang diperoleh. Elda
meminta fee sebesar Rp.3.000 (tiga ribu rupiah) kalau pengurusan rekomendasi
penambahan kouta import itu diperoleh. Namun, saksi Ahmad Fathanah meminta fee
Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) dan pembicaraan itulah yang akhirnya dijadikan
pembicaraan oleh Ahmad Fathanah dengan Terdakwa melalui telpon, yang juga
disadap oleh KPK.
(e) Bahwa dalam pertemuan tanggal 30 Nopember 2012,
tanggal 28 Desember 2012, tanggal 30 Desember 2012, 11 Januari 2013, 20 Januari
2013 dan tanggal 28 Januari 2013 yang kesemuanya dihadiri oleh Maria Ellizabeth
Liman tidak pernah terungkap adanya janji darinya tentang akan memberikan uang
sebesar Rp.40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah), dan hal itu
diungkapkan oleh saksi Maria Elizabeth, Elda Devianne Adiningrat dan Ahmad
Fathanah dalam persidangan.
(f) Bahwa telah terjadi percakapan dalam bahasa
Arab antara Ahmad Fathanah dengan Terdakwa, tentang fee yang Rp.5000,- (lima
Rupiah) per kg dikalikan 8.000 (delapan ribu) ton, dengan tambahan ungkapan
dari Terdakwa “sekalian 10.000 (sepuluh ribu) ton saja biar menjadi 50 milyar,
yang menurut keterangan Terdakwa LHI di persidangan, ungkapan penambahan menjadi
10.000 ton itu semata-mata agar Ahmad Fathanah berhenti bicara perhitungan fee
dan semacamnya.
(g) Bahwa setelah percakapan antara Terdakwa dengan Ahmad Fathonah
tersebut Terdakwa memanggil saksi Ahmad Rozi, konsultan hukum Elda Adiningrat,
agar jangan bicara soal fee lagi kalau berkomunikasi dengan Ahmad Fathanah, dan
tidak perlu percaya dari apa yang diomongkan Ahmad Fathanah dan atas pesan
tersebut diakui oleh saksi Ahmad Rozi dalam kesaksiannya di persidangan.
(h) Menurut keterangan Menteri Pertanian Suswono,
Syukur Irwantoro (Dirjen Peternakan), Soewarso dan Baran dalam persidangan
tidak pernah ada lobby dari Terdakwa LHI dalam upaya untuk menambah kota impor
daging sapi. Fathonah pernah datang ke ruang Syukur Dirjen Peternakan
Kementerian Pertanian dan membawa berkas-berkas permohonan, dengan menyebut
nama Terdakwa LHI, tetapi Syukur tidak pernah mengkonfirmasi kepada Terdakwa
LHI, disamping Syukur tidak kenal dengan Terdakwa LHI.
(i) Bahwa atas pernyampaian Ahmad Fathanah,
Syukur Irwantoro (Dirjen Peternakan) mengatakan, agar sesuai dengan prosedur
dan ketentuan yang ada. Disamping itu Syukur masih teringat pesan Menteri
Pertanian, Suswono kepada jajarannya dalam setiap rapat koordinasi
antara eselon dua dan eselon satu, “kalau ada dari orang yang
mengaku-ngaku dari partai politik termasuk dari PKS mau berbisnis (menjadi
rekanan ) agar diperlakukan yang sama dengan rekanan yang lain, dan harus
sesuai dengan peraturan yang ada”, dan oleh karena itu kedatangan
Ahmad Fathanah tidak menjadi atensi saksi Syukur selaku Dirjen Peternakan.
(12) Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, terhadap dialog dalam
bahasa arab antara Fathanah dengan Terdakwa LHI tidak bisa dianggap sebagai
komitmen, karena tidak ada upaya atau indikasi-indikasi yang mengarah pada
imbalan prestasi atas komitmen antara pemberi janji dengan penerima janji, dan
hal ini didukung keterangan ahli yang disampaikan oleh ahli Dr. Mudzakir dalam
persidangan di bawah sumpah.
(13) Bahwa telah menjadi bukti hukum, sejak tahun 2011 telah
terjadi perubahan kebijakan, regulasi dalam pemberian izin, yaitu dari
kementerian Pertanian berubah menjadi kewenangan antara kementerian
(perdagangan, industry dan pertanian) yang dikoordinir oleh Menko Ekuin,
sehingga jika harus melakukan lobby maka harus dilakukan di tiga kementerian
aquo dan Menko Ekuin.
(14) Berdasarkan bukti-bukti hukum di atas, maka dapat
disimpulkan, bahwa pembicaraan tentang fee Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) per kg
kali 8.000 ton hanya merupakan perbicaraan antara Elda Devianne Adiningrat
dengan Ahmad Fathanah (kedua-duanya dalam kasus ini sebagai makelar) yang
diteruskan untuk dikomunikasikan kepada Terdakwa LHI, namun Terdakwa LHI tidak
pernah melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah pada indikasi
memperjuangkan untuk adanya rekomendasi penambahan kuota impor daging dari
Kementerian Pertanian dan kementerian lainnya.
Terdakwa LHI Bukan Inisiator.
(15) Bahwa dalam persidangan diperoleh bukti hukum, tentang ide
adanya penambahan kuota impor daging sebanyak 8.000 ton disampaikan oleh Elda
Adiningrat kepada Ahmad Fathanah pada waktu bertemu di kantin Kementerian
Pertanian, yang sumbernya berasal dari Menko Kesra, dan utuk itu Elda
menyampaikan juga kepada Ahmad Fathanah bahwa dirinya sedang mencari pengusaha
yang sanggup melaksanakan penambahan kuota impor tersebut.
(16) Bahwa pada tanggal 5 oktober 2012 bertempat di Grand Hyatt
Jakarta Pusat Elda mengadakan pertemuan dengan Maria Elizabeth Liman, dimana
dalam pertemuan tersebut Elda Devianne Adiningrat memberitahukan juga kepada
Maria Elizabeth Liman selaku orang Aspidi dan juga selaku Direktur Utama PT.
Indoguna Utama yang usahanya dibidang impor daging. Dan dalam pertemuan
tersebut Elda Adiningrat mau memperkenalkan Maria Elizabeth Liman kepada
Ahmad Fathanah.
(17) Sekitar bulan Nopember 2012 diperoleh fakta hukum telah
terjadi pertemuan di Angus Steak House Senayan City Jakarta Selatan, antara
Elda Adiningrat, Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah, yang menurut
keterangan Maria Elizabeth dalam persidangan, dirinya hanya ingin
mengkonfirmasi adanya informasi dari Elda Adiningra tentang adanya
Penambahan impor daging sebanyak 8.000 (delapan ribu) pada semester II
tahun 2012. Maria Elibeth perlu melakukan konfirmasi, karena sepengetahuan Maria
Elizabeth Liman berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dikoordinir Menko Ekuin,
kuota impor daging sapi sudah habis dibagi kepada perusahaan importir daging
dan tidak memperoleh informasi dari pihak lain selain dari Elda Devianne
Adiningrat tentang adanya penambahan kuota impor daging.
(18) Pada bulan bulan Nopember 2012 diperoleh fakta hukum adanya
penolakan dari Kementerian Pertanian terhadap permohonan rekomendasi penambahan
kuota impor daging sebanyak 500 (lima ratus) ton dari PT. Indoguna Utama, untuk
semester II tahun 2012, dengan alasan permohonan tersebut tidak sesuai dengan
Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor : 50/Permentan.0T.140/9/2011 tentang
Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau olahannya ke
dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(19) Bahwa atas peran Ahmad Fathanah dan Elda Adiningrat, PT.
Indoguna Utama bersama PT. Sinar Terang Utama, CV. Cahaya Karya Indah dan CV.
Surya Cemerlang Abadi pada tanggal 27 November 2012 mengajukan kembali
permohonan rekomendasi penambahan kuota impor daging kepada Kementerian
Pertanian sebanyak 5.150 (lima ribu seratus lima puluh ton), dan atas
permohonan tersebut oleh Kementerian Pertanian juga ditolak, dengan alasan yang
sama dengan alasan sebelumnya.
(20) Bahwa berdasarkan fakta hukum telah terjadi pertemuan pada
tanggal 30 Nopember 2012 bertempat di restoran Angus Steak House di Chase Plaza
Jakarta Selatan antara Ahmad Fathonah, Elda Devianne Adiningrat dan Maria
Elizabeth Liman yang membicarakan tentang penolakan atas permohonan-permohonan
sebelumnya.
(21) Diperoleh fakta hukum dalam persidangan, bahwa pada tanggal
18 Desember 2012 ada surat permohonan penambahan kuota impor daging oleh PT.
Indoguna bersama 4 (empat) anak perusahaannya yang diajukan kepada Kementerian
Pertanian, namun menurut keterangan Juard Effendi yang bersesuaian dengan
keterangan Suharyono (Kepala PPVTPP) yang membawahi perizinan dan Syukur
Irwantoro (Dirjen Peternakan) surat yang dimaksud tidak masuk dalam system
online PPVTPP, karena menyalahi prosedur sebagaimana yang diatur dalam
Permentan RI Nomor 50/Permentan/0T.140/9/2011, sehingga permohonan tersebut
tidak sampai kepada pihak-pihak yang berwenang di Kementerian Pertanian.
(22) Bahwa Terdakwa LHI baru ikut dalam pertemuan pada tanggal 28
Desember 2012 di restoran Angus Steak House Chase Plaza Jakarta Selatan, yang
dihadiri oleh Ahmad Fathanah, Maria Elizabeth, Elda Adiningrat dan Terdakwa
sendiri. Bahwa dalam pertemuan tersebut Terdakwa LHI datang terlambat, dan
hanya berkenalan dan membicarakan isu yang berkembang yang ada di luaran
tentang harga daging yang tidak terkendali, ada daging sapi yang dicampur
daging celeng dan tikus, adapun apa yang dibicarakan sebelum Terdakwa LHI
datang, Terdakwa LHI tidak mengetahui.
A.4 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
ELDA Adiningrat menyatakan akan memperkenalkan Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah yang merupakan orang kepercayaan Terdakwa LHI
yang dapat membantu PT Indoguna Utama.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
Tentang Kedekatan Ahmad Fathanah dengan Terdakwa LHI.
(1) Bahwa kami perlu memberikan
penjelasan terkait dengan hubungan antara Ahmad Fathanah dengan Terdakwa yang
telah digambarkan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum sedemikian dekat tanpa reserve,
sehingga seolah-olah ingin memberikan pandangan telah terjadi persekongkolan
yang dilakukan oleh keduanya dengan memanfaatkan jabatan Terdakwa sebagai
anggota DPR RI periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2014.
(2) Sebagaimana telah diuraikan dalam Surat Dakwaan
Sdr. Jaksa Penuntut Umum, “ Terdakwa sejak pertengahan
tahun 1985 telah mengenal dan bersahabat dengan Ahmad Fathonah ketika sama-sama
belajar di Saudi Arabia, setelah kembali ke Indonesia pada sekitar awal tahun
2004 Terdakwa dan Ahmad Fathonah mendirikan PT. Atlas Jaringan Satu (PT. AJS)
yang bergerak di bidang komunikasi yang mana Terdakwa sebagai Komisaris dan
Ahmad Fathonah sebagai Direktur, namun pada awal tahun 2005 perusahaan tersebut
tidak efektif lagi karena Ahmad Fathonah dipidana atas tindak pidana penipuan
terkait perjanjian bisnis antara PT. AJS dengan PT. Osami Multimedia dan
pada sekitar tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 Ahmad Fathonah juga pernah
dihukum di luar negeri terkait perkara penyelundupan orang. Terdakwa sejak
sekitar tahun 2011 sering didampingi oleh Ahmad Fathonah dalam berbagai
kegiatan sehingga Ahmad Fathonah dikenal sebagai orang kepercayaan Terdakwa
yang dapat menjadi penghubung dalam mengusahakan perusahaan-perusahaan untuk
memperoleh proyek pemerintah antara lain proyek-proyek di Kementrian Pertanian.
“
Bahwa uraian kedekatan Terdakwa LHI dengan Ahmad Fathanah
sebagaimana digambarkan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum adalah sama sekali tidak
benar dan amat mengada-ada hanya demi memenuhi target dakwaannya saja. Terdakwa
LHI tidak pernah menjadi penghubung dalam mengusahakan perusahaan-perusahaan
untuk memperoleh proyek pemerintah. Demikian juga proyek-proyek di Kementerian
Pertanian sebagaimana dituduhkan Sdr. Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa Terdakwa LHI memang sesekali menjalin komunikasi dengan
Ahmad Fathanah, hal ini tidak lain adalah semata-mata karena adanya hubungan
hutang piutang. Ahmad Fathanah memiliki kewajiban hutang kepada Terdakwa yang
masih belum dilunasi sebesar Rp. 2.975.000.000,00 (dua milyar sembilan ratus
tujuh puluh lima juta) pada tahun 2005. Sebagai bukti bahwa hubungan antara
Terdakwa LHI dengan Ahmad Fathanah tidak sebagaimana yang digambarkan oleh Sdr.
Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa LHI pernah mengadukan tindak pidana terhadap
Ahmad Fathanah karena telah memalsu tanda tangan Terdakwa LHI. Selain itu,
Terdakwa LHI juga pernah menggugat wanprestasi Ahmad Fathanah karena tidak
membayar hutang. Ini semua membuktikan bahwa ada ketidakpercayaan (distrust)
dari Terdakwa LHI kepada Fathanah yang tidak dapat mendukung adanya duguaan
bahwa mereka dapat bekerja sama.
(3) Boleh jadi Majelis Hakim maupun Sdr JPU berpendapat bahwa
alasan hutang ini adalah alasan klasik yang selalu ada pada perkara-perkara
TIPIKOR, namun kami ingin meneguhkan pada persidangan ini bahwa hutang-hutang
piutang ini sungguh-sungguh ada yang kenyataannya telah dibuktikan di persidangan
ini. Bahwa Ahmad Fathonah memiliki kewajiban hutang sebesar Rp.
2.975.000.000,00 telah diungkapkan oleh saksi Ahmad Rozy, Ahmad Fathanah dan
Terdakwa LHI sendiri. Untuk memperkuat pembuktian melalui saksi Kami juga
melampirkan bukti surat berupa bukti Akta Perdamaian (dading) dalam Nota
Pembelaan ini, yang membuktikan adanya hubungan hutang piutang antara Ahmad
Fathanah dengan Terdakwa LHI.
(4) Bahwa Terdakwa LHI tetap menjalin komunikasi dengan
Ahmad Fathonah karena pertimbangan ;
1.
Pernah dipesan oleh orang tua Ahmad Fathanah agar menjaga anaknya
tersebut
2.
Dengan tetap berkomunikasi, Terdakwa mengetahui apakah Ahmad
Fathanah punya uang atau tidak, jika punya maka akan ditagih oleh Terdakwa.
(5) Berdasarkan keterangan saksi Ahmad Rozy dan saksi
Elda Devianne Adiningrat dan keterangan Ahmad Fathanah sendiri di persidangan,
diketahui, bahwa Ahmad Fathanah suka mencatut nama Terdakwa untuk kepentingan
pribadinya. Bahkan, saksi Ahmad Rozy pernah diminta oleh Terdakwa agar
menasihati Ahmad Fathanah tentang perilakunya dan agar mengecek kepada Sdr.
Elda karena Sdr. Ahmad Fathanah suka mencatut nama Terdakwa.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka tuduhan Sdr. Jaksa
Penuntut Umum, bahwa Ahmad Fathanah sebagai orang kepercayaan dan selalu
menjadi penghubung dalam mengusahakan perusahaan-perusahaan untuk memperoleh
proyek pemerintah adalah sama sekali tidak benar.
A.5 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Terdakwa LHI bersama Ahmad Fatonah, Soewarso, dan
Maria Elizabeth Liman dan Elda Adiningrat pada
tanggal 10 Januari 2013 berangkat ke Medan dengan menggunakan pesawat yang sama
dalam rangka untuk diatur agar bisa bertemu dengan Menteri Pertanian Suswono di
kamar 9006 Hotel Aryaduta, Medan. Pada tanggal 11 Januari 2013, sekira pukul
06.00 WIB bertempat 9006 Hotel Aryaduta, Medan, Terdakwa LHI berhasil
mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan
Menteri Pertanian Suswono yang didampingi Soewarso.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
(1) Memang benar bahwa pada tanggal 11 Januari 2013 di
hotel Aryaduta, Medan Terdakwa memfasilitasi pertemuan yang dihadiri oleh Maria
Elibeth Liman, Ahmad Fathanah, Soewarso dan Suswono, namun perlu menjadi
perhatian persidangan ini bahwa dalam pertemuan itu terjadi ketegangan antara
Maria Elizabeth Liman dengan Menteri Suswono, karena adanya perbedaan data
antara yang diberikan Maria Elizabeth Liman dengan yang dimiliki oleh
Kementerian Pertanian.
(2) Bahwa keberangkatan Terdakwa LHI ke Medan pada dasarnya
adalah dalam rangka Safari Dakwah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan dalam
kesempatan itu, Terdakwa LHI memanfaatkannya untuk memfasilitasi pertemuan
antara Menteri Pertanian Suswono selaku anggota Majelis Syuro PKS dengan Maria
Elizabeth Liman yang telah mengadu kepada Terdakwa LHI selaku Presiden PKS
mengenai permasalahan kelangkaan daging sapi dan beredarnya campuran daging
celeng dengan daging sapi serta daging tikus. Pertemuan aquo hanya berlangsung
sekitar 15 (lima belas menit) dan Terdakwa LHI hanya mendengarkan dan
menengahi perdebatan antara Menteri Pertanian Suswono dan Maria Elizabeth
Liman. Setelah pertemuan tersebut, tidak pernah ada lagi pertemuan antara Maria
Elizabeth Liman, Elda maupun Ahmad Fathanah yang melibatkan Terdakwa LHI.
(4) Berdasarkan fakta – fakta hukum di atas, telah
terjadi pertemuan-pertemuan untuk merencanakan upaya mendapatkan surat
rekomendasi penambahan kuota impor daging yang dilakukan oleh Elda Devianne
Adiningrat, Ahmad Fatonah dimana kedua-duanya memposisikan dirinya sebagai
perantara (makelar) dengan Maria Elizabeth selaku importir, tanpa sepengetahuan
dan keterlibatan Terdakwa LHI. Jika dalam pertemuan-pertemuannya sebelumnya,
anggaplah saudara Ahmad Fathanah menyebut-nyebut atau membawa-bawa nama
Terdakwa LHI, tentunya diluar tanggung jawab Terdakwa LHI, karena serangkaian
pertemuan yang tampa dihadiri oleh Terdakwa LHI tersebut tidak pernah
diberitahukan oleh Ahmad Fathanah dan tidak pernah dikonfirmasi oleh Elda
Devianne Adiningrat dan maupun oleh Maria Elizabeth Liman. Sungguh teramat
dzolim jika hanya dengan keterlibatan 2 kali pertemuan, yaitu padal tanggal 28
Desember 2012 di Jakarta dan tanggal 11 Januari 2013 di Medan yang materi
pembicaraannya berdasarkan fakta hukum tidak ada keterkaitannya dengan janji-janji
sebagaimana yang dituduhkan oleh Penuntut Umum KPK, harus di tuntut
dengan tuntutan penjara 10 tahun. Kalaulah betul ada pembicaraan tetang
Rp.5000,- per kg ternyata itu semata-mata kreasi dari Elda Devianne Adiningrat
dengan Ahmad Fathanah, yang selanjutnya disampaikan oleh Ahmad Fathanah kepada
Terdakwa LHI, tentunya tidak bisa diartikan sebagai persetujuan atas
janji-janji, karena tidak ada bukti hukum yang disampaikan oleh Maria Elizabeth
kepada Ahmad Fathanah maupun Elda, dan tidak ada indikator-indikator yang
mengarah pada perbuatan Terdakwa LHI untuk me-lobby orang-orang dalam
kementerian Pertanian, termasuk Menteri Pertanian
II.
DAKWAAN TPPU
1.
A. Adanya transferan ke rekening BCA No. 2721400991 milik
Terdakwa LHI Cabang Gudang Peluru, sebagai berikut;
1. Mengenai Transferan tanggal 6 September 2006 sebesar Rp.69.000.000,- (enam puluh sembilan juta rupiah)
dari Azhar ML.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan M. Azhar Muslim dipersidangan pada hari Senin
tanggal 18 November 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa uang
yang ia transfer kepada Terdakwa LHI adalah untuk biaya umroh dirinya dan 5
orang temannya yang lain.
Bahwa sejak Tahun 2004 Saksi bersama 5 orang teman lainnya sebagai
Pengurus PKS Kota Malang berniat melaksanakan Umroh. Namun karena berbagai
kesibukan, akhirnya baru pada tahun 2006 direncanakan secara matang. Itu
merupakan Umroh pertama kali bagi Saksi dan Pengurus PKS Kota Malang, sehingga
belum punya referensi dan pengalaman soal Umroh. Pada saat itu yang dikenal dan
dekat dengan Saksi dan anggota lainnya adalah Terdakwa LHI sebagai tempat
kosnsultasi sekaligus dicarikan jalan keluar agar umroh dapat terlaksana dengan
biaya yang murah dan terjangkau. Atas permintaan Saksi dan Pengurus PKS Kota
Malang, Terdakwa LHI menyanggupi untuk membantu perjalanan Umroh Saksi dan
teman-temannya dan meminta agar berangkat dari Jakarta saja yang lebih mudah.
Sehingga transferlah uang sejumlah Rp. 69.000.000,- (enam puluh sembilan juta rupiah)
ke Rekening BCA No. 00553494541 atas nama Terdakwa LHI. Dengan demikian
dapatlah dipastikan bahwa uang yang dikirim Saksi M. Azhar Muslim bukanlah
berasal dari Kejahatan.
2. Bahwa adapun pihak-pihak lain yang melakukan transfer ke
Rekening Terdakwa LHI, seperti Emma Siamulati pada tanggal 10 Januari 2005
sebesar Rp. 351.505.000,- (tiga ratus lima puluh satu juta lima ratus lima ribu
rupiah) adalah transaksi biasa, pinjam meminjam antara Terdakwa dengan Sdri. Emma terkait bisnis/modal usaha. Namun yang
bersangkutan tidak bisa dihadirkan sebagai Saksi a de Charge kepada Terdakwa LHI karena sedang
bertugas diluar negeri.
3. Demikian juga transfer bulan Januari 2006 sebesar Rp.
35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan bulan Juli 2006 s/d Desember
2006 masing-masing Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) adalah uang selayaknya
diterima oleh Terdakwa dari Saudara Ekky Zulkarnain atas modal usaha bersama
antara Ekky Zulkarnain dengan Terdakwa. Namun, karena satu dan lain hal Sdr.
Ekky Zulkarnain tidak dapat dihadirkan oleh Terdakwa sebagai Saksi a de Charge.
4. Selanjutnya transferan tanggal 29 Agustus 2006 sebesar Rp.
139.856.000,- (seratus tiga puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam
ribu rupiah) juga adalah uang Terdakwa LHI yang dikembalikan dari Rekening:
3791180226 sebagai transaksi dari Terdakwa LHI kepada dirinya sendiri dalam
rangka semestinya diterima oleh Terdakwa dan tidak terkait dengan Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagaimana dituduhkan kepada Terdakwa.
1.
B. Adanya
transferan ke rekening BCA No. 0053494541 milik Terdakwa Cabang
Gudang Peluru, dari pihak lain sebagai berikut:
5.
2.1.
Tanggal 10 September 2007 sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah), tanggal 11 September 2007 sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), tanggal 17 September 2007 sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), dan Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) atau
seluruhnya sebesar Rp.70.000.000,- (tujuh
puluh juta rupiah) dari Ahmad Rozy
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ahmad Rozy di persidangan
pada hari Kamis tanggal 7 November 2013 sebagai saksi dibawah sumpah
menerangkan bahwa uang-uang sebagaimana dakwaan adalah uang-uang terkait dengan
hutang-hutang dengan pihak ketiga;
Bahwa Saksi menerangkan masalah transaksi uang dengan Terdakwa LHI
biasanya terkait dengan biaya perkara. Tentang adanya transaksi sejumlah Rp.
70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) itu terkait dengan Terdakwa LHI yang
digugat oleh PT. Temprina, dimana Terdakwa LHI sebagai Komisaris PT. Sirat Inti
Buana yang bergerak dibidang media percetakan dengan menerbitkan Majalah SAKSI.
Ada hutang cetakan sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dari 2
perusahaan. Satu perusahaan Terdakwa memberi uang Rp. 150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah) untuk dinegokan agar tidak sampai sidang di Pengadilan.
Dari Rp. 200 juta itu Saksi skenariokan membeli Mobil Xenia, selanjutnya mobil
diberikan ke mereka dan Pihak Terdakwa LHI melalui Saksi menyanggupi untuk
bayar cicilan dan DP-nya. Sisa DP dan Cicilan mobil itu yang kemudian
dikembalikan oleh Saksi kepada Terdakwa LHI. Dengan demikian dapatlah
dipastikan bahwa uang yang ditransfer Saksi Ahmad Rozi bukanlah berasal dari
hasil kejahatan.
6. Tanggal 19 Desember 2007 sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari Ida Agustiana.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ida Agustiana
dipersidangan pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah
sumpah menerangkan bahwa saksi pernah mentransfer uang sebesar Rp.50.000.000,-
pada bulan Desember 2007 (lupa tanggalnya) ke rekening BCA milik Terdakwa LHI.
Pengiriman uang tersebut untuk pengembalian hutang mendiang suami saksi kepada
Terdakwa LHI.
Bahwa Saksi Ida Agustina melakukan transfer uang uang sejumlah Rp.
50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sebagai pengembalian hutang almarhum
suaminya yang belum selesai dibayarkan kepada Terdakwa LHI. Uang yang
ditransfer adalah bentuk tanggung jawab keluarga almarhum suami Saksi atas
hutang yang harus dikembalikan kepada Terdakwa LHI. Uang itu bersumber dari
almarhum Suami Saksi dan bukan merupakan hasil dan/atau terkait dengan Tindak
Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana Dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum
KPK.
7. Transferan tanggal 26 Desember 2007 sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) sebagai
cicilan pokok Mutu Garansi Prima
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Rifandi dipersidangan pada hari Senin tanggal 28
Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa Mutu Garansi Prima adalah perusahaan milik Saksi
pernah mentransfer uang sebesar Rp.100.000.000,- pada bulan Desember 2007 (lupa
tanggalnya) ke rekening BCA milik Terdakwa LHI sebagaimana dakwaan, namun uang
tersebut untuk pengembalian hutang saksi kepada Terdakwa LHI;
Bahwa Saksi RIFANDI pada bulan Desember tahun 2007 mentransfer
uang sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada Terdakwa LHI
sebagai kewajiban Saksi atas hutang yang pernah diberikan oleh Terdakwa LHI.
Uang itu bersumber dari perusahaan Saksi sebagaimana awal peminjaman untuk
kebutuhan perusahaan;
Bahwa transaksi antara Saksi dengan Terdakwa LHI murni dalam
hubungan kekeluargaan, pinjam meminjam atas kebutuhan Saksi terhadap kebutuhan
keuangan perusahaan yang dilakukan terang-terangan karena bukan dari hasil
kejahatan.
8. Transferan Tanggal 19 Maret 2008 sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dari Achmad Masfuri, berdasarkan keterangan yang
disampaikan Achmad Masfuri dipersidangan
pada hari Kamis tanggal 7 November 2013 sebagai saksi dibawah sumpah
menerangkan bahwa dirinya sudah lupa atas transfer yang pernah dia lakukan ke
rekening Terdakwa LHI.
9. Adapun untuk pihak-pihak lainnya yang melakukan transfer ke
rekening milik Terdakwa LHI diatas, kecuali Saksi Ahmad Zaky yang hadir sebagai Saksi JPU, karena
satu dan lain hal tidak berhasil dihadirkan oleh Terdakwa LHI, yaitu mereka:
- Transferan tanggal 10 Nopember 2004 sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan
tanggal 27 Desember 2004 Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima
juta rupiah) dari Muhammad Syahril;
- Transferan tanggal 11 Nopember 2004 sebesar Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta
rupiah) dari pihak yang tidak diketahui identitasnya;
- Transferan tanggal 27 Desember 2004 sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari Ekky Zulkarnaen;
- Transferan tanggal 31 Juli 2007 sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dari Agoes Korhartono;
- Transferan tanggal 4 Juli 2008 dan tanggal 7 Juli 2008 masing-masing
sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dari Ahmad
Zaky;
- Transferan tanggal 24 Maret 2008 dan tanggal 27 Maret 2008 masing-masing sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dari Bachtiar Sunasto;
- Transferan tanggal 6 Maret 2008 sebesar Rp.15.000.000,- (lima
belas juta rupiah) dari Silvia Syamsir;
- Transferan tanggal 19 Februari 2009 sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) dari Ahmad Zaky;
- Transferan tanggal 2 Maret 2009 sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dari Abdul Qohar;
- Transferan tanggal 17 Maret 2009 sebesar Rp.57.485.000,- (lima puluh tujuh juta empat ratus
delapan puluh lima ribu rupiah) dari Muwardi Gumulya;
- Transferan tanggal 17 Maret 2009 sebesar Rp.62.000.000,- (enam puluh dua juta rupiah) dari Murnia Sari;
- Transferan tanggal 11 Agustus 2009 sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dari Ayub Vredrik Loand;
- Transferan tanggal 9 September 2009 sebesar Rp.40.700.000,- (empat puluh juta tujuh ratus ribu
rupiah) dari H. KEMAS TAUFIK;
- Transferan tanggal 8 Desember 2009 sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dari Mahfudz Priyonggo Sumilaks.
Bahwa semua transaksi antara nama-nama tersebut diatas adalah
murni dalam hubungan kekeluargaan, pinjam meminjam dan bisnis antara mereka
dengan Terdakwa LHI, yang bukan berasal dari Kejahatan.
1.
C. Menerima Hadiah atau Hibah berupa Pajero
Sport Exceed AT 4×4 tahun 2009 warna hitam dari Ahmad Maulana, dengan uraian
peristiwanya sebagai berikut:
10. Pada tanggal 21 Desember 2009 Ahmad Maulana menyetorkan
uang muka sebesar USD 5000 (lima ribu dollar)
atau saat itu setara dengan Rp.40.100.000,-
(empat puluh juta seratus ribu rupiah). Selanjutnya pada tanggal 22 Januari 2010 AHMAD MAULANA melunasi sisa
pembayarannya dengan melakukan pentransferan uang sebanyak 3 kali ke rekening
PT Aneka Putra Santosa, masing-masing sebesar Rp.390.000.000,- (tiga
ratus sembilan puluh juta rupiah), Rp.10.000.000,- (sepuluh
juta rupiah) dan Rp.5.000.000,- (lima juta
rupiah) atau seluruhnya berjumlah sebesar Rp.405.000.000,- (empat
ratus lima juta rupiah). Setelah dilakukan pelunasan maka mobil Mitsubishi
Pajero Sport yang BPKB dan STNKnya dibuat atas nama Terdakwa LHI tersebut
diantarkan ke alamat Terdakwa LHI di Jl.A No.11 RT 002/RW001 Kelurahan Cipinang
Muara, Kecamatan Jatinagara Jakarta Timur.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ahmad Maulana dipersidangan pada hari Senin tanggl
28 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa sumber dana
untuk pembelian satu unit mobil Pajero Sport Exceed AT 4×4
tahun 2009 warna hitam dari Saksi Ahmad Maulana;
Bahwa Saksi Ahmad Maulana secara
sadar membeli dan melakukan pembayaran mobil untuk Terdakwa LHI tidak lebih
hanya sebagai wujud amal/shodaqoh seorang murid kepada gurunya. Saksi
menerangkan bahwa Terdakwa LHI adalah guru ngajinya yang selayaknya dibantu
dengan penuh ikhlas dan semata-mata mengharapkan keberkahan dan pahala dari
Allah semata.
D. Dalam kurun waktu Desember 2010 s/d Januari
2013 Terdakwa LHI menerima hibah atau pemberian berupa uang tunai baik dalam
mata uang rupiah atau mata uang asing, properti dan mobil:
11. Perihal dakwaan bahwa pada sekitar akhir tahun 2011 bertempat di Mall Grand Indonesia
Jakarta Pusat, tedakwa menerima uang tunai sebesar Rp 250 juta sebagai uang perkenalan dari Yudi Setiawan, yang mana awalnya uang tersebut
diserahkan oleh Yudi Setiawan kepada Deni Adiningrat, akan tetapi Deni tidak
memberikan langsung kepada Terdakwa LHI melainkan dititipkan melalui Ahmad Fathanah sehingga Yudi meminta agar
uang tersebut dikembalikan. Atas permintaan Yudi tersebut Ahmad Fathanah
menemui Yudi di Kantor PT CTA di Jalan Cipaku untuk mengembalikan uang
tersebut. Namun Yudi menyuruh Ahmad Fathanah untuk membawa uang tersebut
keesokan harinya pada pertemuan di Mall Grand Indonesia Jakarta Pusat, kemudian Ahmad Fathanah menyerahkan uang tersebut kepada Terdakwa LHI di
hadapan Yudi;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah
dipersidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah
sumpah menerangkan bahwa saksi Ahmad Fathanah pernah menerima uang sebesar
Rp.250.000.000,- dari Yudi Setiawan.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Terdakwa LHI
dipersidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 sebagai Terdakwa
LHI dibawah sumpah menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang
sebesar Rp.250.000.000,- dari Yudi Setiawan.
Bahwa peristiwa tersebut menguatkan keyakinan kita semua bahwa
Saksi Ahmad Fathanah selalu menjual nama Terdakwa LHI untuk meminta uang dengan
mengatas namakan Terdakwa LHI padahal sebetulnya untuk kepentingan dirinya
sendiri. Sebagai terbukti dalam peristiwa diatas tidak pernah ada permintaan
dan keinginan dari Terdakwa LHI untuk mendapatkan uang dari Sdr. Yudi Setiawan.
Sebagaimana keterangan Terdakwa LHI dalam persidangan yang secara tegas
menyatakan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang sebesar Rp.
250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dari Sdr. Yudi Setiawan
melalui Sdr. Ahmad Fathanah
12. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 8 Mei 2012 bertempat di Ermenegildo Zegna Plaza
Senayan Lt.1 Nomor 131 B Jakarta Selatan, Terdakwa LHI menerima pembayaran atas
pesanan jas milik Terdakwa LHI seharga Rp.165 juta yang
dilakukan Yudi Setiawan dengan menggunakan uang dollar Singapore sebesar SGD
20,000 (dua puluh dollar Singapore) dan sisanya menggunakan Citibank Credit
Card;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah dipersidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober
2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa ketika Terdakwa LHI sedang
mengukur-ukur, saksi Ahmad Fathanah meminta Yudi Setiawan untuk membayar jas
yang dibeli Terdakwa LHI dan 5 – 6 stel yang dibeli saksi Ahmad Fathanah
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Luthfi Hasan
Ishaaq dipersidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa
Terdakwa LHI tidak pernah tahu sebelumnya
kalau Yudi Setiawan yang membayar 2 Jas dan 3 baju lengan pendek dan panjang
(bukan 20 jas) sebagaimana keterangan Saksi Yudi Setiawan, karena saat Terdakwa
LHI mau membayar di kasir dilarang oleh Ahmad Fathanah. Oleh karena itulah,
menurut anggapan Terdakwa LHI pembayaran dari Ahmad Fathanah itu akan
dikonversi kedalam hutang-hutangnya.
Bahwa pembelian 2 jas dan 3 baju lengan pendek dan baju lengan
panjang oleh Terdakwa LHI tidak pernah meminta untuk dibayarkan oleh Sdr. Yudi
Setiawan. Terdakwa LHI memesan 2 Jas dan 3 baju sebagaimana tersebut diatas
dengan niat untuk dibayar sendiri, namun Terdakwa LHI juga heran bila pembelian
2 jas dan 3 baju berharga Rp 165 juta. Jika Yudi Setiwan bersaksi bahwa pembayaran
Rp 165 juta adalah untuk 20 potong pakaian maka berarti hanya 5 potong yang
merupakan pembayaran untuk Terdakwa LHI, selebihnya merupakan pembayaran untuk
Ahmad Fathanah yang secara licik meminta Yudi membayarkan untuk Terdakwa LHI
padahal sebagain banyak adalah untuk kemanfaatan Ahmad Fathanah.
Dan karenanya adalah TIDAK BENAR bahwa Terdakwa LHI menerima hibah atau pemberian berupa uang tunai baik dalam mata uang rupiah atau mata
uang asing, properti dan mobil yang nilainya mencapai Rp.17.830.832.200 (delapan belas miliar tiga ratus
depalan puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh dua ribu dua ratus rupiah) serta USD 79, 375 (tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus
tujuh puluh lima dollar amerika serikta) dan RM 10,000 (sepuluh
ribu ringgit malaysia).
13. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 19 Juni 2012 bertempat di rumah makan Arab Alayerajes Jakarta Selatan, Terdakwa LHI menerima
pemberian uang dari Yudi Setiawan sebesar Rp 500 juta terkait
dengan ijon proyek benih kopi. Sebelumnya Yudi melakukan transfer uang dari
Rekening BCA Nomor: 1300366666 ke Rekening Giro BACA Nomor: 1302266667 atas
nama CV Aneka Pustaka Ilmu (CV API) dan pada slip pengiriman tertulis Berita:
“ustadz ke II kopi”. Kemudian dicairkan dan diserahkan kepada Terdakwa LHI melalui Ahmad Fathanah.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah dipersidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober
2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa Saksi Ahmad Fathanah tidak ingat tentang uang yang Rp.500 juta tersebut. Namun, seingat saksi
jumlahnya Rp.450 juta bentuk cek dan
Saksi cairkan dan berikan kepada Terdakwa LHI sebagai sumbangan dari Yudi
Setiawan untuk Pilkada DKI.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Luthfi Hasan Ishaaq
dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa
Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang Rp.500 juta dari Yudi Setiawan dan tidak pernah
tahu rumah makan Arab Alayerajes dan
tidak pernah kesana.
Bahwa terhadap pengakuan Saksi Yudi Setiawan kalau Terdakwa
menerima uang sebesar Rp. 500 juta dan Rp. 450 juta rupiah dari Saksi Yudi
Setiawan melalui Sdr. Ahmad Fathanah adalah diluar pengetahuan Terdakwa LHI.
Terdakwa LHI tidak tahu dan tidak pernah datang ke Rumah Makan Arab Alayerajes
sebagaimana dimaksud Yudi Setiawan. Sehingga pemberian uang sejumlah yang
disebutkan oleh Sdr. Yudi Setyawan melalui Sdr. Ahmad Fathanah adalah tidak
benar;
Dengan demikian dakwaan bahwa Terdakwa menerima gratifikasi yang
nilainya mencapai Rp.17.830.832.200 (delapan
belas miliar tiga ratus depalan puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh dua ribu
dua ratus rupiah) serta USD 79, 375 (tujuh
puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh lima dollar amerika serikta) dan RM 10,000 (sepuluh ribu ringgit malaysia) adalah
tidak benar;
14. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 6 Juli 2012 bertempat di Parkir Lapangan Tembak Senayan Jakarta Selatan,
Terdakwa menerima pemberian uang dari Yudi Setiawan sebesar Rp.500 juta terkait dengan ijon proyek benih kopi.
Sebelumnya Yudi Setiawan melakukan transfer uang dari Rekening BCA Nomor:
1300366666 ke Rekening Giro BCA Nomor: 1302266667 atas nama CV Aneka Pustaka
Ilmu (CV API) dan pada slip pengiriman tertulis Berita: “ustadz ke II kopi”.
Atas pemberian tersebut YUDI meminta agar Terdakwa LHI
menandatangani kwitansi penerimaan, namun kemudian Terdakwa LHI meminta Ahmad
Fathanah yang menandatanganinya.
Bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah
dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa
Saksi tidak ingat mengenai uang yang Rp 500 juta dan
menegaskan bahwa Terdakwa tidak pernah ikut campur dan berhubungan dengan
urusan proyek kopi atau jagung dan tidak ada uang yang Saksi berikan kepada
Terdakwa LHI.
Bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Luthfi
Hasan Ishaaq sebagai Terdakwa dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21
November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima
uang Rp.500 juta dari Yudi Setiawan
Bahwa keterangan Saksi Ahmad Fathanah menegaskan bahwa Terdakwa
LHI tidak pernah ikut campur dan berhubungan dengan urusan proyek kopi atau
jagung dan tidak ada uang yang Saksi berikan kepada Terdakwa. Sebagaimana juga
keterangan Terdakwa LHI dalam persidangan yang menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang Rp.500 juta dari Yudi Setiawan.
Bahwa mengaitkan setiap tindakan Ahmad Fathanah dengan Terdakwa
sama artinya dengan menjadikan Terdakwa LHI sebagai tempat pencucian dosa
seorang Ahmad Fathanah maupun Yudi Setyawan yang sesungguhnya tidak pernah
diketahui dan apalagi diminta oleh Terdakwa LHI. Tidak terdapat bukti
penerimaan uang dari Yudi kepada Terdakwa LHI, yang terbukti adalah bahwa
semuanya diterima oleh Ahmad Fathanah, dengan mengatas namakan Terdakwa LHI
namun tidak pernah diberikan kepada Terdakwa LHI.
15. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 9 Juli 2012 bertempat di Kantor PT CTA Jalan
Cipaku, Terdakwa menerima pemberian 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser Nopol B 1340 THE, Noka GSJ15-0118818
dan Nosin IGR-A481210 dari PT Auto One Perkasa Mulia, Jl. Boulevard Timur Raya
Nomor 3 Kelapa Gading Jakarta Utara seharga Rp.900 juta dari
Yudi Setiawan;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa Terdakwa
LHI pernah meminta tolong dicarikan mobil FJ Cruiser untuk
kepentingan perjalanan kegiatan Safari Dakwah dan Terdakwa LHI ketika itu juga
mengatakan mau membayar namun oleh Saksi Ahmad Fathanah ditolak dengan mengatakan nanti saja nanti juga
ditagih. Atas dasar itulah, Saksi Ahmad Fathanah memanfaatkannya untuk meminta
kepada Yudi Setiawan supaya dibelikan mobil FJ Cruiser seolah-olah
atas permintaan Terdakwa LHI untuk perjalanan kegiatan Safari Dakwah meskipun
dihadapan Terdakwa LHI, Saksi Ahmad Fathanah mengatakan bahwa ada temannya yang
bisa mengusahakan mendapatkan mobil FJ Criuiser itu
dengan cepat. Kemudian mobil FJ Cruiser itu
dibelikan oleh Yudi Setiawan dengan Nopol B 1340 THE. Namun, setelah Terdakwa LHI
mengetahui kalau mobil yang dipakai itu dimaksudkan untuk diberikan kepada
Terdakwa LHI maka Terdakwa LHI marah dan mengembalikannya meskipun namanya
sudah menggunakan nama Terdakwa LHI.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Rozy sebagai saksi dibawah sumpah
dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 7 November 2013 menerangkan bahwa
Terdakwa LHI telah mengembalikan mobil FJ Cruiser tersebut. Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh
Luthfi Hasan Ishaaq menerangkan bahwa Terdakwa LHI memang pernah minta
dicarikan dan memesan mobilk FJ Cruiser melalui Ahmad Fathanah dan ketika
ditanya tentang harganya, Ahmad Fathanah mengelaknya dengan alasan nanti saja.
Kemudian, mobil tersebut bisa disediakan oleh Ahmad Fathanah. Namun, Ahmad
Fathanah masih terus menolak pembayaran dari Terdakwa LHI
meskipun sudah Terdakwa LHI desak berkali-kali agar menerima pembayaran dari
Terdakwa LHI. Akhirnya Terdakwa LHI berpikir, kalau sudah seperti itu nanti
saja saat Ahmad Fathanah meminta KTP untuk kepentingan STNK dan BPKB. Namun
ternyata, didalam STNK mobil tersebut sudah tercantum nama Terdakwa LHI, entah
bagaimana caranya Ahmad Fathanah bisa melakukan hal seperti itu, yang jelas
Terdakwa LHI tidak pernah memberikan identitas KTP kepada Ahmad Fathanah.
Bahwa dari keterangan Ahmad Fatahanah, Ahmad Rozi maupun
keterangan Terdakwa LHI, membuktikan secara jelas bahwa Terdakwa LHI ditipu
oleh Ahmad Fathanah dan Yudi Setyawan untuk kepentingan keduanya yang semuanya
diluar pengetahuan Terdakwa LHI. Sehingga Terdakwa LHI melalui Sdr. Ahmad Rozi
mengembalikan pemberian 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser Nopol B 1340
THE oleh Sdr. Yudi Setyawan melalui Ahmad Fathanah karena
selain tidak pernah meminta kepada Yudi Setyawan juga KTP Terdakwa diambil oleh
Sdr. Ahmad Fathanah tanpa sepengetahuan Terdakwa LHI.
Bahwa dengan Terdakwa LHI mengembalikan pemberian 1 (satu) unit
mobil Toyota FJ Cruiser Nopol B 1340 THE kepada Sdr.
Yudi Setyawan melalui Ahmad Rozi, dan pengembalian ini terjadi sebelum adanya
perkara terhadap Terdakwa LHI, maka harus diartikan bahwa tidak pemberian
sehingga dengan demikian tidak ada gratifikasi.
16. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 31 Desember 2012, Terdakwa LHI menelpon AF meminta agar
dibelikan 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser 4×4 AT untuk
kepentingan Safari Dakwah PKS di Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa pembelian
untuk FJ Cruiser Nopol B 1330 SZZ pada tanggal 31
Desember 2012 itu uangnya sebagai DP bersumber dari Terdakwa LHI yang diberikan
kepada Ahmad Fathanah melalui stafnya yang bernama Budiyanto. Selanjutnya yang
melakukan cicilan adalah Terdakwa LHI sendiri.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Budiyanto
sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21
November 2013 menerangkan bahwa Saksi Budiyanto pernah diperintahkan oleh
Terdakwa LHI untuk menyerahkan uang pada tanggal 3 Januari 2013 kepada Ahmad
Fathanah sebesar 65 ribu U$.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Terdakwa LHI dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa uang
yang digunakan untuk pembelian mobil FJ Cruiser Nopol B 1330 SZZ adalah
uang dari Terdakwa LHI sendiri bukan uang dari Yudi Setiawan.
Bahwa keterangan Sdr. Ahmad Fathanah dibenarkan oleh keterangan
Terdakwa LHI yang menerangkan bahwa uang yang digunakan untuk pembelian mobil FJ Cruiser Nopol B 1330 SZZ adalah uang Terdakwa
LHI sendiri bukan uang dari Yudi Setiawan dengan sistim
pembayaran melalui Leasing-Mitsui. Sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai
pemberian orang lain dan karenanya tidak ada Gratifikasi atas pembelian mobil
dimaksud;
17. Perihal dakwaan pada tanggal 24 Agustus 2012 bertempat
di Kamar Apartemen Sudirman Jakarta Selatan milik
YUDI, Terdakwa LHI menerima pemberian uang tunai senilai 2 milyar yang awalnya Terdakwa LHI menelepon Yudi
Setiawan meminta bantuan sejumlah uang untuk kepentingan paket lebaran.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa uang 2
milyar dari Yudi Setiawan memang benar
diterima oleh Ahmad Fatanah di Apartemen Sudirman namun uang tersebut tidak
pernah diberikan kepada Terdakwa LHI.
Berdasarkan keterangan Terdakwa LHIdi persidangan pada hari Kamis
tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI TIDAK pernah menerima uang 2 milyar yang dimaksudkan
oleh Yudi Setiawan tersebut. Bahkan Terdakwa LHI tidak pernah tahu dan belum
pernah ke Apartemen Sudirman.
Bahwa tidak bisa diterima keterangan Sdr. Yudi Setyawan kalau
setiap transaksi dan pemberian uang antara dirinya dengan Ahmad Fathanah selalu
dikaitkan dengan Terdakwa. Karena faktanya banyak kegiatan dan transaksi antara
Yudi Setyawan dan Ahmad Fathanah tidak atas perintah atau permintaan Terdakwa
LHI.
Terdakwa LHI juga heran dengan keterangan Saksi Yudi Setiawan yang
semuanya memberatkan dan ditujukan kepada Terdakwa LHI. Nampak sekali Yudi
Setyawan ingin menyeret Terdakwa LHI karena dendam padahal sebetulnya dia
terperdayai (ditipu) oleh Ahmad Fathanah;
1.
Perihal dakwaan terkait adanya beberapa kali pemberian uang dari
Yudi Setiawan kepada Terdakwa LHI melalui Ahmad Fathanah, yaitu tanggal 18, 19
, 24, 25 September 2012 dan sekitar bulan November 2012;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa
seluruh uang yang disebutkan diatas tidak pernah diberikan kepada Terdakwa LHI
dan proyek-proyek tersebut adalah bisnis Ahmad Fathanah saja dengan Yudi
Setiawan dan tidak pernah melibatkan Terdakwa LHI dan Terdakwa LHI tidak pernah
tahu urusan Saksi Fathanah.
Bahwa Yudi Setiawan sendiri juga melalui Deni Adiningrat bersama
Dedi Yamin pernah booking Hotel dan bertemu dengan seorang bernama Saiful di
Kuala Lumpur yang merupakan orang suruhan seorang Politisi bernama Romi dari
Komisi IV DPR RI. Bahkan kunci kamar Hotel diberikan kepada seorang perempuan
yang menurut Saksi Deni Adiningrat sebagai orangnya Pak Saiful. Yang sebelumnya
telah terlebih dahulu didalam Brankas Hotel ditaruh uang sejumlah 130 ribu US
dollar. Terdakwa LHI tidak pernah mengetahui dengan proyek-proyek itu. Faktanya
Sdr. Yudi Setyawan justru berusaha mendapatkan proyek proyek melalui orang lain
yang juga Terdakwa LHI tidak tahu;
19. Perihal dakwaan bahwa pada bulan Desember 2010 Terdakwa LHI meminta Maulana melakukan
pemesanan atas pembelian 1 (satu) unit mobil di PT. Sumber Trada Mobilindo yang
beralamat di Jl. Jatinegara Barat Nomor 140 Jakarta Timur, yaitu mobil MAZDA CX-9, Nopol B 2 MDF,
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Maulana sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013 menerangkan bahwa
saksi memang pernah membelikan Terdakwa LHI 1 (satu) unit mobil Mazda CX-9 seharga Rp 740 juta diatas dengan
menggunakan uang separuh dari dirinya dan separuh dari Terdakwa LHI.
Bahwa keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa saksi
pernah memberikan uang kepada Ahmad Maulana untuk pembelian Mobil Mazda CX-9
untuk Terdakwa LHI namun atas permintaan Terdakwa LHI juga bahwa uang tersebut
sebagai pembayaran hutang-hutang Saksi kepada Terdakwa LHI. Bahwa demikian juga
keterangan yang disampaikan oleh Terdakwa LHI dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa untuk
pembelian mobil Mazda CX-9 adalah menggunakan uang Terdakwa LHI sebesarRp.400 juta. Sementara uang yang Rp.350
juta merupakan pinjaman dari Ahmad Maulana.
Bahwa mobil tersebut dibeli oleh Terdakwa LHI dengan sebagian uang
dari Sdr. Ahmad Fathanah sebagai pengembalian
hutang dan sebagiannya lagi yaitu sebesar Rp. 350 juta adalah
pinjaman dari Ahmad Maulana.
Bahwa dalam keterangannya dalam persidangan, Ahmad Maulana
menjelaskan kalau pemberian pinjaman kepada Terdakwa LHI adalah bentuk bantuan
untuk seorang guru (ngaji) yang ia hormati. Bahwa pengakuan Maulana maupun
Terdakwa LHI sebagai pinjaman, artinya pada waktunya akan dikembalikan oleh
Terdakwa LHI kepada Sdr. Ahmad Maulana. Semua ini membuktikan bahwa uang dan
mobil tersebut bukan merupakan Gratifikasi sebagaimana didakwakan Sdr. Penuntut
Umum.
20. Perihal dakwaan terkait adanya beberapa kali pemberian uang
melalui transfer dari Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI, yaitu 14 April 2012,
1 Juli 2012, 12 Oktober 2012, 27 Oktober 2012, 3 Desember 2012, 14 Januari
2013, Desember 2012 hibah USD 9375, 2 November 2012;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa seluruh
uang transferan dan pemberian sebagaimana dalam kurun waktu tersebut diatas
yang sumbernya dari Saksi Ahmad Fathanah merupakan pembayaran hutang-hutang
Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI sebesar Rp. 2,9 milyar dan baru dibayar 1,7
milyar, lebih seingat Saksi. Adapun untuk pembayaran hutang yang ditulis JPU
sebesar Rp.750 jutaadalah tidak benar yang benar adalah Rp.450 juta atau Rp.500 juta -
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Terdakwa LHI dalam persidangan pada hari Kamis
tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa terhadap seluruh uang transferan dan
pemberian sebagaimana dimaksud diatas yang sumbernya dari Saksi Ahmad Fathanah
merupakan pembayaran hutang-hutang Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI sebesar
Rp. 2,9 milyar dan pembayaran dicicil sebagaimana disebutkan dalam dakwaan
diatas. Adapun untuk pembayaran hutang sebagaimana sebesar Rp.750 juta tidak benar seingat Terdakwa LHI hanya
sekitar Rp.150 juta juta atau Rp.250 juta.
Bahwa pembayaran hutang-hutang Sdr. Ahmad Fathanah kepada Terdakwa
LHI selalu diberikan setiap Sdr. Ahmad Fathanah ada uang dan sering pula uang
yang sudah diberikan oleh Sdr. Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI dipinjam lagi
oleh Ahmad Fathanah. Begitu seterusnya, sehingga utang Fathanah kepada Terdakwa
LHI tidak pernah selesai pembayarannya
21. Perihal dakwaan bahwa ada Tanggal 21 Desember 2012, Terdakwa
LHI pernah menerima uang tunai sebesar Rp.300.000.000,- (tiga
ratus juta rupiah) dari ZAKY;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Terdakwa LHI di
persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa
LHI pernah meminjamkan uang kepada Ahmad Zaky dengan mengirimkan uang tersebut
kepada anak Terdakwa LHI merupakan pelunasan hutang, sehingga membuktikan bukan
merupakan gratifikasi.
22. Perihal dakwaan bahwa Terdakwa LHI pernah menerima hibah atau pemberian berupa pembayaran Cicilan atas
Kredit Pemilikan Rumah Syariah (KPRS) Bank Muamalat dari Zaky senilai Rp.776.332.200.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Tanu Margono sebagai Saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 2013 menerangkan bahwa rumah
yang ada di kavling A dan E milik Saksi di beli oleh Terdakwa LHI seharga Rp.
1.944.374.080,- untuk harga kavling A dan Rp.1.946.180.000 untuk kavling E.
Proses pembelian dilakukan langsung bertemu antara Terdawa LHI dengan saksi
dihadapan notaris.
Bahwa pembelian 2 (dua) kaveling tanah dan bangunan milik Saksi
Tanu Margono adalah melalui fasilitas kredit Bank Muamalat Cabang Bekasi.
Sehingga sumber keuangan Terdakwa LHI menjadi jelas untuk pebelian dua kavling
tanah dan bangunan dimaksud adalah menjadi tanggungan Bank dan selanjutnya
Terdakwa LHI menyicil secara kredit kepada Bank Muamalat Cabang Bekasi setiap bulannya
sebesar Rp. 31.053.228,- (tiga puluh satu juta lima puluh tiga ribu dua ratus
dua puluh delapan ribu rupiah) dan telah dicicil sebanyak 25 (dua puluh lima)
bulan atau senilai Rp. 776.332.200,- (tujuh ratus tujuh puluh enam juta tiga
ratus tiga puluh dua ribu dua ratus rupiah). Karenanya membuktikan bukan
sebagai Gratifikasi.
E. Tentang Terdakwa LHI membayarkan atau
membelanjakan sejumlah uang dalam kurun Waktu Maret 2007 sampai dengan Desember
2008, untuk pembelian (1) Mobil Nissan Frontier Navara (2) Rumah di Cipanas dan
(3) Lima (5) bidang tanah untuk Pabrik di Leuwilang-Bogor:
23. Perihal dakwaan adanya pembelian Mobil Nissan Navara Type
Frontier warna Hitam Nopol B 9051 Ql Noka MNTVCUDAa0Z0002698, sejumlah Rp.
350.000.000.
Bahwa pada tanggal 21 November 2013 terdakwa menerangkan membeli
mobil tersebut menggunakan pembiayaan Muraba’ah Bank Syariah Mandiri (BSM)
Cabang Purwakarta Nomor 17 tanggal 08 April 2008, pembiyaan yang diangsur
sebesar Rp. 491.876.576,68 (empat ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus
tujuh puluh enam ribu lima ratus tujuh puluh enam rupiah) setelah uang
diperoleh pembayarannya diserahkan kepada penjual mobil Ustadz Hilmi Aminudin,
kemudian Terdakwa mencicil kepada Bank tersebut.
Bahwa dengan adanya pembiyaan Muraba’ah dari Bank Syariah Mandiri
tersebut membuktikan bahwa dana untuk membeli Mobil Nissan Navara Type Frontier
berasal dari bank Syariah Mandiri Cabang dengan pembayaran secara berangsur
selama 48 bulan, hal mana membuktikan bahwa pendanaan bukan berasal dari hasil
kejahatan.
24 Perihal dakwaan adanya pembayarkan atau
pembelanjakan pada sekitar tahun 2007 sejumlah uang Rp 1.500.000.000,- (satu
milyar lima ratus juta rupiah) pembelian 1 (unit) bangunan rumah seluas 250 M2
diatas tanah seluas 700 M2 terletak di Jalan Loji Timur No. 24 RT 17 RW 02 Desa
Cipanas Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Keterangan Terdakwa LHI pada persidangan tanggal 21 November 2013,
harga tanah dan bangunan tersebut sejumlah Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima
puluh ribu rupiah) yang ditarik dari rekening PT. Sirat Inti Buana.
Pembelian tersebut dilakukan secara terang-terangan yang dikuatkan
dengan keterangan Saksi H. Hilmi Aminuddin pada tanggal 21 Oktober 2013
menyatakan, pembelian tanah diangsur dan sudah lunas, keseluruhan totalnya Rp.
750.000.000,-
Bahwa sumber dana yang diperoleh Terdakwa LHI berasal dari
perusahannya PT. Siraj Inti Buana, pengambilan secara Cash di Bank
Internasional Indonesia atas nama PT. Siraj Inti Buana No Rekening 2-017-811505
adalah sebagai berikut :
- Tanggal 11 April 2007 tarik tunai
Rp. 500.000.000,-
- Tanggal 16 April 2007 tarik tunai
Rp. 250.000.000,-
Bahwa sumber dana untuk pembelian tanah tersebut berasal dari PT.
Siraj Inti Buana dimana Terdakwa LHI adalah pemegang saham mayoritas atas
perusahaan tersebut dan memilki kewenangan untuk menggunakan dana yang ada dalam
perusahaannya. Semua ini membuktikan bahwa properti ini tidak diperoleh dari
hasil kejahatan.
25 Perihal dakwaan pembayaran atau pembelanjaan
pada rentang waktu antara tanggal 15 Agustus 2007 s/d 3 Februari 2008 sejumlah
uang Rp. 3.500.000.000 (tiga milyar lima ratus juta rupiah) 5 (Lima) Bidang
Tanah yang diatasnya berdiri satu unit bangunan Pabrik pembuatan genteng
terletak di desa Leuwimekar/barengkok Kecamatan Kabupaten Bogor Jawa Barat,
masing-masing bidang tanah seluas 3.180 M2, 8.180 M2, 9470 M2, 33.340 M2 dan
5.410 M2. Sertifikat atas nama Yopie Sangkot batubara
Bahwa dalam persidangan tanggal 21 Nopember 2013, Terdakwa LHI
menjelaskan tanah tersebut dibeli seharga 3,5 Milyar, dananya bersumber dari
PT. Siraj Inti Buana
Bahwa hal mana juga dikuatkan oleh keterangan saksi Delli Agustian
Pratama (a de charge) yang bersaksi pada tanggal 18 november 2013, saksi
mendengar dari orang tuanya pada tahun 2007 pernah bekerjasama dengan Terdakwa
LHI membeli tanah di Bogor dulunya pabrik genteng, pada saat itu ada penarikan
uang agak besar sehingga saat itu ada kekurangan uang cashflow di PT Siraj Inti
Buana.
Bahwa saksi Abdurahman hakim pada tanggal 28 Oktober 2013
menerangkan tentang bahwa kebenaran Terdakwa LHI tidak mengambil keuntungan
tetapi dari PT Siradj Inti Buana, terjadi pengurangan modal usaha yang sedang
berjalan ini ditarik untuk pembelian tanah di Barengkok Bogor.
(Bukti T-12 ) : bukti ini menunjukkan adanya penarikan cash kurun waktu
bulan 22 Mei s/d 29 Januari 2007 pada Bank Internasional Indonesia ( BII) Milik
PT. Siraj Inti Buana rekening Nomor: 2-017-811505 sejumlah keseluruhan Rp. 3.550.159.284,-
Membuktikan bahwa pembelian atas tanah/properti atas 5 (Lima) Bidang Tanah yang diatasnya berdiri satu unit bangunan
Pabrik pembuatan genteng terletak di desa Leuwimekar/barengkok Bogor,
menggunakan sumber dana yang jelas yaitu hasil usaha PT. Siraj Inti Buana
dimana Terdakwa LHI adalah pemilik perusahaan tersebut dan memilki kewenangan
untuk menggunakannya. Jadi jelas terbukti bukan dari hasil kejahatan.
F. Tentang Membayarkan Atau
Membelanjakan Sejumlah Uang Sebesar: Rp.10.198.000.000:
26 Tentang Pembelian Volvo CX
60 T6 AWD warna ice white dan Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Agus Trihono sebagai saksi yang di sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggl 21 Oktober 2013 menerangkan bahwa Saksi
diminta mengantarkan pembayaran uang muka sebesar Rp. 400.000.000,- atas mobil Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire yang dipesan langsung oleh Pak
Soeripto dari PT. Indobuana Autoraya. Harga mobil tersebut adalah seharga Rp.710.000.000,-. Pada saat yang bersamaan, Terdakwa
LHI memesan mobil yang hampir sama yaitu Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white seharga Rp.1,2 M dan meminta Saksi untuk mengantarkan
pembayaran uang tanda jadi sebesarRp.100.000.000,- atas
pemesanan mobil Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white.
Namun, oleh Saksi pembayaran untuk tanda jadi atas pemesanan mobil Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white dilakukan melalui transfer E-Banking ke Rekening BCA Nomor:
261-301-7551 atas nama IBAR VOLVO. Sementara, sisanya yangRp.80.000.000,- pada tanggal 2 Mei 2012 oleh
Saksi diserahkan langsung kepada pihak PT. Indobuana Autoraya dan diberikan
tanda terimanya. Sehingga, total uang tanda jadi dari Terdakwa adalah sebesar Rp.100.000.000,- Sementara itu, pada waktu yang
bersamaan, Pak Soeripto juga menitipkan uang sebesar Rp.310.000.000,-kepada saksi untuk pelunasan mobil
pesanannya yaitu Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta persidangan diatas, dakwaan
penuntut umum yang menyatakan bahwa pada tanggal 18 April 2012 ada uang sebesar Rp. 400.000.000,- dari terdakwa kepada Saksi untuk
pembayaran uang muka mobil Volvo CX 60 T5 AWD warna black
sapphire adalah tidak benar karena uang tersebut adalah dari Pak Soeripto bukan dari
Terdakwa.
Demikian juga, terhadap dakwaan penuntut umum yang menyatakan
bahwa Pada tanggal 2 Mei 2012, Terdakwa
LHI menyerahkan uang tunai sebesar Rp.390.000.000,- (tiga
ratus sembilan puluh juta rupiah) kepada Saksi untuk membayarkan pelunasan
harga dari mobil Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire yaitu
sebesarRp.310.000.000,- (tiga ratus sepuluh juta rupiah)
dan selebihnya yaitu sebesar Rp.80.000.000,- (delapan
puluh juta rupiah) dibayarkan untuk menambah uang muka atas
pemesanan mobil Volvo XC 60 T6 sehingga uang
muka untuk pemesanan mobil Volvo XC 60 T6 tersebut
adalah sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta
rupiah), atas pembayaran pelunasan harga dari mobil Volvo XC 60 T5 sebesar Rp.710.000.000,- (tujuh ratus sepuluh juta rupiah)
dan pembayaran uang muka mobil Volvo XC 60 T6 sebesar Rp. Rp.100.000.000,- (seratus
juta rupiah) tersebut Pihak PT. Indobuana Autoraya menyerahkan tanda terima
pembayaran kepada Agus Trihono sesuai dengan
perintah Terdakwa adalahtidak benar, karena uang
Rp.390.000.000,- tersebutberasal Pak Soeripto sebesar Rp.310.000.000,- untuk pelunasan pembayaran mobil
pesanannya yaitu Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire bukan
dari Terdakwa LHI dan yang Rp.80.000.000,- adalah
uang dari Terdakwa LHI untuk menambah uang tanda jadi yang baru Rp.20.000.000,- diawal sehingga tanda jadi dari
Terdakwa untuk pemesanan Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white adalah
sebesar Rp.100.000.000,-. Sehingga, uang yang baru
diberikan Terdakwa kepada pihak PT. Indobuana Autoraya adalah sebesar Rp.100.000.000,- dari harga mobil VolvoCX 60 T6 AWD warna ice white sebesar Rp. 1.250.000.000.000,-.
Namun demikian, menurut keterangan Saksi Agus Trihono, pesanan
Terdakwa untuk mobil Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white mengalami
kendala, yaitu belum ada specifikasi yang diminta oleh Terdakwa. Sehingga,
Terdakwa membatalkan pembelian atas mobil tersebut dan
memerintahkan Saksi untuk meminta uang tanda jadi yang pernah diberikan
kepada pihak PT. Indobuana Autoraya. Akan tetapi, sebelum uang muka itu
dimintakan kembali oleh Saksi, Terdakwa lebih dulu ditangkap oleh KPK. Dengan
demikian, Dakwaan Jaksa yang menyatakan bahwa, pembatalan atas pemesanan mobil
tersebut oleh Terdakwa LHI setelah ditangkap KPK adalah tidak benar
27 Tentang Pembelian Mobil Alphard 2.4 G AT,
warna hitam dan Perumahan Bagus Residence.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Syamilahmad Bin Mader sebagai saksi dibawah sumpah
dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21November 2013 menerangkan bahwa
saksi adalah calon mantu Terdakwa LHI yang sudah mengenal Terdakwa LHI sejak
tahun 2006. Sebagai calon mantu, Terdakwa LHI memberikan syarat kepada Saksi
apabila kelak menjadi suami dari putri Terdakwa LHI, yaitu Saksi harus tinggal
di Indonesia dan tidak boleh tinggal di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai
bentuk komitmen Saksi untuk menjamin syartat-syarat itu, maka Saksi memberikan
uang kepada Terdakwa LHI untuk dibelikan rumah dan mobil di Indonesia dan untuk
keperluan pernikahannya.
Uang yang sudah diberikan kepada Terdakwa LHI seluruhnya berjumlah 400,000 U$D yang diberikan secara bertahap di
beberapa tempat dan kesempatan bertemu dengan Terdakwa HI antara tahun 2009 –
2013, diantaranya di Jakarta, Moscow dan Istambul. Penyerahan-penyerahan uang
tersebut, dilakukan oleh kedua orang tuanya kepada Terdakwa LHI.
Saksi juga kemudian mengetahui bahwa uang tersebut telah dibelikan Mobil Toyota Alphard dan Perumahan di Kebagusan namun kepemilikannya belum
menggunakan nama Saksi, meskipun Terdakwa LHI pernah meminta dokumen-dokumen
untuk keperluan balik nama.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Faizal sebagai saksi tanpadisumpah dalam
persidangan pada hari Kamis tanggl 21November 2013 menerangkan bahwa Saksi
mengenal Saksi Syamil dan pernah menerimah
lamarannya karena saksi sebagai wali mewakili Terdakwa LHI yang saat itu sudah
ditahan di KPK
28 Tentang Pembelian Mobil Volkswagen Carravelle
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Agus Trihono sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Kamis menerangkan bahwa Saksi pernah menerima uang untuk
pelunasan pembayaran Mobil Volkswagen Carravelle dari
Terdakwa LHI.Saat uang itu diberikan kepada Saksi, Terdakwa mengatakan bahwa
ini ada uang dari temannya.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Oke Setiadi sebagai saksi dibawah sumpah dalam
persidangan pada hari Senin tanggal 18 November 2013 menerangkan bahwa Saksi
pernah memberikan uang infaq keluarga sebesar 1 milyar kepada PKS melalui
Terdakwa LHI sekitar tanggal 5 atau tanggal 6 Mei 2012 di DPP PKS. Uang infaq
tersebut diberikan dalam rangka mengenang ayah mertua Saksi yang meninggal pada
tanggal 5 Mei 2008 dan infaq tersebut biasa Saksi dan keluarga keluarkan setiap
tahunnya pada moment wafatnya ayah mertua Saksi kepada PKS maupun lembaga
lainnya melalui orang-orang terdekatnya saat masih hidup dan dalam hal ini
adalah Terdakwa yang dulu sangat dekat dengan mendiang almarhum ayah mertua
Terdakwa dan keluarganya. Infaq 1 milyar ini adalah atas kesapakatan keluarga
dan diamanahkan kepada Saksi untuk diberikan kepada Terdakwa.
Uang yang Saksi berikan pada tanggal tersebut adalah untuk membeli
kendaraan operasional partai PKS. Keperluannya adalah untuk menyambut tamu-tamu
partai dari luar negeri. Hal ini saksi pesankan kepada Terdakwa, mengingat
Saksi adalah staf di Bidang Hubungan Luar Negeri (BHLN) dan sering dimintai
oleh Terdakwa dalam menyambut tamu-tamu dari luar negeri, sehingga Saksi tahu
persis kebutuhan kendaraan untuk menyambut menyambut para tamu dari luar negeri
yang pas. Adapun tamu-tamu yang sering didampingi oleh Saksi, diantaranya
senator dari Inggris, sejumlah deputi menteri dari negara Eropa, Turki dan
Timur Tengah.
Atas pemberian infaq Rp. 1 milyar tersebut, Saksi mengetahui sudah
dibelikan mobil VW Carravel oleh Terdakwa, karena Saksi sering melihat mobil
tersebut digunakan untuk menyambut tamu-tamu dari luar negeri dan Saksi juga
pernah menggunakan mobil tersebut dalam menyambut dan mendampingi tamu-tamu
luar negeri. Dan atas pembelian mobil tersebut, sudah Saksi beritahukan kepada
keluarga Saksi.
Sementara, alasan Saksi memberikan infaq kepada PKS melalui
Terdakwa adalah karena masalah kedekatan saja yang sudah sangat lama antara
Terdakwa dengan Saksi dan keluarga. Dimana sejak dulu keluarga Terdakwa sering
meminta nasihat baik dalam urusan keagamaan maupun urusan bisnis dan pernah
juga dulu anak dari almarhum ayah mertua Saksi dibantu dalam studi anaknya di
luar negeri.
Dalam memberikan infaq 1 milyar kepada Terdakwa tidak menggunakan
tanda terima atau kwitansi sebagai bukti. Hal itu sudah biasa terjadi bagi
Saksi dan keluarga dalam memberikan infaq tidak perlu ada tanda terimanya.
Karena dari dulupun, waktu masih Partai Keadilan, Saksi pernah menginfakan
sebuah mobil dan meminjamkan rumah untuk digunakan sebagai kantor DPW PKS
Jakarta tidak pernah ada tanda terimanya.
Saksi juga menjelaskan profilnya, bahwa Saksi dan keluarga adalah
wiraswastawan sejak tahun 70-an sudah memulai dagang ban yang dulu masih 1 toko
sekarang sudah 6 toko di Jakarta. Dan salah satu merk ban terkenal sudah 16
tahun ada di toko Saksi dengan penjualan tertinggi di Indonesia. Dan salah satu
toko Saksi merupakan pembayar pajak tertinggi di Jakarta Timur.
28 Tentang Pembelian Mobil Mitsubishi Grandis
Bahwa, terhadap pembelian 1 unit mobil Mitsubishi Grandis pembuatan tahun 2005 dibeli
oleh Terdakwa LHI pada tahun 2012 dari pemilik pertama yang bernama Herma Yudi
Irwanto seharga Rp.150.000.000,- . Adapun,
sumber uang yang digunakan untuk membeli mobil tersebut adalah berasal dari
penghasilan Terdakwa LHI ketika menjadi pembicara diluar negeri. Dimana
Terdakwa LHI sering ke luar negeri menjadi pembicara dan mendapat honor sebagai
pembicara sebagaimana keterangan Saksi berikut ini:
Saksi Deden, menerangkan dibawah sumpah dalam persidangan hari Kamis, 21
November 2013 bahwa saksi berdomisili di Belanda dan pernah mengundang Terdakwa
LHI sebagai pembicara di Belanda dalam acara pengajian bagi masyarakat
Indonesia yang tinggal di Belanda. Dalam setiap kali Terdakwa LHI mengisi acara
pengajian tersebut, Saksi selaku pelaksana acara tersebut memberikan honor
sebesar 10,000 euro atau setara dengan Rp.150.000.000,-
sebagai pembicara kepada Terdakwa LHI. Saksi sudah tiga kali menghadirkan
Terdakwa LHI sebagai pembicara di Belanda yaitu tahun 2009, 2010 dan 2012.
Berdasarkan keterangan saksi diatas tersebut, adalah wajar apabila
Terdakwa LHI mampu membeli mobil Mitsubishi Grandis dari
Herma Yudi Irwanto seharga Rp.150.000.000,-. Belum
lagi, penghasilan Terdakwa LHI sebagai anggota DPR RI dalam setiap bulannya
mendapatkan Rp.60.000.000,- perbulan dan dana kunjungan kerja pertriwulan yang
ditotal-total dalam satu tahun bisa mendapatkan Rp. 1 Milyar.
29 Tentang Pembelian Rumah di Jalan H. Samali –
Pejaten Pasar Minggu.
Bahwa, Terdakwa LHI tidak pernah membeli rumah yang berada di Jl. H.Samali
No.27 Rt 10/Rw 001 Kelurahan Pejaten Barat Kecamatan Pasar Minggu Jakarta
Selatan. Terdakwa LHI hanya menyewa rumah tersebut dari Ahmad Zaky karena, saat
itu rumah yang dibeli oleh Terdakwa LHI melalui Ahmad Zaky yang di Batu Ampar
tersebut pembangunannya belum selesai. Sementara, Terdakwa LHI selaku Presiden
Partai tidak dapat lagi menerima tamu-tamu yang datang ke rumah Terdakwa LHI
baik yang di Cipinang maupun rumah dinas DPR RI yang di Kalibata. Oleh karena
itu, dibutuhkan rumah yang pantas untuk menerima tamu-tamu yang akan menemui
Terdakwa LHI, yaitu di rumah yang kebetulah miliknya Ahmad Zaky yang berada di
Jl. H.Samali tersebut dan Ahmad Zaky mempersilahkan Terdakwa LHI untuk
menggunakan rumah tersebut dengan sewa Rp.100.000.000,- setahun.
Rumah di Jalan Haji Samali adalah milik Ahmad Zaki, justru
terbukti dari hasil kesaksiannya Suryani Salam, yang dihadirkan
oleh Sdr Penuntut Umum. Dibawah sumpah dalam persidangan
pada hari Kamis tanggl 10 Oktober 2013 saksi menerangkan bahwa Saksi adalah pemilik
asal dari di Jl. H.Samali No.27 Rt 10/Rw 001 Kelurahan Pejaten Barat Kecamatan
Pasar Minggu Jakarta Selatan sebelum dibeli oleh Ahmad Zaky secara cash
bertahap sampai empat kali dengan total harga Rp.5.100.000.000,- melalui
setoran oleh Ahmad Zaky ke rekening Bank
Muamalat Cabang Pancoran No.3041704522 atas nama Hj.Suryani Salam dan tidak ada yang masuk ke
rekening Saksi atas nama PT. Sirat Inti Buana. Proses pembeliannya pun
melalui prosedur yang sah menurut hukum seperti dibuatkan PPJB dan AJB antara Hj.Suryani Salam dengan Ahmad Zaky dihadapan PPAT M. Kholid Artha.
BAB III
TENTANG SURAT TUNTUTAN
Majelis Hakim yang mulia,
Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,
Hadirin yang setia mengikuti persidangan ini,
Selanjutnya dalam BAB III ini akan kami sampaikan untuk menanggapi
secara khusus Surat Tuntutan yang disampaikan Sdr. Penuntut Umum pada
persidangan tanggal 27 November 2013 yang lalu. Surat tuntutan sebanyak 1095
halaman dan setebal 10 cm hanyalah bernilai. Sebab 95 % hanyalah merupakan
penulisan ulang surat dakwaan, catatan persidangan dan uraian barang
bukti, hanya 5 % yang merupakan hasil buah pikir Sdr Penuntut Umum. Agak
menyedihkan jika diingat bahwa dengan hanya mengandalkan pemikiran yang 5% ini
sdr JPU dengan tega menuntut Terdakwa LHI 18 tahun penjara.
Surat tuntutan JPU meliputi bagian Pendahuluan (halaman 1 sampai
2), Surat Dakwaan (halaman 2 sampai 94), Fakta Persidangan yang memuat
keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang menurut Penuntut Umum relevan
(halaman 95 sampai 596), Analisa Fakta yang menguraikan mengenai hal-hal yang
dimuat dalam surat dakwaan dikaitkan dengan alat bukti keterangan saksi, ahli,
surat dan barang bukti serta keterangan terdakwa (halaman 597 sampai 921),
dilanjutkan dengan Analisa Yuridis menyangkut analisa terhadap pasal-pasal yang
didakwakan yaitu untuk menilai fakta perbuatan atau kejadian yang telah
diuraikan dalam analisa fakta dan menerapkannya kedalam unsur-unsur pasal dari
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa (halaman 922 sampai 1079), Pertanggungjawaban
Pidana (halaman 1079 sampai 1083) diakhiri dengan Tuntutan Pidana (halaman 1094
sampai 1095).
Sepanjang mengenai analisa fakta versi Surat Tuntutan ini tidak
akan kami tanggapi secara khusus mengingat analisis kami pada Bab II pada
dasarnya telah secara mutatis mutandis menangkis apa yang telah diuraikan oleh
Sdr Penuntut Umum, sebagaimana yang diuraikan dalam halaman 597 sampai 921.
Selanjutnya tanggapan kami adalah sebagai berikut:
1. Bahwa untuk uraian pengertian/unsur
Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, kami sependapat dengan PU dalam Surat
Tuntutannya halaman 924 s.d. 928 .
Namun kami tidak sependapat dengan sdr PU, bahwa dengan
terbuktinya Terdakwa LHI selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara,
sebagaimana halaman 924 s.d. 928, maka dengan sendirinya unsur tersebut
terpenuhi sebab untuk dapat dipenuhi dan dipertanggungjawabkan Terdakwa
LHI haruslah terbukti terlebih dahulu hal-hal di bawah ini:
(a) Bahwa Berdasar prinsip daad-daderstrafrecht (atau criminalact dan criminal responsibility)
sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, Terdakwa LHI dalam kapasitasnya
selaku Presiden PKS yang tidak masuk dalam ruang lingkup pengertian pegawai
negeri atau penyelenggara negera sebagaimana dimaksud di atas bukan merupakan
subjek hukum dari Pasal 12 huruf UU Tipikor, maka dengan sendirinya Terdakwa
LHI tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dirumuskan dalam Pasal 12 huruf a tersebut.
(b) Bahwa dalam kapasitasnya selaku Pegawai Negeri
atau Penyelenggara Negara untuk mengetahui dapat tidaknya Terdakwa LHI
dipertanggungjawabkan melalui Pasal 12 huruf a UU Tipikor, sesuai dengan orde
pembuktian seharusnya dibuktikan terlebih dahulu apakah perbuatan-perbuatan
yang dilakukan oleh Terdakwa LHI mengandung unsur wedderechtelijk dan apakah perbuatan yang wedderechtelijk sebagaimana dakwaan PU berada
didalam atau diluar ruang lingkup wewenangnya, selaku anggota DPR RI.
(c) Dengan demikian Terdakwa LHI dalam perkara a quo, untuk dapat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum (penerapan azas toerekeningsvatbaar)
dan untuk dapat dinyatakan bersalah (sebagai penerapan prinsip culpabilitas-mens rea), haruslah dibuktikan terlebih
dahulu :
·
hubungan yang sedemikian rupa antara sikap bathin, motif yang mendorong
Terdakwa LHI dengan perbuatan pidana yang didakwakan;
·
apakah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa LHI telah
dapat dinilai sebagai perbuatan yang tercela menurut hukum pidana atau ada
tidaknya strafhandeling yang cara-caranya sebagaimana yang
didakwakan oleh PU;
·
posisi dan peran serta Terdakwa LHI selaku Pegawai Negeri atau
Penyelenggara Negara dikaitkan dengan strafhandeling-nya yang
khusus yaitu ambtsdelict, harus dibuktikan
apakah ambtsdelict itu dapat dilakukan oleh pihak yang
bukan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.
·
ada atau tidaknya alasan penghapus penuntutan atau alasan
penghapus pidana.
Jika hal-hal tersebut dipenuhi, maka Terdakwa LHI patut
dipertanggungjawabkan menurut hukum, demikian pula sebaliknya jika tidak maka
unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara adalah tidak relevan, dan harus
dikatakan sebagai tidak terbukti.
2. Tentang unsur Menerima Hadiah atau
Janji. Kami sepakat dengan pengertian yang disampaikan oleh sdr JPU dalam
surat tuntutannnya dengan tambahan ;
(a) Bahwa unsur hadiah atau janji mengandung
sifat alternatif yaitu apabila salah satu unsur tersebut telah terbukti, maka
unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
(b) Bahwa yang dimaksud dengan hadiah atau janji
menurut R. Wiyono dalam bukunya “Pembahasan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Ed. Kedua, 2008, Penerbit Sinar
Grafikahalaman 97 :
- Hadiah adalah “sesuatu yang bernilai baik berupa benda berwujud
atau benda tidak berwujud”
- Janji adalah “tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh
si Pemberi Tawaran”
(c ) Sedangkan menurut Adami Chazawi dalam bukunya “Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cet.
Kedua, 2005, Penerbit Bayu Media, halaman 188-189″ :
Bahwa perbuatan menerima hadiah atau janji harus
nyata-nyata telah diterimaoleh orang yang menerima yakni diperlukan syarat
telah beralihnya kekuasaan atas benda itu ke tangan orang yang menerima. Sebelum
kekuasaan atas benda itu beralih ke dalam kekuasaan si Penerima, maka perbuatan
menerima belumlah dianggap terwujud secara sempurna, demikian juga dengan
menerima suatu janji haruslahsecara nyatajanji tersebut diterima oleh
Pegawai Negeri bisa dengan ucapan dan sebagainya sebagai pertanda diterimanya
janji tersebut atau dengan isyarat misalnya anggukan kepala.
Berdasar apa yang dikemukan di atas dihubungkan dengan kedudukan
dan kualitas Terdakwa LHI selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara
Negara, fakta-fakta hukum yang terungkap sama sekali tidak menunjukkan adanya
korelasi nyata. Syarat bahwa janji atau hadiah itu nyata-nyata diterima oleh terdakwa tidak
terpenuhi. Mendasarkan pada pendapatnya Adami Chazawi dalam kasus ini Terdakwa
LHI tidak pernah menerima hadiah sebesar Rp 1, 3 milyar sebagaimana yang
didakwakan karena Terdakwa LHI benar-benar tidak pernah menerima uang tersebut
sehingga syarat telah beralihnya kekuasaan atas
benda itu ke tangan orang yang menerimatidak terpenuhi.
Syarat yang lain adalah tentang kejelasan janji, artinya secara
eksplisit harus benar-benar ada janji, sebab Pasal 12 a mensyaratkan demikian.
Dari fakta yang terungkap di persidangan Maria tidak pernah berjanji akan
memberikan Rp 40 Milyar, fakta di persidangan membuktikan bahwa adanya
janji tersebut hanya bersumber dari kata-katanya Fathanah. Baik Maria maupun
Elda tidak pernah mengakui adanya janji tersebut.
Dari kesaksian Maria
Elizabeth Liman kita ketahui bahwa Maria tidak pernah sekalipun menawarkan
sesuatu janji kepada Terdakwa LHI baik langsung ataupun tidak langsung,
demikian pula Terdakwa LHI tidak pernah menerima tawaran sesuatu janji dari
Saksi Maria Elizabeth Liman.
Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang Terdakwa LHI lakukan
tidak didorong oleh motif berupa pemberian atau janji dari Saksi Maria
Elizabeth Liman, sebab untuk adanya janji haruslah secara nyata janji
tersebut diterima oleh Terdakwa LHI bisa dengan ucapan dan
sebagainya sebagai pertanda diterimanya janji tersebut atau dengan isyarat
misalnya anggukan kepala.
3. Tentang Unsur Diketahui Atau Patut
Diduga Bahwa Hadiah Atau Janji Tersebut Diberikan Untuk Menggerakkan Agar
Melakukan Atau Tidak Melakukan Sesuatu Dalam Jabatannya Bertentangan Dengan
Kewajibannya.
(a) Bahwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 12
UU Tipikor merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419 KUHP yang
merupakan delik jabatan (ambtsmijsdrif).
(b) Bahwa dalam buku Delik-Delik Khusus Kejahatan
Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi ditulis
oleh P.A..F Lamintang dan Theo Lamintang hlm.122 s.d. hlm.123, bahwa untuk
dapat menyatakan seseorang itu terbukti telah memenuhi unsur-unsur tersebut
maka sidang pengadilan yang memeriksa perkara orang tersebut, Hakim harus dapat
membuktikan:
1.
Bahwa orang itu (Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) memang menghendaki menerima suatu pemberian atau
suatu janji;
2.
Bahwa orang itu (Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) memang mengetahui yang ia terima itu merupakan
suatu pemberian atau suatu janji;
3.
Bahwa orang itu (Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) memang mengetahui pemberian atau janji yang
bersangkutan telah diberikan kepadanya dengan maksud agar ia melakukan sesuatu
atau mengalpakan sesuatu didalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya
bertentangan dengan kewajibannya.
(c) Bahwa selanjutnya P.A.F. Lamintang menyatakan
untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 419 angka 1 KUHP (yang telah diadopsi dan
harmonisasi dalam Pasal 12 UU Tipikor) cukuplah kiranya jika Pegawai Negeri itu
telah menerima pemberian atau janji dengan pengetahuan bahwa pemberian atau
janji itu telah diberikan kepadanya yakni agar ia melakukan sesuatu atau
mengalpakan sesuatu di dalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya
bertentangan dengan kewajibannya;
(d) Bahwa berkenaan dengan melakukan sesuatu atau
mengalpakan sesuatu didalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya
bertentangan dengan kewajibannya, R. Soesilo dalam Buku : “KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, hlmn.
285 mencontohkan sebagai berikut :
Seorang Inspektur Polisi yang telah menangkap orang melanggar
Suatu peristiwa pidana tidak membuat proses verbal (tidak melanjutkan perkara
itu), karena menerima suap dari orang tersebut dikenakan Pasal 419 KUHP, karena
ia mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban jabatannya (membuat
proses verbal). Orang yang telah memberi uang suap itu dikenakan Pasal 209
KUHP.
(e) Berdasar apa yang dikemukan di atas
dihubungkan dengan Surat Dakwaan dan fakta-fakta hukum yang terungkap di
persidangan ini maka tidak pernah bisa dibuktikan bahwa pemberian uang Rp 1,3
Milyar memang diketahui dan dikendaki oleh Terdakwa LHI dan dimaksudkan agar
Terdakwa LHI melalaikan kewajibannya.
Kewajibannya di DPR adalah sangat tidak relevan dengan apa yang akan dituju
oleh penyuap dengan memberikan uang Rp 1,3 milyar.
(f) Bahwa berdasar fakta-fakta di persidangan Terdakwa LHI tidak menghendaki, tidak mengetahui dan tidak pernah menerima pemberian atau janji
dari PT. Indoguna Utama.
(g) Bahwa dalam unsur a quo,
pemberian atau janji dikaitkan harus merupakan causa (sebab) yang mendorong
Terdakwa LHI untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Bahwa hubungan antara apa yang diperbuat oleh Terdakwa LHI
dikaitkan dengan kewajiban dalam jabatan Terdakwa LHI, sama sekali tidak ada
kausalitasnya. Perbuatan berupa pertemuan di Restoran Steak Angus,
memfasilitasi pertemuan Medan, mempertemukan Maria dengan Menteri Suswono tidak
ada sinkronisasi maksud antara maksudnya Terdakwa LHI dengan Maksudnya Maria
Elizabeth Liman. Pertemuan tersebut hanya membicarakan mengenai tingginya harga
daging sapi, beredarnya daging celeng di masyarakat serta informasi tentang
perusahaan importir yang menjualbelikan kuota, yang berbeda dengan maksud Maria
ingin membicarakan penambahan kuta impor.
Bahwa kewajiban Terdakwa LHI selaku Penyelenggara Negara (anggota
DPR-RI) yaitu sebagaimana diatur didalam UU Nomor 27 tahun 2009, yaitu
Tugas dan wewenang Anggota DPR yaitu :
Pasal 71 :
s. menyerap, menghimpun, menampung, dan
menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Pasal 72 :
(1) DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
berhak meminta Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, Badan Hukum atau warga
masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani
demi kepentingan bangsa dan negara
Pasal 79 :
Anggota DPR mempunyai kewajiban :
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi
dan pengaduan masyarakat
Ketentuan-ketentuan tersebut dihubungkan dengan perbuatan Terdakwa
LHI sebagaimana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan:
1.
Bahwa meskipun Terdakwa LHI melahaikan kewajibannya sebagai
anggota DPR tidak akan mempunyai manfaat bagi Maria Elizabeth Liman atau PT.
Indoguna Utama.
2.
Bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa LHI bukan untuk
kepentingan satu perusahaan tertentu c.q. PT. Indoguna Utama, melainkan untuk
kepentingan masyrakat luas akibat mahalnya harga daging, kelangkaan daging sapi
dan beredarnya daging celeng dan tikus di masyarakat, sehingga perbuatan
Terdakwa LHI masih dalam ruang lingkup kewajiban dalam jabatannya selaku
anggota DPR; meskipun demikian tetap tidak hubungannnya dengan maksud Maria.
3.
Bahwa Terdakwa LHI tidak menghendaki, tidak mengetahui dan tidak pernah menerima pemberian atau janji
dari PT. Indoguna Utama, sehingga perbuatan yang dilakukan
Terdakwa LHI tidak dilakukan atau tidak didorong dengan motif janji atau
pemberian dari satu perusahaan tertentu c.q. PT. Indoguna Utama.
Berdasar uraian di atas, bahwa unsur diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya bertentangan dengan kewajibannya tidak terbukti dan tidak terpenuhi.
BAB IV
ANALISIS YURIDIS
Majelis Hakim yang kami muliakan
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Dalam bab ini pembahasan tentang Analisis Yuridis akan kami
sampaikan dengan sistimatika sebagai berikut ;
A.DAKWAAN TIPIKOR
1. PERTAMA dan KEDUA ; PASAL 12 a dan Pasal 5
a. UNSUR KESEPAKATAN
Unsur pertama dan utama dakwaan pasal 12.a maupun Pasal 5 adalah “pegawai negeri atau penyelenggara negara” yang menerima
hadiah atau janji.
Persidangan telah membuktikan bahwa Terdakwa LHI adalah sebagai
Anggota DPR RI periode 2009 – 2014, sehingga perihal apakah Terdakwa LHI
“pegawai negeri atau penyelenggara negara”, tidak ada kontroversi.
Masalahnya apakah Terdakwa LHI selama menjadi anggota DPR pernah
menerima hadiah atau janji? Baik Pasal 5 maupun Pasal 12.a, yang didakwakan ini
telah dirumuskan secara alternatif, berarti Terdakwa LHI bisa dipersalahkan
jika ; salah satu dari perbuatan menerima hadiah atau menerima janji terbukti.
Dalam kontek dakwaan Pasal 12.a dan Pasal 5 ini, Penuntut umum
telah mendakwa Terdakwa LHI dengan rumusan menerima hadiah Rp
1.300.000.000 (Rp 1,3 Milyar)darikeseluruhan uang yang dijanjikan sejumlah
Rp.40.000.000.000,- (Rp 40 milyar)dari Maria Elizabeth Liman
Sebagaimana yang telah kami kupas dalam bab-bab sebelumnya,
persidangan ini tidak berhasil membuktikan adanya pemberian hadiah Rp 1,3
milyar dari Maria kepada Terdakwa LHI, yang terbukti hanyalah penerimaan uang
Rp 1,3 Milyar oleh Ahmad Fathanah yang tidak pernah sampai keTerdakwa LHI.
Dengan demikian unsur “menerima hadiah” tidak terbukti.
Perihal janji pemberian Rp 40 milyar kepada Terdakwa LHI, Maria
bersaksi dibawah sumpah tidak pernah berjanji demikian. Persidangan ini hanya
berhasil membuktikan bahwa adanya janji Rp 40 Milyar datangnya hanya dari
Fathanah bukan dari Maria. Dengan demikian unsur bahwa Terdakwa LHI pernah
menerima janji juga tidak terbukti karena apa yang disampaikan oleh Fathanah
bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Maria di persidangan perihal
janji a quo.
Ahli, Dr Mudzakir, mengatakan di persidangan ini bahwa delik suap dalam pasal
12 a dan Pasal 5 mensyaratkan adanya unsur kesepakatan. Berarti suap
harus dilakukan sebagai hasil kesepakatan antara pemberi suap dengan pegawai
negeri/penyelenggara negara sebelum pemberi suap memperoleh sesuatu yang
diinginkannya.
Jadi di persidangan ini harus membuktikan, bahwa Terdakwa LHI
telah menerima “suap” dari Maria dan bahwa “suap” tersebut adalah hasil
dari“kesepakatan”antara Maria dengan Terdakwa LHI. Ternyata persidangan ini
tidak pernah bisa membuktikan secara sah dan meyakinkan adanya suap maupun
kesepakatan tersebut. Suap Rp 1, 3 Milyar, yang menerima bukan Terdakwa LHI
namun Ahmad Fathanah, adanya kesepakatan juga tidak terbukti karena hanya
bersumber dari apa yang dikatakan oleh seorang saksi Ahmad Fathanah saja.
b. UNSUR KAUSALITAS
Keharusan adanya kesepakatan pada kasus suap Pasal 12 a dan Pasal
5 juga disampaikan ahli yang lain bernama Chairul Huda ketika
memberikan keterangan ahlinya di Pengadilan Tipikor dalam kasus yang berbeda
yaitu kasusnya M. Nazarudin. Disamping keharusan adanya kesekapatan, Chairul
Huda menambahkan adanya syarathubungan sebab akibat
(kausalitas) antara pemberian dengan perbuatan yang
dilakukan si penerima hadiah.
Jadi perihal bukti adanya penerimaan hadiah atau kesepakatan,
meskipun mungkin pengadilan ini berpendapat lain, maka kausalitas antara Terdakwa LHI sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara
dengan pemberi hadiah harus ada. Ini
artinya adalah apakah antara Terdakwa LHI sebagai anggota DPR ada hubungannya
dengan pemberian hadiah atau janji dari Maria (kalau memang benar pernah ada,
quad non).
Bunyi dakwaannya adalah dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya.
Berarti ini adalah soal jawaban atas pertanyaan apakah yang
menjadi ketertarikan (motivasi) Maria untuk memberi hadiah atau janji kepada
seorang anggota DPR ? Sebab apapun yang mampu dilakukan oleh seorang anggota
DPR seperti Terdakwa LHI, baik berupa perbuatan aktif maupun pasif, kalaupun
perbuatan itu bertentangan dalam jabatannya, tidak ada yang dapat menguntungkan
Maria sebagai pemberi hadiah atau janji (jika betul memang ada hadiah/janji
tersebut).
Dengan kata lain, perbuatan Terdakwa LHI sebagai anggota DPR ,
jikapun ia bersida melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya
tidak akan ada hubungannya dengan maksud Maria , sebagaimana yang didakwakan,
bermaksud memperoleh persetujuan dari Menteri Pertanian berupa rekomendasi
penambahan kuota import daging saping.
Menurut Winatuningtyastiti, Sekjen DPR RI, yang bersaksi pada hari
Senin 11 November 2013, pada pokoknya memberikan kesaksian bahwa Terdakwa LHI
adalah anggota DPR di Komisi I, yaitu berurusan dengan bidang Pertahanan, Luar
Negeri, BIN dan Kominfo. Mitra kerjanya adalah beberapa Kementrian dimana
Kementrian Pertanian adalah bukan merupakan mitra kerjanya. Dengan demikian
tidak mungkin Maria Elizabeth Liman mempunyai motif untuk menyuap Terdakwa LHI
sehingga antara suap yang didakwakan dengan jabatan Terdakwa LHI sama sekali
tidak mempunyai kausalitas.
Dengan demikian suap yang didakwakan (Pasal 12.a dan Pasal 5)
hanya dimungkinkan dalam hubungannya Terdakwa LHI sebagai selaku Presiden PKS. Namun sebagaimana diketahui
Presiden PKS bukanlah pegawai negeri maupun penyelenggara negara , dengan
demikan unsur pidana berupa “pegawai negeri atau
penyelenggara negara” tidak terpenuhi. Sedemikian maka DAKWAAN
KESATU pertama dan Kedua tidak terbukti.
2. KETIGA ; PASAL 11
Berbeda dengan Pasal 12 a dan Pasal 5 maka dalam pasal 11 ini
tidak memerlukan adanya sebuah kesepakatan antara pemberi suap dan pegawai
negeri atau penyelenggara negara. Yang penting telah terjadi penerimaan hadiah
atau janji yang diketahui atau patut diduga pemberian itu karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pemberi suap ada
hubungan dengan jabatannya.
Jadi pasal ini diterapkan pada pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji sebagai ucapan terimakasih, tanpa ada
kesepakatan sebelumnya, namun pemberian ini ada hubungannya dengan jabatan si
pegawai negeri tersebut.
Sebagaimana dalam uraian kami pada Dakwaan Pertama dan Kedua
diatas maka fakta bahwa Terdakwa LHI adalah anggota DPR komisi I, jelas tidak
ada hubungannya dengan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum atas maksud Maria
Elizabeth Liman.
Menurut Ahli, Dr Mudzakir,“patut
diduga” disini yang menduga adalah “pemberi suap” bukan “penerima”. Sehingga
dugaan “Maria Elizabeth Liman” haruslah bisa dibuktikan oleh Penuntut Umum. Di
persidangan ini yang terbukti adalah Terdakwa LHI sebagai Presiden PKS, fakta
bahwa Terdakwa LHI adalah sebagai anggota DPR tidak pernah dihubungkan dengan
Uang Rp 1,3 milyar maupun janji yang Rp 40 milyar.
Sebagaimana Dakwaan Pertama dan Kedua, unsur adanya hadiah maupun
janji pada Dakwaan Ketiga juga tidak terbukti sehingga kami kerkeyakinan bahwa
Penuntut Umum telah gagal membuktikan Dakwaan Ketiga secara sah dan meyakinkan.
B.DAKWAAN TPPU
1. Sebagaimana kita ketahui terhadap
dugaan adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), Terdakwa LHI didakwa
dengan dua (2) Undang-Undang yang berbeda. Yaitu:
(1) UU15 Tahun 2002 tentang
TPPU sebagaimana telah dirubah dengan UU 25 Tahun 2003 (UU
15/2002 jo 25/2003) dan
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU (UU No 8/2010 ).
UU 15/2002 jo 25/2003 diberlakukan pada Dakwaan Kedua dan Dakwaan
Ketiga sedangkan UU no 8/2010 pada Dakwaan Keempat dan Dakwaan Kelima.
2. Pada kesempatan ini kami tetap
mempermasalah pemberlakukan UU no 15/2002 jo 25/2003 pada Dakwaan Kedua dan
Dakwaan Ketiga, karena secara materiil (sebetulnya) melanggar asas legalitas.
Meskipun perihal yang sama sudah pernah ada preseden sebelumnya, antara lain dalam
kasusnya Irjen Djoko Susilo, namun kami ingin menyampaikan argumen yang
berbeda.
Sebagaimana diungkapkan dalam Dakwaan Kedua dan Ketiga, harta
kekayaan yang dipermasalahkan oleh Penuntut Umum adalah harta kekayaan yang
diperoleh Terdakwa LHI sebelum berlakunya UU No 8/2010.
Meskipun atas dasar ketentuan Pasal 95- UU No 8/2010 diperbolehkan
memberlakukan UU 15/2002 jo 25/2003, namun sebetulnya Undang-Undang ini telah
kehilangan legitimasinya. Pada bagian konsideran kita bisa mempelajari ”ratio legis” mengapa UU No 8/2010 diundangkan
menggantikan Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU 15/2002 jo 25/2003. Pada
konsideran huruf ”b” dikatakan untuk menjamin kepastian hukum. Secara a-contrario berarti UU 15/2002 jo 25/2003
tidak memberikan jaminan kepastian hukum. Pada konsideran huruf ”c” pada
pokoknya dinyatakan bahwa UU 15/2002 jo 25/2003 sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum, tidak sesuai dengan praktik dan standar
internasional sehingga oleh UU No 8/2010 dipandang perlu untuk diganti.
3. Atas dasar uraian kami pada butir
2 diatas maka kami berpendapat Terdakwa LHI telah didakwa dengan Undang Undang,
yaitu UU 15/2002 jo 25/2003 yang seharusnya telah dicabut dan tidak
berlaku lagi dengan lahirnya UU No 8/2010, karena UU No 8 /2010 dengan jelas
dan tegas menyatakan UU 15/2002 jo 25/2003”perlu diganti”. Secara formil,
memang Terdakwa LHI didakwa dengan Undang-Undang yang masih berlaku namun
secara materiil Terdakwa LHI sedang diadili atas dasar UU No 8/2010 yang
diberlakukan secara surut pada peristiwa yang terjadi sebelum UU No 8/2010.
Karena dalam hukum pidana menganut asas kebenaran materiil maka mendasarkan
pada asas ini, secara materiil pula sebenarnya pemberlakuan UU 15/2002 jo
25/2003 terhadap Terdakwa LHI bersifat retroaktif.
4. Peradilan kita menganut asas
Non-Retroaktif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28-I ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun (non
degradable rights). Sebagaimana Pengadilan Tipikor ini telah menafsirkan
adanya wewenang KPK untuk menuntut TPPU, dengan logika penafsiran yang sama
berarti dapat dikatakan, bahwa Terdakwa LHI secara materiil telah dituntut oleh
KPK atas dasar Undang Undang yang berlaku surut.
5. Pemberlakuan surut suatu Undang Undang
berarti juga merupakan pelanggaran atas asas legalitas, yang secara tegas
dinyatakan pada Pasal 1 1 ayat (1) KUHAP “Tiada suatu perbuatan dapat di
pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah
ada” (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli).
Sebagai catatan penting, perlu diulang kembali, bahwa saat UU 15/2002 jo
25/2003 diundangkan, KPK belum terbentuk. KPK dibentuk tanggal 27 Desember 2002
sedangkan UU 15/2002 jo 25/2003 diundangkan pada tanggal 17 April 2002,
sehingga secara defakto, sebetulnya KPK telah menuntut Terdakwa LHI secara
retroaktif. Yang kami ingin katakan adalah bahwa KPK telah mengada-ada dalam
perburuannya terhadap harta kekayaan dan transaksi keuangan Terdakwa LHI.
6. Tentang unsur ”patut diduga dari hasil
kejahatan” pada Dakwaan Kedua dan Ketiga. Dugaan seperti ini menurut pendapat
kami tidak pada tempatnya, mengingat dalam kurun waktu tersebut dalam Dakwaan
Kedua dan Ketiga ( 2004 – 2009) Terdakwa LHI adalah pengusaha sukses.
Persidangan ini telah membuktikan bahwa Terdakwa LHI adalah pemegang saham
mayoritas pada PT. Sirat Inti Buana. Menurut kesaksian Deli Agustin Pratama di
persidangan ini, omzetnya dalam kurun waktu tersebut setiap tahun Rp 35 milyar
lebih, bahwa ada pada tahun 2005 dan 2006 omzetnya +/- Rp 70 milyar sehingga
memenuhi profil kekayaan dan transasi yang didakwakan dalam Dakwaan Kedua
maupun Dakwaan Ketiga.
7. Mengenai isu kewenangan KPK menuntut
TPPU, Pengadilan ini telah menyampaikan sikapnya dalam putusan selanya, baik
dalam kasus ini maupun dalam kasus sebelumnya. Namun kami merasa perlu membahas
lagi pada kesempatan ini perihal kewenangan KPK karena terdapat hal yang
menarik perhatian kami, yaitu adanya dua anggota dari 5 Majelis Hakim telah
menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion)
dalam putusan selanya, yaitu yang muliaI Made Hendra dan yang mulia Joko
Subagyo. Keduanya menganggap penuntut umum KPK tidak berwenang menuntut perkara
TPPU. Kebetulan ketertarikan kami pada dissenting opinion ini
didukung juga oleh pendapat Ahli Dr. Muzakir, SH, Mhum dipersidangan ini, yang
pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : Ahli Dr. Mudzakir
mengatakan berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini (UU No 8/2010),
kewenangan KPK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terbatas kepada
penyelidikan dan penyidikan.
Menurut Ahli, penyelidikan dan penyidikan itu pun terbatas
terhadap TPPU yang diduga berkaitan dengan kasus korupsi saja. Menurut Ahli,
KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU terhadap seorang tersangka
korupsi.
8. Dua anggota majelis hakim dan seorang
Ahli yang telah berpendapat bahwa KPK tidak mempunyai kewenangan menuntut TPPU
tersebut berbeda dengan keterangan Ahli Yunus Husein (Mantan
Kepala PPATK) yang dihadirkan dipersidangan oleh Penuntut Umum. Ahli Yunus
Husein berpendapat bahwa : KPK mempunyai kewenangan
menuntut TPPU, meskipun diakuinya UU No 8/2010 tidak memberikan
kewenangan secara ekplisit.
9. Pendapat Ahli Yunus Husein bahwa KPK
mempunyai wewenang penuntutan atas kasus TPPU didasarkan pada penafsiran atas
Pasal 68 UU No 8/2010 yang dihubungkan dengan Pasal 75. Menurut Ahli, Pasal 75
ini adalah dasar Hukum Acara bagi penuntutan TPPU bagi Jaksa KPK. Jika sedang
menyidik kasus korupsi ditemukan bukti awal adanya TPPU maka penyidikkannya
digabungkan kemudian penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum Jaksa KPK,
karena menurut Ahli, hal ini karena masalah efisiensi, dan sesuai pula dengan
asas cepat, sederhana, dan biaya murah. Dalam kontek ini Ahli juga menyampaikan
pendapat bahwa bahwa hukum formal boleh ditafsirkan namun hukum materiil tidak
boleh. Pendapat Ahli yang lain sehubungan dengan kewenangan ini adalah ;
bahwa Jaksa di KPK dan Jaksa di Kejaksaan Agung sama-sama mempunyai kewenangan
untuk menuntut TPPU karena Jaksa yang dipekerjakan di KPK tidak pernah
diberhentikan dari Kejaksaan Agung.
10. Atas dasar keterangan ahli Yunus Husein tersebut,
perkenankanlah kami menguji kredibilitas keterangannya sebagai berikut ;
(10.1) Pendapat Ahli bahwa hukum formil boleh ditafsirkan
sementara hukum materiil adalah tidak boleh, oleh yang mulia I Made Hendra pendapat
tersebut dikoreksi, menurut yang mulia pendapat itu terbalik, karena yang
mungkin ditafsirkan adalah justru hukum materiil sedang hukum formil tidak.
(10.2) Pendapat ahli bahwa Jaksa di KPK dan Jaksa di Kejaksaan
Agung sama-sama boleh menuntut TPPU karena menurut Ahli Jaksa yang dipekerjakan
di KPK tidak pernah diberhentikan dari Kejaksaan Agung, tidak memberi kejelasan makna. Makna yang bisa
kami tangkap adalah bahwa menurut Ahli diperbolehkannya Jaksa KPK melakukan
penuntut TPPU karena Kejaksaan adalah satu kesatuan (een
ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang
Kejaksaan RI). Pendapat ahli ini juga memperoleh koreksi dari yang mulia I Made Hendra, menurut hakim anggota
ini, dengan mendasarkan pada Pasal 39 (3) KPK, penuntut umum pada KPK
diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK,
sehingga pendapat Ahli bahwa bahwa Jaksa di KPK diberkentikan dari Kejaksaan
Agung adalah sama sekali keliru.
(10.3) Kekeliruan pendapat Ahli juga bisa dilihat dari
kenyataan Pasal 39 ayat 2 UU tentang KPK; yang menyatakan bahwa penuntutan
dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama KPK. Dengan
demikian pendapat ahli yang mempersamakan kewewenang antara jaksa di KPK dan
Jaksa di Kejaksaan Agung adalah keliru.
(10.4) Kewenangan penegak hukum untuk bisa merampas kemerdekaan
warga negara, menurut Ahli Mudzakir, tidak boleh diperoleh hanya atas
dasar penafsiran, harus atas dasar ketentuan Undang-Undang yang dinyatakan
secara eksplisit. atas dasar penafsiran (Mudzakir namun harus lahir secara
eksplisit dari UU. Pendapat ini juga didukung oleh pendapatnya Prof ROMLI
ATMASASMITA (Kompas 31 juli 2013) yang mengatakan bahwa rumusan terbaik dalam
UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa,
termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK
diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas
hukum yang sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.
(10.5) Alasan Ahli Yunus Husein bahwa meskipun tidak secara
eksplisit Jaksa KPK diberikan kewenangan penuntutan perkara TPPU namun demi
asas efisiensi, yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya murah dapat dibenarkan.
Pendapat ini memperoleh kritikan dari Yang Mulia Hakim anggota yang muliaI Made
Hendra, dengan mengatakan, jika bicara hukum acara (formal) harus hanya
mendasarkan pada yang tertulis dengan tegas jika soal kewenangan suatu
instansi, jika semua instansi boleh menafsirkan kewenangan maka berarti polisi
juga demi efisiensi berwenang melakukan penuntut, kan celaka negara ini.
Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ahli Mudzakir dengan memberikan
ilustrasi tentang peristiwa petrus (penembakan secara misterius terhadap
tokoh-tokoh yang diperkirakan sebagai penjahat). Yang dapat diartikan dari
ilustrasinya Ahli Mudzakir adalah bahwa alasan efisiensi tidak dibenarkan jika
tidak didasari dengan kewenangan yang ditentukan secara tegas (eksplisit) dalam
Undang-Undang.
11. Sehubungan dengan pendapat ahli Yunus Husen
perihal Pasal 68 jo Pasal 75, Prof Romli (Kompas cetak, 31 Juli 2013)
mengatakan ; Pada Pasal 68 UU TPPU tersurat ungkapan “kecuali ditentukan lain dalam UU (TPPU) ini“. Kata
“ini” harus ditafsirkan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU TPPU,
bukan pada UU lain, sehingga tidak tepat dirujuk pada UU KPK. Arah Pasal 68 UU
TPPU bukan pada UU KPK, melainkan pada UU TPPU. Kekecualian pada Pasal 68 UU
TPPU adalah bahwa penyidikan perkara TPPU dapat juga dilakukan penyidik KPK,
Kejaksaan, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak, dan tidak termasuk
wewenang penuntutan khusus pada KPK, kecuali bagi Kejaksaan.
Pasal 75 UU TPPU hanya memberi mandat kepada penyidik asal untuk
menggabungkan dengan penyidikan TPPU bukan penuntutan. Tidak ada satu pun
penjelasan umum atau penjelasan pasal dalam UU TPPU 2010 yang memuat penjelasan
kepala PPATK dalam artikel itu sehingga menjadi tanda tanya apakah kekosongan
hukum pada wewenang KPK untuk melakukan penuntutan TPPU merupakan kekeliruan
atau kelalaian atau mungkin kesengajaan tim penyusun UU TPPU tahun 2010.
12. Bahwa untuk Dakwaan Keempat dan Dakwaan Kelima,
Terdakwa LHI didakwa masing-masing dengan Pasal 3 dan Pasal 5 UU No 8/2010.
Bahwa
untuk kedua dakwaan ini maka kami mempermasalahkan adanya
kejahatan asal (Predicate crime). Karena sesungguhnya tindak pidana pencucian
uang adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi setelah adanya tindak
pidana yang mendahuluinya, yaitu tindak pidana asal. Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta kekayaan.
Prof. Badar nawawi Arief menyebutnya sebagai hasil kejahatan (criminal proceeds). Hasil tindak pidana atau
hasil kejahatan (criminal proceeds) inilah
yang kemudian “dicuci” seolah-olah merupakan harta kekayaan yang diperoleh
secara sah, sehingga terjadilah tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sebagai tindak pidana ikutan (following crime),dengan demikian maka tindak pidana
pencucian uang baru ada kalau sebelumnya ada tindak pidana asal.
13. Masalahnya apakah untuk menjatuhkan putusan TPPU
harus lebih dahulu dibuktikan adanya predicate crime ?
Kami akan menyampaikan beberapa pendapat ahli sebagaimana dimuat dalam putusan
MAHKAMAH AGUNG Nomor 1454 K/PID.SUS/2011 Tahun 2011 atas namaDR. Drs. BAHASYIM
ASSIFIE, M.Si. bin KHALIL SARINOTO sebagai berikut:
(13.1) AHLI DR. YENTI GARNASIH, SH.MH.
; Bahwa ahli menerangkan terhadap perbuatan yang merupakan
tindak pidana pencucian uang artinya ada 2 (dua) kejahatan yakni kejahatan
pertama dan kejahatan kedua yang bila dibagi akan terdiri dari kejahatan
pertama dan kejahatan pencucian uang ; untuk mulai penyidikan tidak perlu
dibuktikan pidana- asalnya terlebih dahulu, namun dalam surat dakwaan harus
dicantumkan dari kejahatan apa sumber keuangan berasal, dan hakim yang
menyidangkan perkara TPPU harus betul-betul menunjukkan keyakinannya bahwa
Pidana Asal terbukti.
(13.2) AHLI DR. RUDY SATRIO
MUKANTARDJO, SH.MH. ; Bahwa ahli menerangkan terhadap perbuatan
yang merupakan tindak pidana pencucian uang maka harus ada kejahatan lebih
dahulu, jika tidak maka tidak ada TPPU.
(13.3) AHLI SUBINTORO, SH.MH.;
Bahwa untuk mengungkap perkara money loundring harus ada tindak pidana asalnya
sebagai-mana yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang.
(13.4) AHLI DR. DIAN ADRIAWAN, SH.MH; Bahwa
secara normatif harus ditentukan lebih dahulu apakah perbuatan money loundring
perlu dibuktikan lebih dahulu predicate crimenya sebagai sarana utama mendakwa
seseorang dalam kasus tindak pidana pencucian uang.
(13.5) AHLI PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH: Bahwa
untuk Tindak Pidana Pencucian Uang intinya harus ada tindak pidana asalnya dulu
dan tindak pidana asalnya itu harus dibuktikan terlebih dahulu, kalau tidak
dapat dibuktikan tindak pidana asalnya, maka berarti harus dikatakan/dinyatakan
tidak ada pidana pencucian uang karena tindak pidana pencucian uang itu ada karena
diawali dengan adanya tindak pidana asal ;
14. Bahwa pendapat “predicate crime” harus ada lebih
dahulu telah didukung oleh 5 ahli diatas, juga diperkuat dengan Ahli Mudzakir
dalam persidangan. Ahli Mudzakir menjelaskan pasal 2 merupakan kejahatan asal
dari TPPU atau TPPU pasal 3 pasal 4 sebagai dan juga pasal 5 itu baru ada jika
ada pasal 2. Jika tidak ada pasal 2 maka tidak mungkin ada pasal 3, pasal
4, pasal 5. Jadi menurut Ahli harus ada predicate crime baru kejahatan ini
dijadikan dasar untuk memperkarakan seseorang atas dasar pasal 3, pasal 4
atau Pasal 5.
15. Tentang pembuktian terbalik. Dosen Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Dian Adriawan, berpendapat pembuktian terbalik dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang dapat diberlakukan setelah jaksa bisa membuktikan
kejahatan asal usul harta kekayaan. Jika jaksa tak bisa membuktikan, majelis
dapat membebaskan terdakwa.“Apabila jaksa tidak bisa
membuktikan predicate crime maka dakwaan tidak terbukti dan beban pembuktian
terbalik tidak bisa ke terdakwa dan hakim harus membebaskan. Kalau jaksa bisa
membuktikan, baru pembuktian terbalik dberlakukan ke terdakwa,”
(Hukum Online; Selasa 14 Desember 2010).
BAB V
PENUTUP
Majelis Hakim Yang Mulia
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat.
Dan Hadirin sekalian Yang Juga kami hormati,
Seorang ahli ilmu politik dari Universitas Gajah Mada, Dr. Siti
Mutiah Setiawati, MA mengatakan, “Korupsi adalah kejahatan yang
luar biasa, tetapi menuduh orang yang tidak bersalah telah melakukan korupsi
adalah kezaliman yang sangat luar biasa.”
Majelis Hakim yang kami muliakan,
Sebelum kami melanjutkan dengan permohonan kami, perkenankanlah
kami menyampaikan masalah yang sifatnya penting namun diluar materi pokok,
yaitu soal kemandiran peradilan. Kami katakan penting karena kemandiran peradilan
adalah merupakan amanat konstitusi kita (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945).
Perihal kemandiran peradilan ini telah kami kemukakan sejak awal
persidangan sebagai ungkapan keprihatinan kami ketika dengan berat hati kami
terpaksa mempermasalahkan tentang susunan majelis hakim. Sebagaimana kita
ketahui dalam perkara yang sama, tentang kuota importasi daging sapi,
telah disidangkan dalam berkas yang berbeda, dengan komposisi majelis hakim
yang disusun secara tumpang tindih (Overlapping) untuk masing-masing berkas
perkara.
Kami berpendapat sistem penyusunan majelis hakim melalui penetapan
ketua Pengadilan telah menimbulkan benturan kepentingan dan tanpa disadari
telah dan akan menghilangkan kemandirian hakim.
Pada dua (2) persidangan lainnya, dalam perkara yang sama, vonis
telah dijatuhkan ketika perkara Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) tengah
diperiksa. Yaitu perkaranya dua direktur PT. Indoguna (Arya Effendi dan Juard
Effendi) dan perkaranya Ahmad Fathanah. Dalam perkara Indoguna, kedua terdakwa
telah diputus bersalah karena dianggap telah terbukti menyuap Terdakwa LHI.
Dalam perkara ini ketua majelisnya adalah anggota majelis hakim dalam perkara
Terdakwa LHI, yaitu yang mulia Purwono Edi Santoso. Sementara itu dalam
perkaranya Ahmad Fathanah, ketua majelis dan dua anggota majelisnya adalah juga
merupakan anggota majelis hakim dalam perkara Terdakwa LHI, yaitu yang mulia
Nawawi Pomolango, Yang Mulia I Made Hendra dan yang mulia Joko Subagyo.
Sebagaimana kita ketahui dalam kasusnya Fathanah Majelis Hakimnya
telah menjatuhkan vonis yang pada pokoknya menyatakan Fathanah secara
bersama-sama dengan Terdakwa LHI telah terbukti melakukan korupsi.
Dengan
demikian, dari 5 (lima) Majelis Hakim pada perkara Terdakwa LHI, maka 4 hakim
diantaranya telah mempunyai sikap tentang kesalahan Terdakwa LHI. Dengan kata
lain, mayoritas majelis hakim perkara Terdakwa LHI sudah berkeyakinan bahwa
Terdakwa LHI bersalah sebelum putusan pengadilan ini memutuskan demikian.
Disinilah letak benturan kepentingan dan hilangnya kemandirian hakim. Satu
hakim anggota yang merupakan Ketua Majelis dalam perkara Arya dan Juard serta
tiga (3) hakim anggota perkara Terdakwa LHI yang juga merupakan Ketua dan
anggota majelis dalam perkara Fathanah, oleh karenanya tidak mungkin dan sulit
diharapkan untuk bisa bersikap mandiri dalam perkara ini, karena tentu telah
terpengaruh oleh putusan yang dibuatnya dalam perkara terdahulu yang telah
berkeyakinan akan keterlibatan Terdakwa LHI pada kesalahan yang diperbuat oleh
Arya, Juard dan Fathanah.
Bahwa keempat anggota majelis tersebut jelas berada pada posisi
berbenturan (konflik) antara kepentingan harus netral pada perkara ini dan
kepentingan harus konsekuen dengan putusan yang telah dibuat sebelumnya pada
perkara Arya Cs dan Fathanah yang pada pokoknya telah juga mempersalahkan
Terdakwa LHI.
Selain dari masalah benturan kepentingan dan kemandirian hakim
maka keyakinan keempat hakim anggota majelis juga telah merubah suasana
persidangan dari yang seharusnya menurut asas KUHAP adalah praduga tak bersalah
(presumption of innocent) menjadi praduga bersalah (presumption of guilt).
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan
Mohon kiranya dipahami kami tidak sedang mengkritisi
profesionalisme Majelis Hakim yang sedang mengadili Terdakwa LHI, namun kami
mengkritisi sistem dan pelaksanaan penetapan sususnan majelis.
Ketidakmandirian hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) tidak terlepas dari sejarah terbentuk Pengadilan Tipikor untuk
pertama kalinya. Pengadilan Tipikor sejak awal memang sudah berada pada posisi
tidak mandiri. UU Nomor 30 tahun 2002 yang merupakan dasar hukum terbentuknya
KPK juga merupakan dasar hukum bagi terbentuknya Pengadilan Tipikor untuk
pertama kali (Pasal 53 UU KPK).
Pengadilan Tipikor yang dibentuk atas dasar UU KPK ini dikatakan tidak
mandiri karena pada dasarnya diberikan tugas yang sama oleh pembentuk
undang-undang untuk memberantas korupsi (Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 30 tahun
2002). Sehingga jika Pengadilan Tipikor memutus berbeda dengan semangat KPK
maka Pengadilan Tipikor akan dianggap anti pemberantasan korupsi. Dalam keadaan
yang demikian terjadi tekanan psikologis terhadap hakim Pengadilan Tipikor
harus memutus bersalah terhadap terdakwa yang dihadapkan ke pengadilan Tipikor
oleh KPK.
Kampanye KPK perihal pemberantasan korupsi juga secara psikologis
telah mempengaruhi imparsialitas peradilan dan telah mempengaruhi pendapat umum
di masyarakat.
Hakim dalam suasana psikologis seperti itu, akan sulit diharapkan
bisa bersikap mandiri ketika berhadapan dengan terdakwa. Jika hakim sampai
membebaskan terdakwa maka hakim akan dianggap sebagai anti pemberantasan
korupsi dan berpihak kepada koruptor, sebaliknya, jika menghukum Terdakwa nanti
dikira karena takut pada pendapat masyarakat, padahal Hakim telah menjalankan
tugasnya dengan benar. Keadaan serba salah inilah yang kami maksud sebagai
hilangnya kemandirian hakim.
Kewajiban hakim untuk bersikap mandiri berarti hakim terikat
untuk memutus perkara hanya atas dasar ketentuan undang-undang. Menurut
KUHAP sistem pembuktian yang dianut adalah Negatief Wettelijk Stelsel, yaitu
metode pembuktian yang paling sulit diantara empat ajaran tentang pembuktian.
Menurut KUHAP, untuk membuktikan seorang bersalah harus diperoleh
2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim. Artinya jika terdapat
bukti menurut undang-undang bahwa terdakwa bersalah, namun hakim tidak
memperoleh keyakinan maka terdakwa harus dibebaskan. Demikian juga jika seorang
hakim berkeyakinan terdakwa bersalah namun menurut undang-undang terdakwa tidak
terbukti bersalah maka terdakwa juga harus dibebaskan.
Intinya, meskipun seorang jelas-jelas kelihatan bersalah, namun
menurut KUHAP, adalah sangat sulit untuk membuktikan seorang bersalah. Dengan
demikian, seharusnya lebih banyak putusan bebas daripada putusan untuk
menghukum. Namun, karena ada suasana psikologis yang mengatakan, jika
membebaskan terdakwa dicurigai adanya judicial corruption,
maka praktek pengadilan kita lebih baik menjatuhkan putusan bersalah dari pada
dituduh korupsi. Atau dengan kata lain, jika hakim bersikap mandiri maka
sebetulnya akan lebih banyak terdakwa yang dibebaskan dari pada yang dihukum,
karena sulitnya membuktikan kesalahan terdakwa.
Keadilan harus kita maknai sebagai keadaan yang netral dan
proporsional. Perkara yang masuk ke pengadilan harus memberi kemungkinan yang
sama bagi terdakwa untuk menerima hukuman atau dibebaskan dari hukuman. Jika
tidak demikian maka tidak ada kemandirian peradilan.
Kemandirian atau independensi peradilan memperoleh maknanya jika
terdapat kenyataan bahwa lembaga peradilan adalah tempat terjadinya keputusan
penghukuman jika terdakwa bersalah dan pembebasan jika terdakwa tidak bersalah.
Sehingga statistiknya harus seimbang (50 banding 50) antara mereka yang dihukum
dengan mereka yang dibebaskan. Jika kenyataannnya yang dihukum lebih banyak,
atau bahkan jauh lebih banyak dari yang dibebaskan maka ini petunjuk tidak
adanya kemandirian hakim.
Terdakwa LHI yang saat ini duduk dihadapan yang mulia Majelis
hakim sebagai terdakwa, benar-benar menaruh harapan dipundak majelis hakim agar
kiranya dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Bagi Terdakwa LHI seorang politikus yang merintis karier
politiknya dari bawah, sama sekali tidak terbayangkan bahwa diujung perjalanan
kariernya sebagai Presiden Partai dan sebagai wakil rakyat di DPR, harus
mengalami kenyataan duduk sebagai Terdakwa dengan tuduhan yang tentunya sangat
menyinggung harga diri dan kehormatannya, yaitu korupsi dan melakukan pencucian
uang, yang kemudian oleh yth JPU telah dituntut agar dimasukkan dalam penjara
dan dipisahkan dari keluarga dan kerabatnya selama 18 tahun, ya selama 18
tahun, waktu yang demikian panjang.
Angka 10 ditambah 8 tahun penjara tersebut diucapkan oleh JPU
dengan enteng dan tanpa beban.
Lalu apa dan berapa jumlah uang yang telah dikorupsi, dinikmati
dan kemudian dicuci oleh Terdakwa LHI sehingga oleh JPU pada
KPK Terdakwa LHI pantas dituntut untuk dijebloskan dalam penjara selama 18
tahun? Ternyata, baik dalam surat dakwaan dan kemudian dalam surat tuntutannya
tidak ada sejumlah uang yang telah dikorup dan kemudian dinikmati oleh Terdakwa
LHI yang dapat dikwalifisir sebagai hasil kejahatan yang dilakukan oleh
Terdakwa LHI, sehingga tuntutan penjara selama 18 tahun tersebut benar-benar
tuntutan bombastis yang jauh dari rasa keadilan.
Saat ini Terdakwa LHI tidak ada harapan lain rasanya selain
berharap Majelis hakim pada akhirnya dapat memutus perkara ini dengan putusan
yang seadil-adilnya, yang dengan itu kiranya nanti masyarakat serta khalayak
ramai dapat pula menilai secara obyektif, apakah benar Terdakwa LHI telah
melakukan perbuatan yang didakwakan.
Dalam setiap kasus pidana, meskipun sudah cukup 2 alat bukti yang
sah, jika sedikit saja ada keraguan pada diri hakim, tentang apakah terdakwa
pantas dihukum atau tidak, maka terdakwa haruslah dibebaskan, inilah yang
terkenal dengan istilah “beyond reasonable doubt “ yang
ekuivalen dengan asas “in dubio proreo”
Prof Oemar Seno Adji SH dalam bukunya HUKUM,HAKIM PIDANA menulis “bahwa Hakim Pidana bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan
terhadap tedakwa secara tepat. Ia harus memperhitungkan sifat dan seriusnya
delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan
kepadanya. Ia harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan…….”
Sekarang, kearifan dan harapan untuk mendapatkan keadilan berada
pada Majelis hakim yang kami muliakan.
Tentang bagaimanah seorang hakim harus menjalankan tugasnya, perlu
kami kutipkan pendapat Adi Andojo Soetjipto,
Mantan Ketua Muda MA, yang dimuat pada rubik Opini Harian Kompas pada hari
Selasa tanggal 3 Desember 2013 kemarin, dengan judul MA dan Hukuman Berat.
“Kalau mengenai ada hakim agung yang menambah
hukuman kemudian lalu dia disanjung sebagai hakim yang berani dan dianggap
pahlawan antikorupsi, hal itu menurut pendapat saya adalah ”salah besar”.
Sebab, menjatuhkan putusan dengan menambah atau mengurangi hukuman itu adalah
tugas hakim berdasarkan rasa keadilannya dan bukan untuk tujuan tertentu.
Tugas pokok seorang hakim adalah demikian, yakni menghukum
terdakwa kalau ternyata terdakwa terbukti bersalah atau membebaskan terdakwa
apabila ternyata terdakwa tidak terbukti bersalah. Dan, bahwa seorang hakim harus
mempunyai sifat-sifat adil, jujur, berani, itu memang suatu conditio sine qua
non bagi seorang hakim. Dan, apabila ada seorang hakim yang membebaskan
terdakwa karena dianggap kesalahannya tidak terbukti, janganlah lalu dia
dianggap sebagai hakim yang pengecut dan yang ”prokorupsi” (Andi Andoyo
Soetjipto)
Selanjutnya sebagai bagian dari penutup ini ijinkanlah kami
mengutip suatu ayat dalam Al Quran. Meskipun kami mengetahui sebagian dari kita
bukan beragama Islam namun karena surat dari Allah ini mengandung suatu ajaran
yang universal maka pada kesempatan ini perlu kami presentasikan pada acara
pembelaan ini. Kalimat Allah yang kami maksud adalah Surat An Nisa ayat 135, yang terjemahannya adalah
sebagai berikut;
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun
miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar
balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Alllah Maha
Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”
Ayat Allah tersebut bukan hanya mengandung ajaran yang relevan
dengan hukum materiel kita, yaitu tentang menegakkan keadilan tanpa pandang
bulu, tetapi juga berbicara tentang kesaksian dan memutus perkara yang adalah
relevan dengan hukum acara kita.
Selain dari pada itu Allah yang maha adil juga telah berfirman
sebagaimana terbaca dalam kitab suci Al Qur’an Annisa ayat 58 yang
berbunyi :
”Wa idza hakamtum bainan nass antahkumu bil
adli”
Jika kamu akan menjatuhkan hukuman untuk seseorang, jatuhkanlah
hukuman yang adil.
Ada tiga rangkaian kata dalam ayat tersebut yang menurut kami
patut untuk direnungkan, yaitu“hakamtum” ,antahkumu, dan bil
adli”, yang secara harfiah artinya menghakimi, menjatuhkan
hukuman, dengan adil.
Ayat tersebut, jelas ditujukan kepada para Hakim sebagai insan
penegak hukum dan keadilan, agar kiranya para Hakim dalam menjatuhkan putusan
atas perkara yang dipercayakan kepadanya, benar-benar menjatuhkan putusan
dengan adil sesuai dengan irah-irah “demi keadilan berdasarkan
KETUHANAN YANG MAHA ESA.”
Kami ingin menutup pembelaan kami dengan menyampaikan kalimat
Allah yang lain yaitu Surat Al-Maidah Ayat 8; Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekalai-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
Dan bertakwalah kepada Allah, sesusungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.
Berdasar atas segala sesuatu yang kami uraikan diatas, kami mohon
agar kiranya majelis Hakim dengan segala kewibawaannya berkenan menjatuhkan
putusan sebagi berikut :
- Menyatakan seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum TIDAK TERBUKTI
SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
- Membebaskan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq dari segala dakwaan Jaksa
Penuntut Umum, atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan
hukum.
- Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan
Terdakwa LHI dari tahanan.
- Memulihkan harkat, martabat, dan nama baik Terdakwa LHI.
Demikianlah Nota Pembelaan ini kami ajukan, semoga Allah SWT
meridhoi kita semua.
Jakarta, 4 Desember, 2013
Hormat kami,
Tim Penasehat Hukum Terdakwa LHI
Mohamad
Assegaf
Wirawan
Adnan
Agus
S.P Otto
Faizal
Syahmenan
|
M.
Sholeh Amin
Faudjan
Muslim
Iim
Abdul Halim
Yudha
Ardian
Rahdie
Noviadi
|
Zainudin
Paru
Dendy
K. Amudi
Sugiyono
Jefferson
Dau
|
0 comments:
Post a Comment