Wednesday, 4 December 2013

Nota Pembelaan tim penasehat hukum LHI

BAB I
PENDAHULUAN
Majelis Hakim yang kami muliakan
Rekan-rekan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Serta hadirin yang setia mengikuti persidangan ini,

Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi kita kekuatan dan kesehatan sehingga bisa menjalani persidangan atas terdakwa Luthfie Hasan Ishaaq (LHI) yang sudah hampir mendekati saat-saat akhir ini. Kami juga menyampaikan terimakasih dan rasa hormat yang mendalam kepada Majelis Hakim atas segala kesabaran dan jiwa kepemimpinannya dalam proses pemeriksaan persidangan ini menunjukkan keseriusan serta menjunjung tinggi asas fairness, terkontrol dan profesional.

Perlu kami kemukakan, bahwa persidangan ini yang nantinya akan diakhiri dengan putusan yang MENGATAS-NAMAKAN KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, tentu merupakan putusan yang sangat diharapkan bukan saja oleh Terdakwa LHI dan Penasihat Hukumnya tetapi juga tentunya diharapkan oleh rekan JPU sekalipun.
Kami juga mengamati bahwa Yang Mulia Ketua Majelis setiap akan membuka persidangan, dengan suara lirih namun terbaca oleh kami, senantiasa mengawali dengan membaca dan menyebut asma ALLAH “Bismillah Arrochman Arochim”, Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, dan Allah yang juga Maha Adil, ini memberi arti bahwa Yang Mulia Ketua Majelis telah menghadirkan Keadilan Allah SWT dalam ruang pengadilan ini.
Dengan mengatas namakan Tuhan YME, dan dengan mengingat Allah yang Arrochman dan Arrochim maka sudah barang tentu kita tidak perlu menghiraukan surat tuntutan JPU, yang telah menuntut Terdakwa LHI dengan hukuman penjara 18 tahun, yang sangat tidak mencerminkan keadilan.
Selanjutnya, dalam rangka  menegakkan Keadilan dan kebenaran, perlu kiranya kita resapi juga pesan Rasulullah SAW dengan sabdanya yang terkenal :yaitu
“Qull Haqq Walau Kaana Murron”
(Katakan yang benar, sebagai benar, walaupun pahit untuk mengatakannya)
Kami, Penasihat Hukum Terdakwa, secara khusus merasa perlu menyampaikan kesan bahwa persidangan ini telah berjalan secara seimbang. Yaitu seimbang antara kepentingan untuk mendakwa Terdakwa LHI dan kepentingan untuk membela Terdakwa LHI sebagai pihak yang tidak bersalah. Kami berpendapat Majelis hakim telah berhasil berperan menciptakan keseimbangan ini. Sebab tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, masih dapat ditemui sementara Hakim yang bersikap “mengambil alih” tugas seorang Penuntut Umum sebagai pendakwa, dan hanya tertarik untuk membuktikan kesalahan terdakwa dan melupakan tugasnya sebagai Hakim dan tidak menyadari bahwa sikap seperti itu adalah bertentangan dengan ketentuan dalam pasal 158 KUHAP yang melarang seorang Hakim selama persidangan menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang  tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya seorang terdakwa.
Memperhatikan jalannya persidangan selama ini sebagaimana telah dikemukakan diatas, kami  Tim penasihat Hukum merasa yakin, bahwa Majelis Hakim Yang Mulia tentunya akan secara obyektif menjadikan hanya fakta-fakta yang terungkap selam persidangan sebagai dasar pertimbangan hukum dalam mengambil keputusan atas  perkara ini, terbebas dari pengaruh pemberitaan media masa dan pengaruh pendapat dalam berbagai tulisan. Hanya dengan demikian Terdakwa dapat memperoleh keadilan dalam perkara ini. Sekali lagi “Qulil haq walau kaana murron“ katakan yang benar sebagai benar meskipun pahit untuk mengatakannya.
Melalui persidangan yang terbuka ini, pada akhirnya kita tentu telah dapat menjawab pertanyaan yang paling mendasar atas perkara ini, yaitu apakah benar Terdakwa LHI telah melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, yaitu melakukan korupsi dan kemudian melakukan pencucian uang?.
Tentang dakwaan korupsi, isu sentralnya adalah perihal dugaan adanya hadiah atau janji dari Maria Elizabeth Liman yang akan memberikan Rp 40 milyar kepada Terdakwa LHI. Dari Rp 40 Milyar tersebut, menurut Penuntut Umum, Maria telah mengeluarkan Rp 1,3 milyar, yang oleh Penuntut Umum diyakini diperuntukkan bagi Terdakwa LHI.
Bahwa Terdakwa LHI adalah sebagai anggota DPR sebetulnya tidak ada hubungannya dengan motif Maria. Jika betul Maria diposisikan sebagai penyuap maka kedudukan Terdakwa LHI sebagai anggota DPR tidak diperlukan oleh si penyuap untuk memperoleh hal yang dikehendaki. Sehingga faktor “anggota DPR” hanyalah unsur yang ditempelkan oleh Penuntut Umum supaya kasus ini bisa bergulir menjadi perkara dengan magnitude seperti perkaranya Terdakwa LHI ini.
Kenyataan bahwa Terdakwa LHI mempunyai hubungan dekat dengan Ahmad Fathanah dieksploitisir sedemikian rupa oleh Penuntut Umum untuk bisa dimaknai  sebagai sebuah kerja sama. Padahal yang terbukti kedekatan tersebut justru sesuatu keadaan yang dimanfaatkan oleh Fathanah untuk mencari uang untuk kepentingannya sendiri. Dengan mengatas namakan Terdakwa LHI, Fathanah telah berhasil meminta uang dari Maria sejumlah Rp 1,3 milyar. Uang ini telah diterima oleh Fathanah dan tidak pernah sampai kepada Terdakwa LHI. Jadi sebetulnya bukan sebuah kerja sama namun lebih tepatnya adalah sebuah tipu daya Fathanah terhadap Maria Elizabeth Liman. Jika Penuntut Umum mempercayainya sebagai kerjasama maka berarti Penuntut Umum telah berhasil diperdayai juga oleh Fathanah sebagaimana keberhasilannnya memperdayai Maria Elizabeth Liman.
Perihal dugaan adanya janji juga tidak terbukti. Yang terbukti adalah sebuah upaya tipu daya dari Fathanah terhadap Terdakwa LHI akan adanya janji pemberian Rp 40 milyar dari Maria untuk Terdakwa LHI. Karena ternyata baik Maria maupun Elda tidak pernah menjanjikan demikian. Jadi bagaimana mungkin Terdakwa LHI bisa dituduh telah menerima janji jika janji tersebut tidak pernah ada? Sayang permintaan kami untuk mengkonfrontir antara saksi Maria, Elda dan Fathanah, perihal janji ini tidak dikabulkan oleh Majelis.  Semoga penolakan oleh Majelis ini adalah karena Majelis memang sudah yakin bahwa janji tersebut memang hanya karangannya Fathanah semata untuk memperdayai Terdakwa LHI.
Tentang dakwaan TPPU, dari keseluruhan transaksi, pembelanjaan dan penempatan uang yang didakwakan hampir semuanya (90%) telah terbukti bukan dari hasil kejahatan. Beberapa transaksi yang tidak berhasil kami klarifikasi semata karena ketidak-hadiran saksi, dan kami sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk menghadirkannnya. Namun yang merupakan pembelaan kami perihal TPPU ini adalah fakta bahwa Terdakwa LHI adalah pengusaha sukses sebelum menjadi anggota DPR. Terdakwa LHI adalah pemegang saham mayoritas (praktis pemiliknya)  PT. Sirat Inti Buana. Pegawai perusahaan ini, DELLY AGUSTIAN UTAMA, memberikan kesaksian di persidangan ini bahwa omzet perusahaan sejak tahun 2003 adalah diatas Rp 35 milyar dalam setahun. Di tahun 2005 bahkan mencapai omzet Rp 72 milyar, di tahun 2005 Rp 67 milyar. Hal ini membuktikan bahwa PT . Sirat Inti Buana (SIB) adalah bukan perusahaan fiktif sebagaimana yang hendak dikesankan oleh sdr. Penuntut Umum, bahkan pembukuan perusahaan menunjukkan bahwa PT SIB adalah perusahaan sehat. Yang jelas transaksi pembelian 5 bidang tanah di Bogor seharga Rp 3,5 milyar, yang oleh penuntut umum dituduhkan sebagai transaksi yang mencurigakan, telah berhasil kami buktikan bahwa sumber dananya adalah dari PT SIB, milik Terdakwa LHI.
Selain dari pada pengusaha sukses, Terdakwa LHI juga dikenal sebagai Ustad yang sukses. Murid-muridnya Terdakwa LHI juga banyak yang sukses secara ekonomis. Contohnya Oke Setiadi, murid Terdakwa LHI yang sukses ini adalah pengusaha Ban Mobil. Dengan kesuksesannnya itu Oke Setiadi, di persidangan ini bersaksi, bahwa dia menginfakkan Rp 1 Milyar kepada Terdakwa LHI yang oleh Terdakwa LHI dipergunakan untuk membeli mobil VW Caravelle untuk kepentingan partai yang dipimpinnnya, yaitu PKS. Sdr Penuntut Umum menanyakan bukti (tertulis) ? Kami heran, mana ada orang bershadaqoh dan berinfaq minta tanda bukti. Demikian juga ketika menantunya titip uang untuk dibelikan rumah, ya wajarlah jika seorang menantu percaya kepada mertua sehingga tidak memerlukan tanda bukti.
Bendahara umum PKS, Ustad Mahfudz dan presiden partai Anis Mata yang bersaksi di pengadilan memberikan keterangan bahwa adalah wajar bila aset-aset PKS terutama aset bergerak seperti mobil, untuk alasan administratif diatas namakan kader partai, karena biasanya memang donatur memberikannya secara pribadi namun pribadi tersebut memberlakukannya sebagai amanah untuk partai. Dan begitulah tradisi di PKS, sehingga mobil VW Caravelle yang secara formil adalah tercatat milik Terdakwa LHI, tetapi sesungguhnya secara materiil adalah asetnya PKS. Bila sdr Penuntut Umum juga berpendapat bahwa dalam hukum Acara Pidana yang dicari adalah kebenaran materiil maka dengan pendekatan yang sama mobil VW Caravelle juga harus diartikan, secara materiil, adalah sebagai miliknya partai bukan milik pribadi Terdakwa LHI.
Oleh karena itu, jika sdr Penuntut Umum tertarik untuk menggali profilnya Terdakwa LHI, jangan hanya diungkap profilnya sebagai anggota DPR, namun juga profilnya sebagai pengusaha sukses dan profilnya sebagai Ustad yang dicintai murid-muridnya.  Hal ini perlu kami sampaikan karena adanya pendapat Penuntut Umum bahwa transaksi dan aset-aset yang dikuasai Terdakwa LHI tidak sesuai dengan profilnya. Apalagi selalu mengungkap bahwa Rekening tertentu atau aset tertentu belum dilaporkan dalam LHKPN. Jika sdr Penuntut Umum konsekuen dengan UU No 28/1999 yang dijadikan rujukan dalam dakwaannya tentang TIPIKOR, maka Sdr Penuntut Umum harus memahami bahwa kewajiban mencatatkan harta kekayaan pejabat itu adalah bukan hanya sebelum menjabat, namun juga selama menjabat (Pasal 5 ayat 3 UU No 28/1999). Sehingga dimungkinkan adanya harta kekayaan yang belum dicatatkan ketika harta tersebut diperoleh selama masa jabatannya.  Kealpaan pejabat mencatatkan harta kekayaan hanyalah diberikan sanksi administatif (Pasal 20 ayat 1, UU No 28/1999 ).
Perihal TPPU ini tokoh sentralnya juga pada Fathanah. Jika pada kasus korupsi yang diperdaya adalah Maria Elizabeth Liman, maka pada kasus TPPU yang diperdaya adalah Yudi Setiawan yang telah banyak dimintai uang Fathanah dengan mencatut nama Terdakwa LHI. Namun Penuntut Umum mengkaitkan setiap tindakan Fathanah dengan Terdakwa LHI padahal sebetulnya yang terjadi Terdakwa LHI dijadikan tempat perlindungan bagi kecurangan seorang Ahmad Fathanah.
Perdebatan akademis perihal TPPU ini adalah apakah Predicate Crime (Kejahatan Asal) harus ada/dibuktikan dulu atau tidak untuk bisa menuntut perkara TPPU? Ahli Yunus Husein berpendapat tidak harus, namun ahli Dr. Mudzakir mengatakan harus ada. Sebab pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 itu hanyalah follow up crime  (kejahatan ikutan) yang hanya bisa ada karena ada pasal 2 (Core Crime).  Mengenai eksistensi Pasal 69, Ahli Mudzakir mengatakan, itu hanyalah diperbolehkannya TPPU di proses tanpa harus ada kejahatan asal, namun tidak berarti boleh di putus.
Yang juga merupakan perdebatan akademis tentang TPPU ini adalah tentang wewenang Jaksa KPK untuk melakukan penuntutan atas perkara TPPU ketika secara eksplisit tidak ada hukum acara yang memperbolehkannya. Menurut Ahli Yunus Husein, atas dasar penafsiran pasal 75 maka Jaksa KPK boleh melakukan penuntutan. Sebaliknya Ahli Mudzakir mengatakan, kewenangan penegak hukum harus diperoleh dari ketentuan yang secara eksplisit ditentukan dalam Undang-Undang, tidak boleh diperoleh karena penafsiran. Sebab jika penafsiran diperbolehkan maka nanti polisi pun bisa bertindak sebagai penuntut.
Yang menarik tentang pendapatnya Ahli Yunus Husein adalah kepastian hukum boleh dikesampingkan demi tercapainya keadilan. Pendapat ini menimbulkan pertanyaan bagi kami. Sistem pembuktian terbalik (omkering van bewijslast atau shifting burden of proof) yang saat ini sedang diberlakukan terhadap Terdakwa LHI adalah suatu ketidakadilan bagi Terdakwa LHI, meskipun oleh UU No 8/2010 sudah ditentukan demikian. Apakah demi keadilan omkering van bewijslast boleh kita kesampingkan ?
Akan tetapi secara sekilas, perlu kiranya kami mohonkan perhatian majelis hakim  bahwa perkara ini sebenarnya berawal  dari peristiwa apa yang oleh KPK dikatakan sebagai operasi tangkap tangan terhadap saksi Fathanah di hotel Le Meredien yang dimobilnya diketemukan uang sebanyak  1 Milyar yang sudah berkurang  sebanyak 20 juta karena dipakai oleh saksi Fathanah, uang tersebut oleh KPK dan kemudian oleh JPU, dianggap dan dikesankan seolah-olah  sebagai uang suap saksi Juard dari Indoguna untuk Terdakwa LHI, padahal, sebagaimana terungkap dalam persidangan dari saksi dibawah sumpah yang ditelpon oleh Fathanah yaitu saksi Felix Rajali dan saksi Ilham Ramli untuk datang ke hotel,  uang tersebut dimaksudkan untuk membayar mobil dan furniture kepada kedua saksi tersebut.
Sebagaimana terungkap dalam persidangan, saksi memang datang ke Hotel dan memberitahukan kedatangannya kepada saksi Fathanah akan tetapi saat itu telah terjadi penangkapan oleh KPK terhadap Fathanah, maka dengan sendirinya penyerahan dan penerimaan uang tersebut gagal.
Majelis hakim yang kami muliakan.
Jadi atas dasar kesaksian siapa bahwa uang tersebut dimaksudkan untuk diberikan kepada Terdakwa LHI sebagaimana dikatakan oleh Yth JPU?, dengan berat hati kami terpaksa harus mengatakan bhwa sdr JPU tidak jujur dan  telah memanipulir fakta, semata-mata dengan tujuan agar Terdakwa LHI yang tidak bersalah ini untuk dihukum, kami terpaksa harus juga mengatakan bahwa nampaknya sdr JPU telah menerapkan “tujuan menghalalkan cara” termasuk dengan cara memanipulir fakta persidangan, sungguh menyedihkan tetapi itulah yang terjadi dalam perkara ini.
Manipulasi oleh sdr JPU juga terjadi sebagaimana terbaca baik dalam BAP, Surat Dakwaan bahkan Surat Tuntutan tentang percakapan telpon antara saksi Fathanah dengan supirnya Sahrudin alias Allu, versi sdr JPU sebgaimana terbaca dalam surat dakwaan dan Tuntutan dikatakan sbb :”Alun jangan jauh-jauh dari mobil ada daging busuk Luthfi”, padahal percakapan sebenarnya sebagaimana diperdengarkan dalam sidang atas permintaan Penasihat hukum jelas terdengar : “Alu lu jangan jauh-jauh dari mobil ada daging busuk”      jelas terdengar tidak nama Luthfi disebut-sebut dalam percakapan tersebut. Bukankah fakta ini membuktikan dengan jelas tindakan JPU yang manipulatif ?
Disini kelihatan dengan jelas bahwa semangat Penuntut Umum pada KPK, bukan lagi semangat untuk menegakkan hukum dan kebenaran, melainkan semata-mata dilandasi oleh keinginan mencari-cari kesalahan, jika kesalahan itu tidak terbukti tetap saja menuntut untuk menghukum dan menjebloskan seseorang dalam penjara, agar dengan demikian Penuntut Umum dapat memperoleh applaus dari masyarakat.
Tuntutan agar Terdakwa LHI dihukum penjara selama 18 tahun sungguh keterlaluan. Kelihatan hanyalah dilandasi motif untuk mencari sensasi dan pujian. Semangat untuk menghukum dan mencari sensasi sepertinya lebih menonjol dari pada menegakkan hukum.
Adalah juga satu kenyataan kasus ini disidangkan dalam suasana gegap gempita atas ditangkapnya Luthfi Hasan Ishaaq dalam kapasitasnya selaku Presiden PKS dan anggota DPR.
Berbagai pemberitaan tersebut apalagi yang bersifat politis sudah tentu menimbulkan kekhawatiran dalam diri Terdakwa LHI nantinya akan dapat mempengaruhi Majelis Hakim dalam menjatuhkan Putusan, namun memperhatikan cara Yang Mulia Ketua dalam memimpin sidang, kami sangat yakin tidak akan terpengaruh atas hura-hura tertangkapnya terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini sangatlah beralasan kami terpaksa mengungkapkan kekecewaan kami atas tuntutan pidana selama 18 tahun terhadap Terdakwa LHI yang terkesan sangat dipaksakan.
Kekecewaan kami ini terpaksa kami utarakan karena tuntutannya sama sekali tidak didasarkan pada hasil pembuktian dan sama sekali telah mengabaikan fakta persidangan. Seolah sejak awal rekan JPU sudah mempunyai “mindset” untuk menuntut Terdakwa LHI, baik dakwaannya terbukti maupun tidak. Semua unsur yang oleh sdr JPU dikatakan terbukti, ternyata hampir semuanya hanyalah didasarkan pada kata-kata yang ada di dalam BAP dan kata-kata  yang ada di dalam Surat Dakwaan, bukan merupakan kata-kata yang diperoleh dari hasil pembuktian di persidangan.
Majelis Hakim yang kami muliakan
Sebelum kami mengakhiri bagian pendahuluan ini kiranya menarik untuk disimak tuntutan JPU khususnya pada bagian tentang hal-hal yang memberatkan yang antara lain oleh Yang Terhormat Sdr. JPU dikatakan :
-             Perbuatan Terdakwa yang dilakukan secara bersama-sama dan terorganisir telah menunjukkan keberpihakan pada kelompok atau pengusaha tertentu sehingga merusak kebijakan Pemerintah…..dst
-             Perbuatan Terdakwa selaku penyelenggara Negara dan sekaligus pejabat publik yang berkolusi dengan saksi Fathanah dalam upaya mendapatkan keuntungan materi dengan cara mempengaruhi kebijakan perijinan dan atau memperoleh proyek-proyek…dst .
Menjadi pertanyaan, atas dasar fakta dan bukti apa sdr JPU bisa menyimpulkan bahwa Terdakwa LHI telah melakukan  perbuatan yang “terorganisir” dan menunjukkan “keberpihakan” pada kelompok atau pengusaha tertentu dan mempengaruhi “kebijakan “ perijinan ,“ kesimpulan sdr JPU  tersebut jelas merupakan kesimpulan yang imaginatif yang tidak didukung oleh bukti yang meyakinkan .
Majelis Hakim yang kami muliakan
Tidak ada fakta persidangan yang bisa dijadikan bukti bahwa ada peranan Terdakwa LHI yang dapat dikwalifisir sebagai “mempengaruhi kebijakan perijinan”
Terdakwa LHI, sebagaimana terungkap sebagai fakta persidangan, hanya sekali berperan mempertemukan Mentan dengan Elizabeth dari Indoguna di Medan. Semua saksi yang hadir dalam pertemuan tersebut dengan tegas mengatakan, bahwa Terdakwa LHI hanya melihat dan menyaksikan diskusi keras yang terjadi antara saksi Elizabeth dengan Menteri Pertanian Suswono tentang data perdagingan yang disampaikan oleh Elizabeth dari PT. Indoguna Utama kepada Saksi Suswono (Mentan).
Fakta yang terungkap dalam persidangan dengan jelas menegaskan, bahwa tidak ada peran Terdakwa yang dapat dikwalifisir sebagai “bantuan” kepada PT. Indoguna untuk mengusahakan penambahan kuota, fakta justru membuktikan bahwa semua permohonan penambahan kuota yang diajukan berkali-kali oleh Indoguna ternyata semuanya ditolak .
Fakta persidangan juga telah membuktikan bahwa ternyata perijinan untuk mendapat kuota atau tambahan kuota tidak ada pada Mentan melainkan ada pada tiga kementerian yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perdagangan dan Menko Ekuin.
Seandainya pun quod-non Terdakwa LHI mempengaruhi Mentan hal mana tidak akan memberi arti, karena Mentan memang tidak mempunyai wewenang untuk memutuskan permohonan tersebut.

BAB II
FAKTA PERSIDANGAN DAN ANALISIS
Majelis Hakim yang kami muliakan
Rekan-rekan Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati

Telah sama-sama kita pahami, bahwa dalam musyawarah terakhir untuk pengambilan keputusan, Majelis Hakim harus mendasarkan keputusannya pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang sebagaimana diatur dalam pasal 182 ayat (4) KUHAP. Dengan demikian suatu putusan perkara pidana tidak boleh didasarkan pada suatu hal di luar surat dakwaan dan segala sesuatu yang tidak terbukti dalam pemeriksaan di sidang.
Untuk itu kami akan menguraikan elemen-elemen perbuatan yang didakwa Sdr. Penuntut Umum dan mengemukakan fakta pemeriksaan di sidang pengadilan sehubungan dengan elemen-elemen dakwaan Sdr Penuntut Umum a quo serta analisis kami terhadap fakta tersebut.
I. DAKWAAN TIPIKOR  
A.1 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Terdakwa LHI baik sebagai orang yang melakukan (pleger) atau turut serta melakukan perbuatan bersama-sama (medepleger) dengan Ahmad Fathanah, menerima pemberian atau janji yaitu menerima hadiah berupa uang sejumlah Rp.1.300.000.000,- dari Maria Elizabeth Liman.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
Di persidangan tidak terbukti adanya kerjasama antara Terdakwa LHI dengan Fathanah, selain fakta bahwa mereka adalah teman dekat. Yang terbukti adalah bahwa Fathanah bekerja sendiri dalam memperdaya Maria Elizabeth Liman. Perihal dakwaan bahwa Terdakwa LHI menerima pemberian Rp 1,3 milyar dari Maria Elizabeth Liman, adalah tidak benar dan tidak terbukti. Yang terbukti adalah bahwa keseluruhan uang Rp 1,3 Milyar dari  Maria diterima oleh Ahmad Fathanah dalam dua tahap dan dalam dua waktu yang berbeda serta berdiri sendiri. Tahap pertama Rp 300 juta, diberikan oleh Maria atas dasar permintaan Fathanah melalui Elda Deviane Adiningrat sebelum pertemuan di Medan dan Tahap kedua, Rp 1 milyar diminta dan diterima oleh Fathanah setelah pertemuan di Medan yang kejadiannnya adalah sebagai berikut:
(1)  Tahap Pertama, Rp 300 juta. Bahwa sebelum berangkat ke Medan saksi Ahmad Fathanah melalui Elda Devianne Adiningrat minta uang kepada Maria Elizabeth Liman, sebesar Rp. 300.000.000.- dimana menurut keterangan Maria Elizabeth Liman sebelum berangkat ke Medan dirinya ditelepon oleh Elda Devianne Adiningrat yang meminta fee sebagai penggantian uang bensin, tetapi menurut saksi Elda Devianne Adiningrat, uang Rp. 300.000.000.- untuk Terdakwa LHI. Uang sejumlah Rp. 300 juta itu baru diambil oleh saksi Jerry Roger Kumontoy pada tanggal 13 Januari 2013 dari kantor PT. Indoguna Utama kemudian uang tersebut tidak diserahkan kepada Ahmad Fathanah melainkan diserahkan kepada Rony sebagai penyertaan Ahmad Fathanah dalam proyek PLTS. Dengan demikian terkait dengan uang sebesar Rp. 300 juta tidak terbantahkan bahwa uang tersebut bukan untuk kepentingan Terdakwa LHI. Terdakwa LHI  tidak pernah meminta, menyuruh dan tidak mengetahui bahwa Ahmad Fathanah meminta uang kepada Maria Elizabeth Liman. Oleh karena itu keterangan Elda Devianne Adiningrat yang mengatakan Ahmad Fathanah meminta uang sebesar Rp. 300 juta untuk terdakwa, harus dimaknai bahwa sebenarnya Ahmad Fathanah hanya memanfaatkan dan mencatut nama terdakwa saja. Mengenai fakta bahwa Ahmad Fathanah mencatut nama Terdakwa LHI bersesuaian dengan saksi Elda Devianne Adiningrat.
Saksi Elda Devianne Adiningrat menerangkan bahwa dirinya pernah mendapat pesan dari Ahmad Rozy apabila ada apa-apa baik permintaan uang dari Ahmad Fathanah jangan langsung dituruti atau ditanggapi namun klarifikasi dulu dengan Terdakwa LHI.
(2)  Tahap Kedua, Rp 1 milyar. Bahwa setelah Ahmad Fathanah melalui Terdakwa LHI dapat mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan menteri Pertanian SUSWONO, Ahmad Fathanah meminta bantuan dana kepada Maria Elizabeth Liman dengan alasan untuk membuat seminar, serta bantuan safari dakwah PKS dan dana kemanusiaan di Papua tetapi tidak menyebut berapa nominalnya dan kemudian melalui telepon Maria Elizabeth Liman memberitahu Ahmad Fathanah bahwa akan diberikan bantuan dana sebesar Rp. 1 milyar.
Pada tanggal 29 Januari 2013 saksi Ahmad Fathanah datang ke PT Indoguna untuk mengambil uang yang diminta Ahmad Fathanah yang diserahkan oleh Arya Abdi Effendy, saksi Juard Effendy dan Rudy Susanto senilai Rp. 1 milyar yang terdiri dari Rp. 500 juta dari PT. Indoguna Utama dan Rp. 500 juta dari saksi Rudy Susanto.
Setelah menerima uang dari PT Indoguna Utama Ahmad Fathanah menelpon terdakwa dan menanyakan “ada dimana ? nih ada yang menguntungkan”, dan dijawab oleh Terdakwa “ya .. sedang diatas panggung sedang seminar”. Menurut saksi Ahmad Fathanah bahwa dirinya mengatakan “ada yang menguntungkan” sebagai candaan dan biasanya saksi Ahmad Fathanah kalau berbicara seperti itu terdakwa ustad Luthfi Hasan Ishaaq mau bertemu karena sudah tiga hari tidak bertemu. Sedangkan menurut keterangan terdakwa dirinya sama sekali tidak mengerti maksud dari kata-kata Ahmad Fathanah ketika menelpon apalagi Terdakwa LHI sedang diatas mimbar sehingga tidak fokus. Ditambah lagi dengan fakta bahwa Terdakwa tidak pernah menelpon atau menghubungi kembali Ahmad Fathanah untuk menanyakan tentang maksudnya menelpon Terdakwa dengan mengatakan “ada yang menguntungkan”.
Ahmad Fathanah setelah menerima uang menuju Hotel Le Meredien dan kemudian menghubungi saksi Felix Radjali untuk menerima pembayaran mobil Mercedes Benz yang dari PT William Mobil dan juga saksi Ilham Ramli agar datang ke hotel tersebut untuk menerima pembayaran furniture yang dibeli dari X’tra Design senilai Rp. 485 juta. Betul kedua orang saksi Felix Radjali dari PT William Mobil dan Ilham Ramli sore tanggal 29 Januari 2013 datang ke Hotel Le Meredien dengan membawa dokumen dan tanda terima uang tetapi tidak bertemu karena Ahmad Fathanah sore itu ditangkap KPK.
Seandainya –quad non- sore atau malam hari tanggal 29 Januari 2013, KPK tidak datang menangkap Ahmad Fathanah di Hotel Le Meredien Jakarta, maka dapat dipastikan bahwa saksi Ilham Ramli dan Felix Radjali akan menerima uang dari Ahmad Fathanah masing-masing untuk Ilham Ramli sebagai pembayaran furniture dan Felix Radjali untuk pembelian mobil Mercedez.
Bahwa dari uang tersebut Ahmad Fathanah mengambil Rp 10 juta dikantongi untuk keperluan sendiri dan Rp 10 juta diberikan kepada Maharani Suciono.
Ahmad Fathanah tidak membawa uang Rp 1.000.000.000.- (satu milyar rupiah) itu ke dalam Hotel Le Meredien tetapi meninggalkannya dimobil dengan mengatakan kepada sopirnya saksi Sahrudin melalui telepon: “jaga mobil jangan jauh-jauh karena ada daging busuk”, hal mana sesuai dengan  pemutaran rekaman pembicaraan telepon antara Ahmad Fathanah dengan supirnya saksi Sahrudin di persidangan tanggal 7 Nopember 2013. Pemutaran hasil penyadapan telepon Ahmad Fathanah dengan sopirnya Sahrudin dilakukan atas permintaan terdakwa dan Penasehat hukum karena terjadi perbedaan ketika mendengar keterangan saksi Sahrudin tentang apakah Ahmad Fathanah mengatakan : “ada daging busuk” atau “ada daging milik ustad Luthfi”.

Ternyata kata-kata yang ada dalam hasil rekaman penyadapan yang diputar di persidangan tanggal 7 Nopember 2013, Ahmad Fathanah mengatakan kepada saksi Sahrudin : “jangan jauh karena disitu ada daging busuk”, bukan mengatakan “jangan jauh-jauh karena ada dagingnya ustad Luthfi” sebagaimana keterangan Sahrudin yang tetap dimuat Surat Tuntutan halaman 936 yang menyebutkan Ahmad Fathanah mengatakan kepada sopirnya dengan kata-kata:“jangan jauh-jauh karena ada dagingnya ustad Lutfhi”. Jika hasil rekaman penyadapan tidak diperdengarkan di persidangan maka akan timbul kesan bahwa uang sejumlah Rp. 1 millar itu memang ditujukan kepada Terdakwa LHI dan hal itu merupakan fitnah terhadap Terdakwa LHI.
Atas adanya fakta-fakta diatas maka analisis kami adalah tidak terbantahkan bahwa mengenai uang yang diterima Ahmad Fathanah dari PT Indoguna Utama sejumlah Rp. 1.300.000.000.- melalui dua kali penerimaan yaitu pertama tanggal 13 Januari 2013 sebesar Rp. 300.000.000.- dan kedua tanggal 29 Januari 2013 sebesar Rp. 1.000.000.000.- tidak ditujukan kepada Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq. Terdakwa Luthfi Hasan ishaaq tidak pernah meminta, tidak pernah menyuruh dan bahkan tidak mengetahui sama sekali perbuatan Ahmad Fathanah meminta uang kepada Maria Elisabeth Liman, hal tersebut semata-mata atas kemauan Ahmad Fathanah sendiri.
Dengan kata lain,  Ahmad Fathanah telah berhasil menipu Maria Elizabeth Liman untuk menyerahkan uang Rp 1,3 Milyar kepadanya, untuk kepentingan dan keuntungan Ahmad Fathanah sendiri. Keberhasilan Ahmad Fathanah menipu Maria Elizabeth Liman karena Ahmad Fathanah telah menggunakan serangkaian kata–kata bohong seolah untuk kepentingan PKS atau untuk kepentingan Terdakwa LHI sehingga Maria Elizabeth tergerak untuk memberikan uang kepada Ahmad Fathanah.
A.2 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Maria Elizabeth Liman mempunyai maksud supaya Terdakwa LHI membantunya untuk mendapatkan surat rekomendasi dari Kementerian Pertanian yang berisi persetujuan atas permohonan penambahan kuota impor daging sapi sebanyak 10.000 (sepuluh ribu) ton yang diajukan oleh PT Indoguna Utama dan anak perusahaannya.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA

(1)  Bahwa Elizabeth Liman selaku Direktur Utama  PT Indoguna Utama pernah mengajukan permohonan penambahan kuota impor daging sebanyak dua kali yaitu pada tanggal 8 Nopember 2012 sebanyak 500 ton dan tanggal 26 Nopember 2012 sebanyak 5150 ton untuk semester tahun 2012, tetapi kedua permohonan tersebut ditolak karena sudah tidak ada penambahan kuota. Pada saat itu Terdakwa LHI belum kenal dengan Maria Elizabeth Liman sehingga Terdakwa LHI tidak mengetahui mengenai kedua permohonan penambahan kuota impor tersebut.
(2)  Bahwa Maria Elizabeth Liman diperkenalkan kepada Ahmad Fathanah oleh Elda Devianne Adiningrat sekitar Desember 2012 untuk membantu mengurus permohonan penambahan kuota impor daging bagi PT. Indoguna Utama, kemudian melalui perkenalan itu Ahmad Fathanah memperkenalkan Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat dengan Terdakwa LHI.
Atas dua kejadian ini dapat dibenarkan bahwa memang Maria Elizabeth Liman mempunyai maksud untuk memperoleh bantuan dari Terdakwa LHI, namun demikian tidak pernah terbukti di persidangan bahwa Terdakwa LHI bersedia membantu Maria dengan maksudnya itu.
A.3 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Terdakwa LHI menerima janji dari Maria Elizabeth Liman bahwa Maria akan memberikan komisi/fee sebesar Rp.5.000,- per kilogram jika Terdakwa LHI dapat mempengaruhi Menteri Pertanian Suswono menyetujui rekomendasi penambahan kuota sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton sehingga total uang yang dijanjikan Maria kepada Terdakwa LHI adalah sejumlah Rp.40.000.000.000 (empat puluh Milyar).
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA

Bahwa dengan mencermati  saksi-saksi;  Maria Elizabeth Liman, Arya Abdi Effendy, Juard Abdi Effendy, Pudji Rahayu Aminingrum, Debby Irawati, Fanny, Hilda, Deni Adiningrat, Jerry Roger, Ahmad Fathonah, Ahmad Zaki, dan keterangan LHI (Terdakwa) di persidangan, membuktikan adanya bukti hukum sebagai berikut :
Tentang Pertemuan-Pertemuan.

(1) Bahwa memang  ada pertemuan pada tanggal 28 Desember 2012 bertempat di restoran Angus Steak House Chase Plaza Jakarta, dimana dalam pertemuan tersebut kedatangan Terdakwa LHI terlambat, dan pada saat Terdakwa LHI datang sudah ada saksi  Maria Elizabeth Liman, Elda Devianne Adiningrat dan Ahmad Fathanah, yang dalam pertemuan tersebut Terdakwa diperkenalkan  kepada Elda Devianne Adiningrat dan Maria Elizabet Liman, dan Terdakwa LHI tidak mengetahui apa yang dibicarakan  sebelum kedatangannya dalam pertemuan tersebut. Kedatangan Terdakwa LHI di pertemuan tersebut mendengarkan presentasi yang disampaikan  oleh  Maria Elizabeth Liman tentang adanya kelangkaan daging, tingginya harga daging, diketemukannya dipasaran  pencampuran dengan daging celeng dan tikus. Bahwa tidak ada kesaksian Maria Elizabeth Liman dan Ahmad Fathanah serta Elda Devianne Adiningrat di persidangan yang menyatakan “ada permintaan kepada Terdakwa LHI untuk membantu pengurusan penerbitan rekomendasi dari kementerian pertanian untuk menambah kuota import daging sapi sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton yang diajukan PT. Indoguna beserta 4 (4) anak perusahaannya”.

(2) Didalam pertemuan yang dihadiri oleh Terdakwa LHI, menurut keterangan Elda Devianne Adiningrat, Terdakwa LHI hanya diam saja, hanya mendengarkan dan Terdakwa LHI tidak mempunyai peranan dalam penambahan kuota. Demikian juga berdasarkan keterangan saksi Maria Elizabeth Liman, dalam pertemuan itu Terdakwa LHI tidak begitu fokus mengikuti pembicaraan, karena sibuk menelpon. Didalam pertemuan-pertemuan sebelumnya antara Maria Elizabeth Liman dengan Elda dan  Ahmad Fathanah, tidak pernah menyebut-nyebut Terdakwa. Maria Elizabeth Liman, bahkan tidak tahu menahu tentang adanya permohonan penambahan quota yang 8000 ton.
(3) Bahwa dalam persidangan didapatkan fakta hukum, telah terjadi  pertemuan pada tanggal 05 Oktober 2012 bertempat di hotel Grand Hyatt Jakarta Pusat antara Maria Elizabeth Liman dengan Elda Devianne Adiningrat, dan pertemuan dalam bulan Nopember 2012 di restoran Angus Steak Hous Senayan City, Jakarta Selatan antara Elda Devianne Adiningrat, Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah, dan ada pertemuan lagi pada tanggal 30  Nopember 2012 antara  Ahmad Fathonah, Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat di Chase Plaza Jakarta Selatan. Bahwa berdasarkan fakta hukum juga, bahwa serangkaian pertemuan-pertemuan tersebut  tidak diketahui dan tidak dihadiri oleh Terdakwa. Dan kalaulah betul dalam pertemuan tersebut membicarakan tentang  rencana meminta bantuan Terdakwa LHI untuk dapat memperoleh izin rekomendasi  tambahan kuota impor daging, maka yang harus bertanggung jawab adalah mereka-mereka yang membicarakannya, tidak diminta pertanggungan jawab kepada Terdakwa LHI, yang pada saat itu Terdakwa LHI belum kenal dengan mereka.
(3) Bahwa dalam persidangan diketemukan fakta bahwa pada tanggal 30 Desember 2012 terjadi pertemuan  antara  Ahmad Fathanah, Maria Elizabeth Liman dan Elda Devianne Adiningrat di Private Room Lantai IV restoran Angus Steak House Senayan City, namun dalam fakta dipersidangan ini juga, Terdakwa tidak mengetahui dan juga tidak menghadiri pertemuan tersebut, sehingga tidak mengetahui apa  yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut.
(4) Fakta dalam persidangan, telah terjadi pertemuan  di kamar 9006 hotel Aryaduta Medan pada jam 06.00 wib antara Terdakwa LHI, Suswono, Maria Elizabeth Liman dan Soewarso. Pertemuan tersebut di fasilitasi oleh Terdakwa LHI, namun berdasarkan fakta di persidangan melalui kesaksian Soewarso, Suswono, Maria Elizabeth Liman  dan Ahmad Fathonah serta keterangan Terdakwa LHI yang menyatakan telah terjadi ketegangan antara menteri Suswono dengan Maria Elizabeth Liman terkait dengan dengan adanya perbedaan antara data yang disampaikan Maria Elizabeth Liman sebagai pendiri Aspidi dengan data yang dimiliki Kemententerian Pertanian. Menurut keterangan Suswono, data yang ada di kementerian Pertanian  sudah dilakukan validasi dan analisis melalui pendekatan ilmiah dari pakar-pakar dari perguruan tinggi seperti IPB, yang tidak mungkin disalahkan dengan data yang disampaikan oleh Maria Elizabeth Liman. Dalam pertemuan tersebut Suswono melontarkan ide agar data yang disampaikan oleh Maria Elizabeth Liman agar di uji publik  melalui seminar untuk menguji validitasnya.
(5) Bahwa dalam pertemuan tersebut, Maria Elizabeth Liman  menyampaikan telah terjadi jual-beli izin import daging di lapangan, sehingga banyak perusahaan yang memiliki izin import dialihkan (dijual) kepada perusahaan lain yang memang importir. Terhadap informasi itu, Suswono yang sudah lama mendapatkan informasi yang serupa, namun belum ada yang melapor pada dirinya sebagai  menteri pertanian, sehingga adanya informasi dari Maria Elizabeth Liman tersebut di jadikan momentum untuk memperoleh data perusahaan yang terlibat dalam praktek jual beli izin kouta impor daging. Dan dalam pertemuan itu, Maria Elizabeth Liman  menyanggupi untuk memberikan data itu, dan Suswono minta kepada Warso agar data tersebut  bisa diambil dari Elizabeth Liman.
(6) Tidak ada bukti hukum, bahwa dalam pertemuan di kamar 9006 di hotel Aryaduta Medan membicarakan tentang rekomendasi izin penambahan kouta import daging, apalagi janji-janji untuk meloloskan permohonan rekomendasi  penambahan kouta impor daging.
(7) Didalam pertemuan di kamar 9006 di hotel Aryaduta Medan itu, Terdakwa LHI lebih banyak diam dan hanya menengahi perdebatan antara saksi Elizabeth Liman dan Menteri Pertanian Suswono. Pertemuan hanya berlangsung sekitar 15 menit dan tidak ada tindakan yang dilakukan Terdakwa LHI setelah itu untuk mendapatkan rekomendasi penambahan kuota impor daging sapi terhadap Menteri Pertanian Suswono.
(8) Bahwa  menurut  fakta hukum, pada tanggal 11 Januari 2013 jam 19.00 wib di restoran Angus Steak Hous Senayan City Jakarta Selatan telah terjadi pertemuan antara Maria Elizabeth Liman, Elda Devianne Adiningrat, Juard Effendi dan Arya Abdi Effendi dan Suharyono selaku Kepala Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Kementerian Pertanian.
(9) Bahwa pada tanggal 28 Januari 2013 telah terjadi pertemuan di restoran Angus Steak House Senayan City Jakarta Selatan antara  Ahmad Fathanah, Maria Elizabeth Liman, Arya Abdi Effendi.
(10)Bahwa dalam pertemuan-pertemuan tersebut, baik pada tanggal 11 Januari 2013 maupun pada tanggal 28 Januari 2013, tidak ada  keterlibatan, kehadiran dan sepengetahuan Terdakwa. Apabila Ahmad Fathanah menyebut-nyebut nama Terdakwa, semata-mata secara sepihak utuk kepentingan dirinya untuk mengelabui  Maria Elibeth Liman dengan cara menjual nama Terdakwa. Hal ini telah diakui oleh saksi Ahmad Fathanah didalam persidangan.
Tentang Menerima Janji  Empat Puluh Milyar Rupiah.
(11)Mari kita lihat, apakah betul Terdakwa terbukti secara sah telah menerima janji sebesar Rp.40.000.000.000,- (Empat Puluh Milyar) dari Maria Elizabeth Liman, dengan merujuk pada bukti-bukti sbb :
(a)   Fakta hukum tentang pembicaraan permohonan penambahan kuota pada pertemuan di restoran Angus Steak House di Chase Plaza, Jakarta Selatan tertanggal 30 Nopember 2013 antara Maria Elizabeth Liman dengan Elda Devianne Adiningrat, menurut Maria Elizabeth Liman dalam persidangan dikatakan tidak pernah ada.
(b)   Betul, Juard Effendi pada tanggal 18 Desember 1912 selaku Direktur General Affair and HRD PT. Indoguna pernah mengajukan permohonan rekomendasi penambahan kuota kepada Kementerian Pertanian sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton atas nama PT. Indoguna dan 4 (empat) anak perusahaan PT. Indoguna, yaitu PT. Sinar Terang Utama, PT. Nuansa Guna Utama, CV. Cahaya Karya Indah dan CV. Surya Cemerlang,  namun menurut Juan Effendi dalam persidangan menyatakan, permohonan tersebut tidak terdaftar secara online di PPVT, sehingga secara resmi belum sampai kepada pejabat yang berwenang untuk memutuskan menerima atau menolak terhadap surat tersebut.
(c)    Bahwa menurut keterangan Syukur Irwantoro (Dirjen Peternakan) dalam persidangan mengatakan tidak pernah ada surat permohonan penambahan kuota impor daging yang sebanyak 8.000 (delapan ribu) ton dari PT. Indoguna Utama dan anak-anak perusahaannya.
(d)   Bahwa telah terjadi percakapan antara saksi Maria Elizabeth Liman dan Elda Adiningrat, yang percakapan tersebut membicarakan tentang praktek-praktek dan kebiasaan-kebiasaan fee yang diperoleh. Elda meminta fee sebesar Rp.3.000 (tiga ribu rupiah) kalau pengurusan rekomendasi penambahan kouta import itu diperoleh. Namun, saksi Ahmad Fathanah meminta fee Rp. 5000,- (lima ribu rupiah) dan pembicaraan itulah yang akhirnya dijadikan pembicaraan oleh Ahmad Fathanah dengan Terdakwa melalui telpon, yang juga disadap oleh KPK.
(e)   Bahwa dalam pertemuan tanggal 30 Nopember 2012, tanggal 28 Desember 2012, tanggal 30 Desember 2012, 11 Januari 2013, 20 Januari 2013 dan tanggal 28 Januari 2013 yang kesemuanya dihadiri oleh Maria Ellizabeth Liman tidak pernah terungkap adanya janji darinya tentang akan memberikan uang sebesar Rp.40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah), dan hal itu diungkapkan oleh saksi Maria Elizabeth, Elda Devianne Adiningrat dan Ahmad Fathanah dalam persidangan.
(f)    Bahwa telah terjadi percakapan dalam bahasa Arab antara Ahmad Fathanah dengan Terdakwa, tentang fee yang Rp.5000,- (lima Rupiah) per kg dikalikan 8.000 (delapan ribu) ton, dengan tambahan ungkapan dari Terdakwa “sekalian 10.000 (sepuluh ribu) ton saja biar menjadi 50 milyar, yang menurut keterangan Terdakwa LHI di persidangan, ungkapan penambahan menjadi 10.000 ton itu semata-mata agar Ahmad Fathanah berhenti bicara perhitungan fee dan semacamnya.
(g) Bahwa setelah percakapan antara Terdakwa dengan Ahmad Fathonah tersebut Terdakwa memanggil saksi Ahmad Rozi, konsultan hukum Elda Adiningrat, agar jangan bicara soal fee lagi kalau berkomunikasi dengan Ahmad Fathanah, dan tidak perlu percaya dari apa yang diomongkan Ahmad Fathanah dan atas pesan tersebut diakui oleh saksi Ahmad Rozi dalam  kesaksiannya di persidangan.
(h)   Menurut keterangan Menteri Pertanian Suswono, Syukur Irwantoro (Dirjen Peternakan), Soewarso dan Baran dalam persidangan tidak pernah ada lobby dari Terdakwa LHI dalam upaya untuk menambah kota impor daging sapi. Fathonah pernah datang ke ruang Syukur Dirjen  Peternakan Kementerian Pertanian dan membawa berkas-berkas permohonan, dengan menyebut nama Terdakwa LHI, tetapi Syukur tidak pernah mengkonfirmasi kepada Terdakwa LHI, disamping Syukur tidak kenal dengan Terdakwa LHI.
(i)    Bahwa atas pernyampaian Ahmad Fathanah, Syukur Irwantoro (Dirjen Peternakan) mengatakan, agar sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang ada. Disamping itu Syukur masih teringat pesan Menteri Pertanian, Suswono  kepada  jajarannya dalam setiap rapat koordinasi antara eselon dua dan eselon satu, “kalau ada dari orang yang mengaku-ngaku dari partai politik termasuk dari PKS mau berbisnis (menjadi rekanan ) agar diperlakukan yang sama dengan rekanan yang lain, dan harus sesuai dengan peraturan yang ada”, dan oleh karena itu kedatangan Ahmad Fathanah tidak menjadi atensi saksi Syukur selaku Dirjen Peternakan.
(12) Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut, terhadap dialog dalam bahasa arab antara Fathanah dengan Terdakwa LHI tidak bisa dianggap sebagai komitmen, karena tidak ada upaya atau indikasi-indikasi yang mengarah pada imbalan prestasi atas komitmen antara pemberi janji dengan penerima janji, dan hal ini didukung keterangan ahli yang disampaikan oleh ahli Dr. Mudzakir dalam persidangan di bawah sumpah.
(13) Bahwa telah menjadi bukti hukum, sejak tahun 2011 telah terjadi perubahan kebijakan, regulasi dalam pemberian izin, yaitu dari kementerian Pertanian berubah menjadi kewenangan antara kementerian (perdagangan, industry dan pertanian) yang dikoordinir oleh Menko Ekuin, sehingga jika harus melakukan lobby maka harus dilakukan di tiga kementerian aquo dan Menko Ekuin.
(14) Berdasarkan bukti-bukti hukum di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa pembicaraan tentang fee Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) per kg kali 8.000 ton hanya merupakan perbicaraan antara Elda Devianne Adiningrat dengan Ahmad Fathanah (kedua-duanya dalam kasus ini sebagai makelar) yang diteruskan untuk dikomunikasikan kepada Terdakwa LHI, namun Terdakwa LHI tidak pernah melakukan perbuatan atau tindakan yang mengarah pada indikasi memperjuangkan untuk adanya rekomendasi penambahan kuota impor daging dari Kementerian Pertanian  dan kementerian lainnya.
Terdakwa LHI Bukan Inisiator.
(15) Bahwa dalam persidangan diperoleh bukti hukum, tentang ide adanya penambahan kuota impor daging sebanyak 8.000 ton disampaikan oleh Elda Adiningrat kepada Ahmad Fathanah pada waktu bertemu di kantin Kementerian Pertanian, yang sumbernya berasal dari Menko Kesra, dan utuk itu Elda menyampaikan juga kepada Ahmad Fathanah bahwa dirinya sedang mencari pengusaha yang sanggup melaksanakan penambahan kuota impor tersebut.
(16) Bahwa pada tanggal 5 oktober 2012 bertempat di Grand Hyatt Jakarta Pusat Elda mengadakan pertemuan dengan Maria Elizabeth Liman, dimana dalam pertemuan tersebut Elda Devianne Adiningrat memberitahukan juga kepada Maria Elizabeth Liman selaku orang Aspidi dan juga selaku Direktur Utama PT. Indoguna Utama yang usahanya dibidang impor daging. Dan dalam pertemuan tersebut Elda Adiningrat mau memperkenalkan Maria Elizabeth Liman  kepada Ahmad Fathanah.
(17) Sekitar bulan Nopember 2012 diperoleh fakta hukum telah terjadi pertemuan di Angus Steak House Senayan City Jakarta Selatan, antara Elda Adiningrat, Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah, yang menurut keterangan Maria Elizabeth dalam persidangan, dirinya hanya ingin mengkonfirmasi  adanya informasi dari Elda Adiningra tentang adanya Penambahan impor daging sebanyak 8.000 (delapan ribu)  pada semester II tahun 2012. Maria Elibeth perlu melakukan konfirmasi, karena sepengetahuan Maria Elizabeth Liman berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas)  yang dikoordinir Menko Ekuin, kuota impor daging sapi sudah habis dibagi kepada perusahaan importir daging dan tidak memperoleh informasi dari pihak lain selain dari Elda Devianne Adiningrat tentang adanya penambahan kuota impor daging.
(18) Pada bulan bulan Nopember 2012 diperoleh fakta hukum adanya penolakan dari Kementerian Pertanian terhadap permohonan rekomendasi penambahan kuota impor daging sebanyak 500 (lima ratus) ton dari PT. Indoguna Utama, untuk semester II tahun 2012, dengan alasan permohonan tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor : 50/Permentan.0T.140/9/2011 tentang Rekomendasi Persetujuan Pemasukan Karkas, Daging, Jeroan, dan/atau olahannya ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
(19) Bahwa atas peran Ahmad Fathanah dan Elda Adiningrat, PT. Indoguna Utama bersama PT. Sinar Terang Utama, CV. Cahaya Karya Indah dan CV. Surya Cemerlang Abadi pada tanggal 27 November 2012 mengajukan kembali permohonan rekomendasi penambahan kuota impor daging  kepada Kementerian Pertanian sebanyak 5.150 (lima ribu seratus lima puluh ton), dan atas permohonan tersebut oleh Kementerian Pertanian juga ditolak, dengan alasan yang sama dengan alasan sebelumnya.
(20) Bahwa berdasarkan fakta hukum telah terjadi pertemuan pada tanggal 30 Nopember 2012 bertempat di restoran Angus Steak House di Chase Plaza Jakarta Selatan antara Ahmad Fathonah, Elda Devianne Adiningrat dan Maria Elizabeth Liman yang membicarakan tentang penolakan atas permohonan-permohonan sebelumnya.
(21) Diperoleh fakta hukum dalam persidangan, bahwa pada tanggal 18 Desember 2012 ada surat permohonan penambahan kuota impor daging oleh PT. Indoguna bersama 4 (empat) anak perusahaannya yang diajukan kepada Kementerian Pertanian, namun menurut keterangan Juard Effendi yang bersesuaian dengan keterangan Suharyono (Kepala PPVTPP) yang membawahi perizinan dan Syukur Irwantoro (Dirjen Peternakan) surat yang dimaksud tidak masuk dalam system online PPVTPP, karena menyalahi prosedur sebagaimana yang diatur dalam Permentan RI Nomor 50/Permentan/0T.140/9/2011, sehingga permohonan tersebut tidak sampai kepada pihak-pihak yang berwenang di Kementerian Pertanian.
(22) Bahwa Terdakwa LHI baru ikut dalam pertemuan pada tanggal 28 Desember 2012 di restoran Angus Steak House Chase Plaza Jakarta Selatan, yang dihadiri oleh Ahmad Fathanah, Maria Elizabeth, Elda Adiningrat dan Terdakwa sendiri. Bahwa dalam pertemuan tersebut Terdakwa LHI datang terlambat, dan hanya berkenalan dan membicarakan isu yang berkembang yang ada di luaran tentang harga daging yang tidak terkendali, ada daging sapi yang dicampur daging celeng dan tikus, adapun apa yang dibicarakan sebelum Terdakwa LHI datang, Terdakwa LHI tidak mengetahui.
A.4 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
ELDA Adiningrat menyatakan akan memperkenalkan Maria Elizabeth Liman dengan Ahmad Fathanah yang merupakan orang kepercayaan Terdakwa LHI yang dapat membantu PT Indoguna Utama.
               
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
Tentang Kedekatan Ahmad Fathanah dengan Terdakwa LHI.
(1)   Bahwa kami perlu memberikan penjelasan terkait dengan hubungan antara Ahmad Fathanah dengan Terdakwa yang telah digambarkan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum sedemikian dekat tanpa reserve, sehingga seolah-olah ingin memberikan pandangan telah terjadi persekongkolan yang dilakukan oleh keduanya dengan memanfaatkan jabatan Terdakwa sebagai anggota DPR RI periode tahun 2009 sampai dengan tahun 2014.
(2)   Sebagaimana telah diuraikan dalam Surat Dakwaan Sdr. Jaksa Penuntut Umum, “ Terdakwa sejak pertengahan tahun 1985 telah mengenal dan bersahabat dengan Ahmad Fathonah ketika sama-sama belajar di Saudi Arabia, setelah kembali ke Indonesia pada sekitar awal tahun 2004 Terdakwa dan Ahmad Fathonah mendirikan PT. Atlas Jaringan Satu (PT. AJS) yang bergerak di bidang komunikasi yang mana Terdakwa sebagai Komisaris dan Ahmad Fathonah sebagai Direktur, namun pada awal tahun 2005 perusahaan tersebut tidak efektif lagi karena Ahmad Fathonah dipidana atas tindak pidana penipuan terkait perjanjian bisnis antara PT. AJS dengan PT. Osami Multimedia  dan pada sekitar tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 Ahmad Fathonah juga pernah dihukum di luar negeri terkait perkara penyelundupan orang. Terdakwa sejak sekitar tahun 2011 sering didampingi oleh Ahmad Fathonah dalam berbagai kegiatan sehingga Ahmad Fathonah dikenal sebagai orang kepercayaan Terdakwa yang dapat menjadi penghubung dalam mengusahakan perusahaan-perusahaan untuk memperoleh proyek pemerintah antara lain proyek-proyek di Kementrian Pertanian. “
Bahwa uraian kedekatan Terdakwa LHI dengan Ahmad Fathanah sebagaimana digambarkan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum adalah sama sekali tidak benar dan amat mengada-ada hanya demi memenuhi target dakwaannya saja. Terdakwa LHI tidak pernah menjadi penghubung dalam mengusahakan perusahaan-perusahaan untuk memperoleh proyek pemerintah. Demikian juga proyek-proyek di Kementerian Pertanian sebagaimana dituduhkan Sdr. Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa Terdakwa LHI memang sesekali menjalin komunikasi dengan Ahmad Fathanah, hal ini tidak lain adalah semata-mata karena adanya hubungan hutang piutang. Ahmad Fathanah memiliki kewajiban hutang kepada Terdakwa yang masih belum dilunasi sebesar Rp. 2.975.000.000,00 (dua milyar sembilan ratus tujuh puluh lima juta) pada tahun 2005. Sebagai bukti bahwa hubungan antara Terdakwa LHI dengan Ahmad Fathanah tidak sebagaimana yang digambarkan oleh Sdr. Jaksa Penuntut Umum, Terdakwa LHI pernah mengadukan tindak pidana terhadap Ahmad Fathanah karena telah memalsu tanda tangan Terdakwa LHI. Selain itu, Terdakwa LHI juga pernah menggugat wanprestasi Ahmad Fathanah karena tidak membayar hutang. Ini semua membuktikan bahwa ada ketidakpercayaan (distrust) dari Terdakwa LHI kepada Fathanah yang tidak dapat mendukung adanya duguaan bahwa mereka dapat bekerja sama.
(3) Boleh jadi Majelis Hakim maupun Sdr JPU berpendapat bahwa alasan hutang ini adalah alasan klasik yang selalu ada pada perkara-perkara TIPIKOR, namun kami ingin meneguhkan pada persidangan ini bahwa hutang-hutang piutang ini sungguh-sungguh ada yang kenyataannya telah dibuktikan di persidangan ini. Bahwa Ahmad Fathonah memiliki kewajiban hutang sebesar Rp. 2.975.000.000,00 telah diungkapkan oleh saksi Ahmad Rozy, Ahmad Fathanah dan Terdakwa LHI sendiri. Untuk memperkuat pembuktian melalui saksi Kami juga melampirkan bukti surat berupa bukti Akta Perdamaian (dading) dalam Nota Pembelaan ini, yang membuktikan adanya hubungan hutang piutang antara Ahmad Fathanah dengan Terdakwa LHI.
(4) Bahwa Terdakwa LHI  tetap menjalin komunikasi dengan Ahmad Fathonah  karena pertimbangan ;
1.    Pernah dipesan oleh orang tua Ahmad Fathanah agar menjaga anaknya tersebut
2.    Dengan tetap berkomunikasi, Terdakwa mengetahui apakah Ahmad Fathanah punya uang atau tidak, jika punya maka akan ditagih oleh Terdakwa.
(5)   Berdasarkan keterangan saksi Ahmad Rozy dan saksi Elda Devianne Adiningrat dan keterangan Ahmad Fathanah sendiri di persidangan, diketahui, bahwa Ahmad Fathanah suka mencatut nama Terdakwa untuk kepentingan pribadinya. Bahkan, saksi Ahmad Rozy pernah diminta oleh Terdakwa agar menasihati Ahmad Fathanah tentang perilakunya dan agar mengecek kepada Sdr. Elda karena Sdr. Ahmad Fathanah suka mencatut nama Terdakwa.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka tuduhan Sdr. Jaksa Penuntut Umum, bahwa Ahmad Fathanah sebagai orang kepercayaan dan selalu menjadi penghubung dalam mengusahakan perusahaan-perusahaan untuk memperoleh proyek pemerintah adalah sama sekali tidak benar.
A.5 Elemen Perbuatan yang didakwakan:
Terdakwa LHI bersama Ahmad Fatonah, Soewarso, dan Maria Elizabeth Liman dan Elda Adiningrat pada tanggal 10 Januari 2013 berangkat ke Medan dengan menggunakan pesawat yang sama dalam rangka untuk diatur agar bisa bertemu dengan Menteri Pertanian Suswono di kamar 9006 Hotel Aryaduta, Medan. Pada tanggal 11 Januari 2013, sekira pukul 06.00 WIB bertempat 9006 Hotel Aryaduta, Medan, Terdakwa LHI berhasil mempertemukan Maria Elizabeth Liman dengan Menteri Pertanian Suswono yang didampingi Soewarso.
FAKTA PERSIDANGAN dan ANALISIS FAKTA
(1)   Memang benar bahwa pada tanggal 11 Januari 2013 di hotel Aryaduta, Medan Terdakwa memfasilitasi pertemuan yang dihadiri oleh Maria Elibeth Liman, Ahmad Fathanah, Soewarso dan Suswono, namun perlu menjadi perhatian persidangan ini bahwa dalam pertemuan itu terjadi ketegangan antara Maria Elizabeth Liman dengan Menteri Suswono, karena adanya perbedaan data antara yang diberikan Maria Elizabeth Liman dengan yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian.
(2)   Bahwa keberangkatan Terdakwa LHI ke Medan pada dasarnya adalah dalam rangka Safari Dakwah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan dalam kesempatan itu, Terdakwa LHI memanfaatkannya untuk memfasilitasi pertemuan antara Menteri Pertanian Suswono selaku anggota Majelis Syuro PKS dengan Maria Elizabeth Liman yang telah mengadu kepada Terdakwa LHI selaku Presiden PKS mengenai permasalahan kelangkaan daging sapi dan beredarnya campuran daging celeng dengan daging sapi serta daging tikus. Pertemuan aquo hanya berlangsung sekitar 15 (lima belas menit) dan Terdakwa LHI  hanya mendengarkan dan menengahi perdebatan antara Menteri Pertanian Suswono dan Maria Elizabeth Liman. Setelah pertemuan tersebut, tidak pernah ada lagi pertemuan antara Maria Elizabeth Liman, Elda maupun Ahmad Fathanah yang melibatkan Terdakwa LHI.
(4)   Berdasarkan fakta – fakta hukum di atas, telah terjadi pertemuan-pertemuan untuk merencanakan upaya mendapatkan surat rekomendasi penambahan kuota impor daging yang dilakukan oleh Elda Devianne Adiningrat, Ahmad Fatonah dimana kedua-duanya memposisikan dirinya sebagai perantara (makelar) dengan Maria Elizabeth selaku importir, tanpa sepengetahuan dan keterlibatan Terdakwa LHI. Jika dalam pertemuan-pertemuannya sebelumnya, anggaplah saudara Ahmad Fathanah menyebut-nyebut atau membawa-bawa nama Terdakwa LHI, tentunya diluar tanggung jawab Terdakwa LHI, karena serangkaian pertemuan yang tampa dihadiri oleh Terdakwa LHI tersebut tidak pernah diberitahukan oleh Ahmad Fathanah dan tidak pernah dikonfirmasi oleh Elda Devianne Adiningrat dan maupun oleh Maria Elizabeth Liman. Sungguh teramat dzolim jika hanya dengan keterlibatan 2 kali pertemuan, yaitu padal tanggal 28 Desember 2012 di Jakarta dan tanggal 11 Januari 2013 di Medan yang materi pembicaraannya  berdasarkan fakta hukum tidak ada keterkaitannya dengan janji-janji sebagaimana yang dituduhkan oleh Penuntut Umum  KPK, harus di tuntut dengan tuntutan penjara 10 tahun. Kalaulah betul ada pembicaraan tetang Rp.5000,- per kg ternyata itu semata-mata kreasi dari Elda Devianne Adiningrat dengan Ahmad Fathanah, yang selanjutnya disampaikan oleh Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI, tentunya tidak bisa diartikan sebagai persetujuan atas janji-janji, karena tidak ada bukti hukum yang disampaikan oleh Maria Elizabeth kepada Ahmad Fathanah maupun Elda, dan tidak ada indikator-indikator yang mengarah pada perbuatan Terdakwa LHI untuk me-lobby orang-orang dalam kementerian Pertanian, termasuk Menteri Pertanian
                          II. DAKWAAN TPPU
                 
1.    A. Adanya transferan ke rekening BCA No. 2721400991 milik Terdakwa LHI Cabang Gudang Peluru, sebagai berikut;
1.   Mengenai Transferan tanggal 6 September 2006 sebesar Rp.69.000.000,- (enam puluh sembilan juta rupiah) dari Azhar ML.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan M. Azhar Muslim dipersidangan pada hari Senin tanggal 18 November 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa uang yang ia transfer kepada Terdakwa LHI adalah untuk biaya umroh dirinya dan 5 orang temannya yang lain.
Bahwa sejak Tahun 2004 Saksi bersama 5 orang teman lainnya sebagai Pengurus PKS Kota Malang berniat melaksanakan Umroh. Namun karena berbagai kesibukan, akhirnya baru pada tahun 2006 direncanakan secara matang. Itu merupakan Umroh pertama kali bagi Saksi dan Pengurus PKS Kota Malang, sehingga belum punya referensi dan pengalaman soal Umroh. Pada saat itu yang dikenal dan dekat dengan Saksi dan anggota lainnya adalah Terdakwa LHI sebagai tempat kosnsultasi sekaligus dicarikan jalan keluar agar umroh dapat terlaksana dengan biaya yang murah dan terjangkau. Atas permintaan Saksi dan Pengurus PKS Kota Malang, Terdakwa LHI menyanggupi untuk membantu perjalanan Umroh Saksi dan teman-temannya dan meminta agar berangkat dari Jakarta saja yang lebih mudah. Sehingga transferlah uang sejumlah Rp. 69.000.000,- (enam puluh sembilan juta rupiah) ke Rekening BCA No. 00553494541 atas nama Terdakwa LHI. Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa uang yang dikirim Saksi M. Azhar Muslim bukanlah berasal dari Kejahatan.
2. Bahwa adapun pihak-pihak lain yang melakukan  transfer ke Rekening Terdakwa LHI, seperti Emma Siamulati pada tanggal 10 Januari 2005 sebesar Rp. 351.505.000,- (tiga ratus lima puluh satu juta lima ratus lima ribu rupiah) adalah transaksi biasa, pinjam meminjam antara Terdakwa dengan Sdri. Emma terkait bisnis/modal usaha. Namun yang bersangkutan tidak bisa dihadirkan sebagai Saksi a de Charge kepada Terdakwa LHI karena sedang bertugas diluar negeri.
3.  Demikian juga transfer bulan Januari 2006 sebesar Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah) dan bulan Juli 2006 s/d Desember 2006 masing-masing Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) adalah uang selayaknya diterima oleh Terdakwa dari Saudara Ekky Zulkarnain atas modal usaha bersama antara Ekky Zulkarnain dengan Terdakwa. Namun, karena satu dan lain hal Sdr. Ekky Zulkarnain tidak dapat dihadirkan oleh Terdakwa sebagai Saksi a de Charge.
4. Selanjutnya transferan tanggal 29 Agustus 2006 sebesar Rp. 139.856.000,- (seratus tiga puluh sembilan juta delapan ratus lima puluh enam ribu rupiah) juga adalah uang Terdakwa LHI yang dikembalikan dari Rekening: 3791180226 sebagai transaksi dari Terdakwa LHI kepada dirinya sendiri dalam rangka semestinya diterima oleh Terdakwa dan tidak terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana dituduhkan kepada Terdakwa.
1.    B.        Adanya transferan ke rekening BCA No. 0053494541 milik Terdakwa Cabang Gudang Peluru, dari pihak lain sebagai berikut:
5.
2.1.
Tanggal 10 September 2007 sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah), tanggal 11 September 2007 sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), tanggal 17 September 2007 sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah), dan  Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) atau seluruhnya sebesar Rp.70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) dari Ahmad Rozy
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ahmad Rozy di persidangan pada hari Kamis tanggal 7 November 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa uang-uang sebagaimana dakwaan adalah uang-uang terkait dengan hutang-hutang dengan pihak ketiga;
Bahwa Saksi menerangkan masalah transaksi uang dengan Terdakwa LHI biasanya terkait dengan biaya perkara. Tentang adanya transaksi sejumlah Rp. 70.000.000,- (tujuh puluh juta rupiah) itu terkait dengan Terdakwa LHI yang digugat oleh PT. Temprina, dimana Terdakwa LHI sebagai Komisaris PT. Sirat Inti Buana yang bergerak dibidang media percetakan dengan menerbitkan Majalah SAKSI. Ada hutang cetakan sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dari 2 perusahaan. Satu perusahaan Terdakwa memberi uang Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) untuk dinegokan agar tidak sampai sidang di Pengadilan. Dari Rp. 200 juta itu Saksi skenariokan membeli Mobil Xenia, selanjutnya mobil diberikan ke mereka dan Pihak Terdakwa LHI melalui Saksi menyanggupi untuk bayar cicilan dan DP-nya. Sisa DP dan Cicilan mobil itu yang kemudian dikembalikan oleh Saksi kepada Terdakwa LHI. Dengan demikian dapatlah dipastikan bahwa uang yang ditransfer Saksi Ahmad Rozi bukanlah berasal dari hasil kejahatan.
6. Tanggal 19 Desember 2007 sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari Ida Agustiana.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ida Agustiana dipersidangan pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa saksi pernah mentransfer uang sebesar Rp.50.000.000,- pada bulan Desember 2007 (lupa tanggalnya) ke rekening BCA milik Terdakwa LHI. Pengiriman uang tersebut untuk pengembalian hutang mendiang suami saksi kepada Terdakwa LHI.
Bahwa Saksi Ida Agustina melakukan transfer uang uang sejumlah Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sebagai pengembalian hutang almarhum suaminya yang belum selesai dibayarkan kepada Terdakwa LHI. Uang yang ditransfer adalah bentuk tanggung jawab keluarga almarhum suami Saksi atas hutang yang harus dikembalikan kepada Terdakwa LHI. Uang itu bersumber dari almarhum Suami Saksi dan bukan merupakan hasil dan/atau terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana Dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum KPK.
7. Transferan tanggal 26 Desember 2007 sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) sebagai cicilan pokok Mutu Garansi Prima
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Rifandi dipersidangan pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa Mutu Garansi Prima adalah perusahaan milik Saksi pernah mentransfer uang sebesar Rp.100.000.000,- pada bulan Desember 2007 (lupa tanggalnya) ke rekening BCA milik Terdakwa LHI sebagaimana dakwaan, namun uang tersebut untuk pengembalian hutang saksi kepada Terdakwa LHI;
Bahwa Saksi RIFANDI pada bulan Desember tahun 2007 mentransfer uang sejumlah Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) kepada Terdakwa LHI sebagai kewajiban Saksi atas hutang yang pernah diberikan oleh Terdakwa LHI. Uang itu bersumber dari perusahaan Saksi sebagaimana awal peminjaman untuk kebutuhan perusahaan;
Bahwa transaksi antara Saksi dengan Terdakwa LHI murni dalam hubungan kekeluargaan, pinjam meminjam atas kebutuhan Saksi terhadap kebutuhan keuangan perusahaan yang dilakukan terang-terangan karena bukan dari hasil kejahatan.
8. Transferan Tanggal 19 Maret 2008 sebesar Rp.60.000.000,- (enam puluh juta rupiah) dari Achmad Masfuri, berdasarkan keterangan yang disampaikan Achmad Masfuri dipersidangan pada hari Kamis tanggal 7 November 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa dirinya sudah lupa atas transfer yang pernah dia lakukan ke rekening Terdakwa LHI.
9. Adapun untuk pihak-pihak lainnya yang melakukan transfer ke rekening milik Terdakwa LHI diatas, kecuali Saksi Ahmad Zaky yang hadir sebagai Saksi JPU, karena satu dan lain hal tidak berhasil dihadirkan oleh Terdakwa LHI, yaitu mereka:
-     Transferan tanggal 10 Nopember 2004 sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan tanggal 27 Desember 2004 Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dari Muhammad Syahril;
-     Transferan tanggal 11 Nopember 2004 sebesar Rp.250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dari pihak yang tidak diketahui identitasnya;
-     Transferan tanggal 27 Desember 2004 sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dari Ekky Zulkarnaen;
-     Transferan tanggal 31 Juli 2007 sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dari Agoes Korhartono;
-     Transferan tanggal 4 Juli 2008 dan tanggal 7 Juli 2008 masing-masing sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) dari Ahmad Zaky;
-     Transferan tanggal 24 Maret 2008 dan tanggal 27 Maret 2008 masing-masing sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dari Bachtiar Sunasto;
-     Transferan tanggal 6 Maret 2008 sebesar Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dari Silvia Syamsir;
-     Transferan tanggal 19 Februari 2009 sebesar Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dari Ahmad Zaky;
-     Transferan tanggal 2 Maret 2009 sebesar Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dari Abdul Qohar;
-     Transferan tanggal 17 Maret 2009 sebesar Rp.57.485.000,- (lima puluh tujuh juta empat ratus delapan puluh lima ribu rupiah) dari Muwardi Gumulya;
-     Transferan tanggal 17 Maret 2009 sebesar Rp.62.000.000,- (enam puluh dua juta rupiah) dari Murnia Sari;
-     Transferan tanggal 11 Agustus 2009 sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dari Ayub Vredrik Loand;
-     Transferan tanggal 9 September 2009 sebesar Rp.40.700.000,- (empat puluh juta tujuh ratus ribu rupiah) dari H. KEMAS TAUFIK;
-     Transferan tanggal 8 Desember 2009 sebesar Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dari Mahfudz Priyonggo Sumilaks.
Bahwa semua transaksi antara nama-nama tersebut diatas adalah murni dalam hubungan kekeluargaan, pinjam meminjam dan bisnis antara mereka dengan Terdakwa LHI, yang bukan berasal dari Kejahatan.
1.    C.    Menerima Hadiah atau Hibah berupa Pajero Sport Exceed AT 4×4 tahun 2009 warna hitam dari Ahmad Maulana, dengan uraian peristiwanya sebagai berikut:
10. Pada tanggal 21 Desember 2009 Ahmad Maulana menyetorkan uang muka sebesar USD 5000 (lima ribu dollar) atau saat itu setara dengan Rp.40.100.000,- (empat puluh juta seratus ribu rupiah). Selanjutnya pada tanggal 22 Januari 2010 AHMAD MAULANA melunasi sisa pembayarannya dengan melakukan pentransferan uang sebanyak 3 kali ke rekening PT Aneka Putra Santosa, masing-masing sebesar Rp.390.000.000,- (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah), Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) atau seluruhnya berjumlah sebesar Rp.405.000.000,- (empat ratus lima juta rupiah). Setelah dilakukan pelunasan maka mobil Mitsubishi Pajero Sport yang BPKB dan STNKnya dibuat atas nama Terdakwa LHI tersebut diantarkan ke alamat Terdakwa LHI di Jl.A No.11 RT 002/RW001 Kelurahan Cipinang Muara, Kecamatan Jatinagara Jakarta Timur.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Ahmad Maulana dipersidangan pada hari Senin tanggl 28 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa sumber dana untuk pembelian satu unit mobil Pajero Sport Exceed AT 4×4 tahun 2009 warna hitam dari Saksi Ahmad Maulana;
Bahwa Saksi Ahmad Maulana secara sadar membeli dan melakukan pembayaran mobil untuk Terdakwa LHI tidak lebih hanya sebagai wujud amal/shodaqoh seorang murid kepada gurunya. Saksi menerangkan bahwa Terdakwa LHI adalah guru ngajinya yang selayaknya dibantu dengan penuh ikhlas dan semata-mata mengharapkan keberkahan dan pahala dari Allah semata.
D.   Dalam kurun waktu Desember 2010 s/d Januari 2013 Terdakwa LHI menerima hibah atau pemberian berupa uang tunai baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing, properti dan mobil:
11. Perihal dakwaan bahwa pada sekitar akhir tahun 2011 bertempat di Mall Grand Indonesia Jakarta Pusat, tedakwa menerima uang tunai sebesar Rp 250 juta sebagai uang perkenalan dari Yudi Setiawan, yang mana awalnya uang tersebut diserahkan oleh Yudi Setiawan kepada Deni Adiningrat, akan tetapi Deni tidak memberikan langsung kepada Terdakwa LHI melainkan dititipkan melalui Ahmad Fathanah sehingga Yudi meminta agar uang tersebut dikembalikan. Atas permintaan Yudi tersebut Ahmad Fathanah menemui Yudi di Kantor  PT CTA di Jalan Cipaku untuk mengembalikan uang tersebut. Namun Yudi menyuruh Ahmad Fathanah untuk membawa uang tersebut keesokan harinya pada pertemuan di Mall Grand Indonesia Jakarta Pusat, kemudian Ahmad Fathanah menyerahkan uang tersebut kepada Terdakwa LHI di hadapan Yudi;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah dipersidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa saksi Ahmad Fathanah pernah menerima uang sebesar Rp.250.000.000,- dari Yudi Setiawan.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh  Terdakwa LHI  dipersidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 sebagai Terdakwa LHI dibawah sumpah menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang sebesar Rp.250.000.000,- dari Yudi Setiawan.
Bahwa peristiwa tersebut menguatkan keyakinan kita semua bahwa Saksi Ahmad Fathanah selalu menjual nama Terdakwa LHI untuk meminta uang dengan mengatas namakan Terdakwa LHI padahal sebetulnya untuk kepentingan dirinya sendiri. Sebagai terbukti dalam peristiwa diatas tidak pernah ada permintaan dan keinginan dari Terdakwa LHI untuk mendapatkan uang dari Sdr. Yudi Setiawan. Sebagaimana keterangan Terdakwa LHI dalam persidangan yang secara tegas menyatakan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dari Sdr. Yudi Setiawan melalui Sdr. Ahmad Fathanah
12. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 8 Mei 2012 bertempat di Ermenegildo Zegna Plaza Senayan Lt.1 Nomor 131 B Jakarta Selatan, Terdakwa LHI menerima pembayaran atas pesanan jas milik Terdakwa LHI seharga Rp.165 juta yang dilakukan Yudi Setiawan dengan menggunakan uang dollar Singapore sebesar SGD 20,000 (dua puluh dollar Singapore) dan sisanya menggunakan Citibank Credit Card;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah dipersidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa ketika Terdakwa LHI sedang mengukur-ukur, saksi Ahmad Fathanah meminta Yudi Setiawan untuk membayar jas yang dibeli Terdakwa LHI  dan 5 – 6 stel yang dibeli saksi Ahmad Fathanah
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh  Luthfi Hasan Ishaaq dipersidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah tahu sebelumnya kalau Yudi Setiawan yang membayar 2 Jas dan 3 baju lengan pendek dan panjang (bukan 20 jas) sebagaimana keterangan Saksi Yudi Setiawan, karena saat Terdakwa LHI mau membayar di kasir dilarang oleh Ahmad Fathanah. Oleh karena itulah, menurut anggapan Terdakwa LHI pembayaran dari Ahmad Fathanah itu akan dikonversi kedalam hutang-hutangnya.
Bahwa pembelian 2 jas dan 3 baju lengan pendek dan baju lengan panjang oleh Terdakwa LHI tidak pernah meminta untuk dibayarkan oleh Sdr. Yudi Setiawan. Terdakwa LHI memesan 2 Jas dan 3 baju sebagaimana tersebut diatas dengan niat untuk dibayar sendiri, namun Terdakwa LHI juga heran bila pembelian 2 jas dan 3 baju berharga Rp 165 juta. Jika Yudi Setiwan bersaksi bahwa pembayaran Rp 165 juta adalah untuk 20 potong pakaian maka berarti hanya 5 potong yang merupakan pembayaran untuk Terdakwa LHI, selebihnya merupakan pembayaran untuk Ahmad Fathanah yang secara licik meminta Yudi membayarkan untuk Terdakwa LHI padahal sebagain banyak adalah untuk kemanfaatan Ahmad Fathanah.
Dan karenanya adalah TIDAK BENAR bahwa Terdakwa LHI menerima hibah atau pemberian berupa uang tunai baik dalam mata uang rupiah atau mata uang asing, properti dan mobil yang nilainya mencapai Rp.17.830.832.200 (delapan belas miliar tiga ratus depalan puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh dua ribu dua ratus rupiah) serta USD 79, 375 (tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh lima dollar amerika serikta) dan RM 10,000 (sepuluh ribu ringgit malaysia).
13. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 19 Juni 2012 bertempat di rumah makan Arab Alayerajes Jakarta Selatan, Terdakwa LHI menerima pemberian uang dari Yudi Setiawan sebesar Rp 500 juta terkait dengan ijon proyek benih kopi. Sebelumnya Yudi melakukan transfer uang dari Rekening BCA Nomor: 1300366666 ke Rekening Giro BACA Nomor: 1302266667 atas nama CV Aneka Pustaka Ilmu (CV API) dan pada slip pengiriman tertulis Berita: “ustadz ke II kopi”. Kemudian dicairkan dan diserahkan kepada Terdakwa LHI melalui Ahmad Fathanah.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah dipersidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 sebagai saksi dibawah sumpah menerangkan bahwa Saksi Ahmad Fathanah tidak ingat tentang uang yang Rp.500 juta tersebut. Namun, seingat saksi jumlahnya Rp.450 juta bentuk cek dan Saksi cairkan dan berikan kepada Terdakwa LHI sebagai sumbangan dari Yudi Setiawan untuk Pilkada DKI.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Luthfi Hasan Ishaaq dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang Rp.500 juta dari Yudi Setiawan dan tidak pernah tahu rumah makan Arab Alayerajes dan tidak pernah kesana.

Bahwa terhadap pengakuan Saksi Yudi Setiawan kalau Terdakwa menerima uang sebesar Rp. 500 juta dan Rp. 450 juta rupiah dari Saksi Yudi Setiawan melalui Sdr. Ahmad Fathanah adalah diluar pengetahuan Terdakwa LHI. Terdakwa LHI tidak tahu dan tidak pernah datang ke Rumah Makan Arab Alayerajes sebagaimana dimaksud Yudi Setiawan. Sehingga pemberian uang sejumlah yang disebutkan oleh Sdr. Yudi Setyawan melalui Sdr. Ahmad Fathanah adalah tidak benar;
Dengan demikian dakwaan bahwa Terdakwa menerima gratifikasi yang nilainya mencapai Rp.17.830.832.200 (delapan belas miliar tiga ratus depalan puluh tiga juta tiga ratus tiga puluh dua ribu dua ratus rupiah) serta USD 79, 375 (tujuh puluh sembilan ribu tiga ratus tujuh puluh lima dollar amerika serikta) dan RM 10,000 (sepuluh ribu ringgit malaysia) adalah tidak benar;
14. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 6 Juli 2012 bertempat di Parkir Lapangan Tembak Senayan Jakarta Selatan, Terdakwa menerima pemberian uang dari Yudi Setiawan sebesar Rp.500 juta terkait dengan ijon proyek benih kopi. Sebelumnya Yudi Setiawan melakukan transfer uang dari Rekening BCA Nomor: 1300366666 ke Rekening Giro BCA Nomor: 1302266667 atas nama CV Aneka Pustaka Ilmu (CV API) dan pada slip pengiriman tertulis Berita: “ustadz ke II kopi”. Atas pemberian tersebut YUDI meminta agar Terdakwa LHI menandatangani kwitansi penerimaan, namun kemudian Terdakwa LHI meminta Ahmad Fathanah yang menandatanganinya.
Bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa Saksi tidak ingat mengenai uang yang Rp 500 juta dan menegaskan bahwa Terdakwa tidak pernah ikut campur dan berhubungan dengan urusan proyek kopi atau jagung dan tidak ada uang yang Saksi berikan kepada Terdakwa LHI.
Bahwa berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh  Luthfi Hasan Ishaaq sebagai Terdakwa dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang Rp.500 juta dari Yudi Setiawan
Bahwa keterangan Saksi Ahmad Fathanah menegaskan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah ikut campur dan berhubungan dengan urusan proyek kopi atau jagung dan tidak ada uang yang Saksi berikan kepada Terdakwa. Sebagaimana juga keterangan Terdakwa LHI dalam persidangan yang menerangkan bahwa Terdakwa LHI tidak pernah menerima uang Rp.500 juta dari Yudi Setiawan.
Bahwa mengaitkan setiap tindakan Ahmad Fathanah dengan Terdakwa sama artinya dengan menjadikan Terdakwa LHI sebagai tempat pencucian dosa seorang Ahmad Fathanah maupun Yudi Setyawan yang sesungguhnya tidak pernah diketahui dan apalagi diminta oleh Terdakwa LHI. Tidak terdapat bukti penerimaan uang dari Yudi kepada Terdakwa LHI, yang terbukti adalah bahwa semuanya diterima oleh Ahmad Fathanah, dengan mengatas namakan Terdakwa LHI namun tidak pernah diberikan kepada Terdakwa LHI.
15. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 9 Juli 2012 bertempat di Kantor PT CTA Jalan Cipaku, Terdakwa menerima pemberian 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser Nopol B 1340 THE, Noka GSJ15-0118818 dan Nosin IGR-A481210 dari PT Auto One Perkasa Mulia, Jl. Boulevard Timur Raya Nomor 3 Kelapa Gading Jakarta Utara seharga Rp.900 juta dari Yudi Setiawan;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI pernah meminta tolong dicarikan mobil FJ Cruiser untuk kepentingan perjalanan kegiatan Safari Dakwah dan Terdakwa LHI ketika itu juga mengatakan mau membayar namun oleh Saksi Ahmad Fathanah ditolak dengan mengatakan nanti saja nanti juga ditagih. Atas dasar itulah, Saksi Ahmad Fathanah memanfaatkannya untuk meminta kepada Yudi Setiawan supaya dibelikan mobil FJ Cruiser seolah-olah atas permintaan Terdakwa LHI untuk perjalanan kegiatan Safari Dakwah meskipun dihadapan Terdakwa LHI, Saksi Ahmad Fathanah mengatakan bahwa ada temannya yang bisa mengusahakan mendapatkan mobil FJ Criuiser itu dengan cepat. Kemudian mobil FJ Cruiser itu dibelikan oleh Yudi Setiawan dengan Nopol B 1340 THE. Namun, setelah Terdakwa LHI mengetahui kalau mobil yang dipakai itu dimaksudkan untuk diberikan kepada Terdakwa LHI maka Terdakwa LHI marah dan mengembalikannya meskipun namanya sudah menggunakan nama Terdakwa LHI.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Rozy  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 7 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI telah mengembalikan mobil FJ Cruiser tersebutBerdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Luthfi Hasan Ishaaq menerangkan bahwa Terdakwa LHI memang pernah minta dicarikan dan memesan mobilk FJ Cruiser melalui Ahmad Fathanah dan ketika ditanya tentang harganya, Ahmad Fathanah mengelaknya dengan alasan nanti saja. Kemudian, mobil tersebut bisa disediakan oleh Ahmad Fathanah. Namun, Ahmad Fathanah masih terus menolak pembayaran dari Terdakwa LHI meskipun sudah Terdakwa LHI desak berkali-kali agar menerima pembayaran dari Terdakwa LHI. Akhirnya Terdakwa LHI berpikir, kalau sudah seperti itu nanti saja saat Ahmad Fathanah meminta KTP untuk kepentingan STNK dan BPKB. Namun ternyata, didalam STNK mobil tersebut sudah tercantum nama Terdakwa LHI, entah bagaimana caranya Ahmad Fathanah bisa melakukan hal seperti itu, yang jelas Terdakwa LHI tidak pernah memberikan identitas KTP kepada Ahmad Fathanah.
Bahwa dari keterangan Ahmad Fatahanah, Ahmad Rozi maupun keterangan Terdakwa LHI, membuktikan secara jelas bahwa Terdakwa LHI ditipu oleh Ahmad Fathanah dan Yudi Setyawan untuk kepentingan keduanya yang semuanya diluar pengetahuan Terdakwa LHI. Sehingga Terdakwa LHI melalui Sdr. Ahmad Rozi mengembalikan pemberian 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser Nopol B 1340 THE oleh Sdr. Yudi Setyawan melalui Ahmad Fathanah karena selain tidak pernah meminta kepada Yudi Setyawan juga KTP Terdakwa diambil oleh Sdr. Ahmad Fathanah tanpa sepengetahuan Terdakwa LHI.
Bahwa dengan Terdakwa LHI mengembalikan pemberian 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser Nopol B 1340 THE kepada Sdr. Yudi Setyawan melalui Ahmad Rozi, dan pengembalian ini terjadi sebelum adanya perkara terhadap Terdakwa LHI, maka harus diartikan bahwa tidak pemberian sehingga dengan demikian tidak ada gratifikasi.
16. Perihal dakwaan bahwa pada tanggal 31 Desember 2012, Terdakwa LHI menelpon AF meminta agar dibelikan 1 (satu) unit mobil Toyota FJ Cruiser 4×4 AT untuk kepentingan Safari Dakwah PKS di Sumatera.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa pembelian untuk FJ Cruiser Nopol B 1330 SZZ pada tanggal 31 Desember 2012 itu uangnya sebagai DP bersumber dari Terdakwa LHI yang diberikan kepada Ahmad Fathanah melalui stafnya yang bernama Budiyanto. Selanjutnya yang melakukan cicilan adalah Terdakwa LHI sendiri.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Budiyanto  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Saksi Budiyanto pernah diperintahkan oleh Terdakwa LHI untuk menyerahkan uang pada tanggal 3 Januari 2013 kepada Ahmad Fathanah sebesar 65 ribu U$.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Terdakwa LHI dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa uang yang digunakan untuk pembelian mobil FJ Cruiser Nopol B 1330 SZZ adalah uang dari Terdakwa LHI sendiri bukan uang dari Yudi Setiawan.
Bahwa keterangan Sdr. Ahmad Fathanah dibenarkan oleh keterangan Terdakwa LHI yang menerangkan bahwa uang yang digunakan untuk pembelian mobil FJ Cruiser Nopol B 1330 SZZ adalah uang Terdakwa LHI sendiri bukan uang dari Yudi Setiawan dengan sistim pembayaran melalui Leasing-Mitsui. Sehingga tidak bisa dinyatakan sebagai pemberian orang lain dan karenanya tidak ada Gratifikasi atas pembelian mobil dimaksud;
17. Perihal dakwaan pada tanggal 24 Agustus 2012 bertempat di Kamar Apartemen Sudirman Jakarta Selatan milik YUDI, Terdakwa LHI menerima pemberian uang tunai senilai 2 milyar yang awalnya Terdakwa LHI menelepon Yudi Setiawan meminta bantuan sejumlah uang untuk kepentingan paket lebaran.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa uang 2 milyar dari Yudi Setiawan memang benar diterima oleh Ahmad Fatanah di Apartemen Sudirman namun uang tersebut tidak pernah diberikan kepada Terdakwa LHI.
Berdasarkan keterangan Terdakwa LHIdi persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI TIDAK pernah menerima uang 2 milyar yang dimaksudkan oleh Yudi Setiawan tersebut. Bahkan Terdakwa LHI tidak pernah tahu dan belum pernah ke Apartemen Sudirman.
Bahwa tidak bisa diterima keterangan Sdr. Yudi Setyawan kalau setiap transaksi dan pemberian uang antara dirinya dengan Ahmad Fathanah selalu dikaitkan dengan Terdakwa. Karena faktanya banyak kegiatan dan transaksi antara Yudi Setyawan dan Ahmad Fathanah tidak atas perintah atau permintaan Terdakwa LHI.
Terdakwa LHI juga heran dengan keterangan Saksi Yudi Setiawan yang semuanya memberatkan dan ditujukan kepada Terdakwa LHI. Nampak sekali Yudi Setyawan ingin menyeret Terdakwa LHI karena dendam padahal sebetulnya dia terperdayai (ditipu) oleh Ahmad Fathanah;
1.    Perihal dakwaan terkait adanya beberapa kali pemberian uang dari Yudi Setiawan kepada Terdakwa LHI melalui Ahmad Fathanah, yaitu tanggal 18, 19 , 24,  25 September 2012 dan sekitar bulan November 2012;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa  seluruh uang yang disebutkan diatas tidak pernah diberikan kepada Terdakwa LHI dan proyek-proyek tersebut  adalah bisnis Ahmad Fathanah saja dengan Yudi Setiawan dan tidak pernah melibatkan Terdakwa LHI dan Terdakwa LHI tidak pernah tahu urusan Saksi Fathanah.

Bahwa Yudi Setiawan sendiri juga melalui Deni Adiningrat bersama Dedi Yamin pernah booking Hotel dan bertemu dengan seorang bernama Saiful di Kuala Lumpur yang merupakan orang suruhan seorang Politisi bernama Romi dari Komisi IV DPR RI. Bahkan kunci kamar Hotel diberikan kepada seorang perempuan yang menurut Saksi Deni Adiningrat sebagai orangnya Pak Saiful. Yang sebelumnya telah terlebih dahulu didalam Brankas Hotel ditaruh uang sejumlah 130 ribu US dollar. Terdakwa LHI tidak pernah mengetahui dengan proyek-proyek itu. Faktanya Sdr. Yudi Setyawan justru berusaha mendapatkan proyek proyek melalui orang lain yang juga Terdakwa LHI tidak tahu;
19. Perihal dakwaan bahwa pada bulan Desember 2010 Terdakwa LHI meminta Maulana melakukan pemesanan atas pembelian 1 (satu) unit mobil di PT. Sumber Trada Mobilindo yang beralamat di Jl. Jatinegara Barat Nomor 140 Jakarta Timur, yaitu mobil MAZDA CX-9, Nopol B 2 MDF,
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Maulana  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Senin tanggal 28 Oktober 2013 menerangkan bahwa  saksi memang pernah membelikan Terdakwa LHI  1 (satu) unit mobil Mazda CX-9 seharga Rp 740 juta diatas dengan menggunakan uang separuh dari dirinya dan separuh dari Terdakwa LHI.
Bahwa keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa saksi pernah memberikan uang kepada Ahmad Maulana untuk pembelian Mobil Mazda CX-9 untuk Terdakwa LHI namun atas permintaan Terdakwa LHI juga bahwa uang tersebut sebagai pembayaran hutang-hutang Saksi kepada Terdakwa LHI. Bahwa demikian juga keterangan yang disampaikan oleh  Terdakwa LHI dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa untuk pembelian mobil Mazda CX-9 adalah menggunakan uang Terdakwa LHI sebesarRp.400 juta.  Sementara  uang yang Rp.350 juta merupakan pinjaman dari Ahmad Maulana.
Bahwa mobil tersebut dibeli oleh Terdakwa LHI dengan sebagian uang dari Sdr. Ahmad Fathanah sebagai pengembalian hutang dan sebagiannya lagi yaitu sebesar Rp. 350 juta adalah pinjaman dari Ahmad Maulana.
Bahwa dalam keterangannya dalam persidangan, Ahmad Maulana menjelaskan kalau pemberian pinjaman kepada Terdakwa LHI adalah bentuk bantuan untuk seorang guru (ngaji) yang ia hormati. Bahwa pengakuan Maulana maupun Terdakwa LHI sebagai pinjaman, artinya pada waktunya akan dikembalikan oleh Terdakwa LHI kepada Sdr. Ahmad Maulana. Semua ini membuktikan bahwa uang dan mobil tersebut bukan merupakan Gratifikasi sebagaimana didakwakan Sdr. Penuntut Umum.
20. Perihal dakwaan terkait adanya beberapa kali pemberian uang melalui transfer dari Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI, yaitu 14 April 2012, 1 Juli 2012, 12 Oktober 2012, 27 Oktober 2012, 3 Desember 2012, 14 Januari 2013, Desember 2012 hibah USD 9375, 2 November 2012;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Ahmad Fathanah  sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 menerangkan bahwa  seluruh uang transferan dan pemberian sebagaimana dalam kurun waktu tersebut diatas yang sumbernya dari Saksi Ahmad Fathanah merupakan pembayaran hutang-hutang Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI sebesar Rp. 2,9 milyar dan baru dibayar 1,7 milyar, lebih seingat Saksi. Adapun untuk pembayaran hutang yang ditulis JPU sebesar Rp.750 jutaadalah tidak benar yang benar adalah Rp.450 juta atau Rp.500 juta -
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Terdakwa LHI dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa terhadap seluruh uang transferan dan pemberian sebagaimana dimaksud diatas yang sumbernya dari Saksi Ahmad Fathanah merupakan pembayaran hutang-hutang Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI sebesar Rp. 2,9 milyar dan pembayaran dicicil sebagaimana disebutkan dalam dakwaan diatas. Adapun untuk pembayaran hutang sebagaimana sebesar Rp.750 juta tidak benar seingat Terdakwa LHI hanya sekitar Rp.150 juta juta atau Rp.250 juta.
Bahwa pembayaran hutang-hutang Sdr. Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI selalu diberikan setiap Sdr. Ahmad Fathanah ada uang dan sering pula uang yang sudah diberikan oleh Sdr. Ahmad Fathanah kepada Terdakwa LHI dipinjam lagi oleh Ahmad Fathanah. Begitu seterusnya, sehingga utang Fathanah kepada Terdakwa LHI tidak pernah selesai pembayarannya
21. Perihal dakwaan bahwa ada Tanggal 21 Desember 2012, Terdakwa LHI pernah menerima uang tunai sebesar Rp.300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dari ZAKY;
Berdasarkan keterangan yang disampaikan Terdakwa LHI di persidangan pada hari Kamis tanggal 21 November 2013 menerangkan bahwa Terdakwa LHI pernah meminjamkan uang kepada Ahmad Zaky dengan mengirimkan uang tersebut kepada anak Terdakwa LHI merupakan pelunasan hutang, sehingga membuktikan bukan merupakan gratifikasi.

22. Perihal dakwaan bahwa Terdakwa LHI pernah menerima hibah atau pemberian berupa pembayaran Cicilan atas Kredit Pemilikan Rumah Syariah (KPRS) Bank Muamalat dari Zaky senilai Rp.776.332.200.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Tanu Margono sebagai Saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 17 Oktober 2013 menerangkan bahwa rumah yang ada di kavling A dan E milik Saksi di beli oleh Terdakwa LHI seharga Rp. 1.944.374.080,- untuk harga kavling A dan Rp.1.946.180.000 untuk kavling E. Proses pembelian dilakukan langsung bertemu antara Terdawa LHI dengan saksi dihadapan notaris.
Bahwa pembelian 2 (dua) kaveling tanah dan bangunan milik Saksi Tanu Margono adalah melalui fasilitas kredit Bank Muamalat Cabang Bekasi. Sehingga sumber keuangan Terdakwa LHI menjadi jelas untuk pebelian dua kavling tanah dan bangunan dimaksud adalah menjadi tanggungan Bank dan selanjutnya Terdakwa LHI menyicil secara kredit kepada Bank Muamalat Cabang Bekasi setiap bulannya sebesar Rp. 31.053.228,- (tiga puluh satu juta lima puluh tiga ribu dua ratus dua puluh delapan ribu rupiah) dan telah dicicil sebanyak 25 (dua puluh lima) bulan atau senilai Rp. 776.332.200,- (tujuh ratus tujuh puluh enam juta tiga ratus tiga puluh dua ribu dua ratus rupiah). Karenanya membuktikan bukan sebagai Gratifikasi.
E.   Tentang Terdakwa LHI membayarkan atau membelanjakan sejumlah uang dalam kurun Waktu Maret 2007 sampai dengan Desember 2008, untuk pembelian (1) Mobil Nissan Frontier Navara (2) Rumah di Cipanas dan (3) Lima (5) bidang tanah untuk Pabrik di Leuwilang-Bogor:
23. Perihal dakwaan adanya pembelian Mobil Nissan Navara Type Frontier warna Hitam Nopol B 9051 Ql Noka MNTVCUDAa0Z0002698, sejumlah Rp. 350.000.000.
Bahwa pada tanggal 21 November 2013 terdakwa menerangkan membeli mobil tersebut menggunakan pembiayaan Muraba’ah Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Purwakarta Nomor 17 tanggal 08 April 2008, pembiyaan yang diangsur sebesar Rp. 491.876.576,68 (empat ratus sembilan puluh satu juta delapan ratus tujuh puluh enam ribu lima ratus tujuh puluh enam rupiah) setelah uang diperoleh pembayarannya diserahkan kepada penjual mobil Ustadz Hilmi Aminudin, kemudian Terdakwa mencicil kepada Bank tersebut.
Bahwa dengan adanya pembiyaan Muraba’ah dari Bank Syariah Mandiri tersebut membuktikan bahwa dana untuk membeli Mobil Nissan Navara Type Frontier berasal dari bank Syariah Mandiri Cabang dengan pembayaran secara berangsur selama 48 bulan, hal mana membuktikan bahwa pendanaan bukan berasal dari hasil kejahatan.
24    Perihal dakwaan adanya pembayarkan atau pembelanjakan pada sekitar tahun 2007 sejumlah uang Rp 1.500.000.000,- (satu milyar lima ratus juta rupiah) pembelian 1 (unit) bangunan rumah seluas 250 M2 diatas tanah seluas 700 M2 terletak di Jalan Loji Timur No. 24 RT 17 RW 02 Desa Cipanas Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur Jawa Barat.
Keterangan Terdakwa LHI pada persidangan tanggal 21 November 2013, harga tanah dan bangunan tersebut sejumlah Rp. 750.000.000,- (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) yang ditarik dari rekening PT. Sirat Inti Buana.
Pembelian tersebut dilakukan secara terang-terangan yang dikuatkan dengan keterangan Saksi H. Hilmi Aminuddin pada tanggal 21 Oktober 2013 menyatakan, pembelian tanah diangsur dan sudah lunas, keseluruhan totalnya Rp. 750.000.000,-
Bahwa sumber dana yang diperoleh Terdakwa LHI berasal dari perusahannya PT. Siraj Inti Buana, pengambilan secara Cash di Bank Internasional Indonesia atas nama PT. Siraj Inti Buana No Rekening 2-017-811505 adalah sebagai berikut :
-      Tanggal 11 April 2007 tarik tunai Rp. 500.000.000,-
-      Tanggal 16 April 2007 tarik tunai Rp. 250.000.000,-
Bahwa sumber dana untuk pembelian tanah tersebut berasal dari PT. Siraj Inti Buana dimana Terdakwa LHI adalah pemegang saham mayoritas atas perusahaan tersebut dan memilki kewenangan untuk menggunakan dana yang ada dalam perusahaannya. Semua ini membuktikan bahwa properti ini tidak diperoleh dari hasil kejahatan.
25    Perihal dakwaan pembayaran atau pembelanjaan pada rentang waktu antara tanggal 15 Agustus 2007 s/d 3 Februari 2008 sejumlah uang Rp. 3.500.000.000 (tiga milyar lima ratus juta rupiah) 5 (Lima) Bidang Tanah yang diatasnya berdiri satu unit bangunan Pabrik pembuatan genteng terletak di desa Leuwimekar/barengkok Kecamatan Kabupaten Bogor Jawa Barat, masing-masing bidang tanah seluas 3.180 M2, 8.180 M2, 9470 M2, 33.340 M2 dan 5.410 M2. Sertifikat atas nama Yopie Sangkot batubara
Bahwa dalam persidangan tanggal 21 Nopember 2013, Terdakwa LHI menjelaskan tanah tersebut dibeli seharga 3,5 Milyar, dananya bersumber dari PT. Siraj Inti Buana
Bahwa hal mana juga dikuatkan oleh keterangan saksi Delli Agustian Pratama (a de charge) yang bersaksi pada tanggal 18 november 2013, saksi mendengar dari orang tuanya pada tahun 2007 pernah bekerjasama dengan Terdakwa LHI membeli tanah di Bogor dulunya pabrik genteng, pada saat itu ada penarikan uang agak besar sehingga saat itu ada kekurangan uang cashflow di PT Siraj Inti Buana.
Bahwa saksi Abdurahman hakim pada tanggal 28 Oktober 2013 menerangkan tentang bahwa kebenaran Terdakwa LHI tidak mengambil keuntungan tetapi dari PT Siradj Inti Buana, terjadi pengurangan modal usaha yang sedang berjalan ini ditarik untuk pembelian tanah di Barengkok Bogor.
(Bukti T-12 ) : bukti ini menunjukkan adanya penarikan cash kurun waktu bulan 22 Mei s/d 29 Januari 2007 pada Bank Internasional Indonesia ( BII) Milik PT. Siraj Inti Buana rekening Nomor: 2-017-811505  sejumlah keseluruhan Rp. 3.550.159.284,-
Membuktikan bahwa pembelian atas tanah/properti atas 5 (Lima) Bidang Tanah yang diatasnya berdiri satu unit bangunan Pabrik pembuatan genteng terletak di desa Leuwimekar/barengkok Bogor, menggunakan sumber dana yang jelas yaitu hasil usaha PT. Siraj Inti Buana dimana Terdakwa LHI adalah pemilik perusahaan tersebut dan memilki kewenangan untuk menggunakannya. Jadi jelas terbukti bukan dari hasil kejahatan.
F.     Tentang Membayarkan Atau Membelanjakan Sejumlah Uang Sebesar: Rp.10.198.000.000:
26    Tentang Pembelian Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white dan Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Agus Trihono sebagai saksi yang di sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggl 21 Oktober 2013 menerangkan bahwa Saksi diminta mengantarkan pembayaran uang muka sebesar Rp. 400.000.000,- atas mobil Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire yang dipesan langsung oleh Pak Soeripto dari PT. Indobuana Autoraya. Harga mobil tersebut adalah seharga Rp.710.000.000,-. Pada saat yang bersamaan, Terdakwa LHI memesan mobil yang hampir sama yaitu Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white seharga Rp.1,2 M dan meminta Saksi untuk mengantarkan pembayaran uang tanda jadi sebesarRp.100.000.000,- atas pemesanan mobil Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white. Namun, oleh Saksi pembayaran untuk tanda jadi atas pemesanan mobil Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white dilakukan melalui transfer E-Banking ke Rekening BCA Nomor: 261-301-7551 atas nama IBAR VOLVO. Sementara, sisanya yangRp.80.000.000,-  pada tanggal 2 Mei 2012 oleh Saksi diserahkan langsung kepada pihak PT. Indobuana Autoraya dan diberikan tanda terimanya. Sehingga, total uang tanda jadi dari Terdakwa adalah sebesar Rp.100.000.000,-  Sementara itu, pada waktu yang bersamaan, Pak Soeripto juga menitipkan uang sebesar Rp.310.000.000,-kepada saksi untuk pelunasan mobil pesanannya yaitu Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire.
Oleh karena itu, berdasarkan fakta persidangan diatas, dakwaan penuntut umum yang menyatakan bahwa pada tanggal 18 April 2012 ada uang sebesar Rp. 400.000.000,- dari terdakwa kepada Saksi untuk pembayaran uang muka mobil Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire adalah tidak benar karena uang tersebut adalah dari Pak Soeripto bukan dari Terdakwa.
Demikian juga, terhadap dakwaan penuntut umum yang menyatakan bahwa Pada tanggal 2 Mei 2012, Terdakwa LHI menyerahkan uang tunai sebesar Rp.390.000.000,- (tiga ratus sembilan puluh juta rupiah) kepada Saksi untuk membayarkan pelunasan harga dari mobil Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire yaitu sebesarRp.310.000.000,- (tiga ratus sepuluh juta rupiah) dan selebihnya yaitu sebesar Rp.80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) dibayarkan untuk menambah uang muka atas pemesanan mobil Volvo XC 60 T6 sehingga uang muka untuk pemesanan mobil Volvo XC 60 T6 tersebut adalah sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah), atas pembayaran pelunasan harga dari mobil Volvo XC 60 T5 sebesar Rp.710.000.000,- (tujuh ratus sepuluh juta rupiah) dan pembayaran uang muka mobil Volvo XC 60 T6 sebesar Rp. Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) tersebut Pihak PT. Indobuana Autoraya menyerahkan tanda terima pembayaran kepada Agus Trihono sesuai dengan perintah Terdakwa adalahtidak benar, karena uang Rp.390.000.000,- tersebutberasal Pak Soeripto sebesar  Rp.310.000.000,- untuk pelunasan pembayaran mobil pesanannya yaitu Volvo CX 60 T5 AWD warna black sapphire bukan dari Terdakwa LHI dan yang Rp.80.000.000,- adalah uang dari Terdakwa LHI untuk menambah uang tanda jadi yang baru Rp.20.000.000,- diawal sehingga tanda jadi dari Terdakwa untuk pemesanan Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white adalah sebesar Rp.100.000.000,-. Sehingga, uang yang baru diberikan Terdakwa kepada pihak PT. Indobuana Autoraya adalah sebesar Rp.100.000.000,- dari harga mobil VolvoCX 60 T6 AWD warna ice white sebesar Rp. 1.250.000.000.000,-.
Namun demikian, menurut keterangan Saksi Agus Trihono, pesanan Terdakwa untuk mobil Volvo CX 60 T6 AWD warna ice white mengalami kendala, yaitu belum ada specifikasi yang diminta oleh Terdakwa. Sehingga, Terdakwa membatalkan pembelian atas mobil tersebut dan memerintahkan Saksi untuk meminta uang tanda jadi yang pernah diberikan kepada  pihak PT. Indobuana Autoraya. Akan tetapi, sebelum uang muka itu dimintakan kembali oleh Saksi, Terdakwa lebih dulu ditangkap oleh KPK. Dengan demikian, Dakwaan Jaksa yang menyatakan bahwa, pembatalan atas pemesanan mobil tersebut oleh Terdakwa LHI setelah ditangkap KPK adalah tidak benar
27    Tentang Pembelian Mobil Alphard 2.4 G AT, warna hitam dan Perumahan Bagus Residence.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Syamilahmad Bin Mader sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis tanggal 21November 2013 menerangkan bahwa saksi adalah calon mantu Terdakwa LHI yang sudah mengenal Terdakwa LHI sejak tahun 2006. Sebagai calon mantu, Terdakwa LHI memberikan syarat kepada Saksi apabila kelak menjadi suami dari putri Terdakwa LHI, yaitu Saksi harus tinggal di Indonesia dan tidak boleh tinggal di luar negeri. Oleh karena itu, sebagai bentuk komitmen Saksi untuk menjamin syartat-syarat itu, maka Saksi memberikan uang kepada Terdakwa LHI untuk dibelikan rumah dan mobil di Indonesia dan untuk keperluan pernikahannya.
Uang yang sudah diberikan kepada Terdakwa LHI seluruhnya berjumlah 400,000 U$D yang diberikan secara bertahap di beberapa tempat dan kesempatan bertemu dengan Terdakwa HI antara tahun 2009 – 2013, diantaranya di Jakarta, Moscow dan Istambul. Penyerahan-penyerahan uang tersebut, dilakukan oleh  kedua orang tuanya kepada Terdakwa LHI.
Saksi juga kemudian mengetahui bahwa uang tersebut telah dibelikan Mobil Toyota Alphard dan Perumahan di Kebagusan namun kepemilikannya belum menggunakan nama Saksi, meskipun Terdakwa LHI pernah meminta dokumen-dokumen untuk keperluan balik nama.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Faizal sebagai saksi tanpadisumpah  dalam persidangan pada hari Kamis tanggl 21November 2013 menerangkan bahwa Saksi mengenal Saksi Syamil dan pernah menerimah lamarannya karena saksi sebagai wali mewakili Terdakwa LHI yang saat itu sudah ditahan di KPK
28    Tentang Pembelian Mobil Volkswagen Carravelle
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Agus Trihono sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Kamis menerangkan bahwa Saksi pernah menerima uang untuk pelunasan pembayaran Mobil Volkswagen Carravelle dari Terdakwa LHI.Saat uang itu diberikan kepada Saksi, Terdakwa mengatakan bahwa ini ada uang dari temannya.
Berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh Oke Setiadi sebagai saksi dibawah sumpah dalam persidangan pada hari Senin tanggal 18 November 2013 menerangkan bahwa Saksi pernah memberikan uang infaq keluarga sebesar 1 milyar kepada PKS melalui Terdakwa LHI sekitar tanggal 5 atau tanggal 6 Mei 2012 di DPP PKS. Uang infaq tersebut diberikan dalam rangka mengenang ayah mertua Saksi yang meninggal pada tanggal 5 Mei 2008 dan infaq tersebut biasa Saksi dan keluarga keluarkan setiap tahunnya pada moment wafatnya ayah mertua Saksi kepada PKS maupun lembaga lainnya melalui orang-orang terdekatnya saat masih hidup dan dalam hal ini adalah Terdakwa yang dulu sangat dekat dengan mendiang almarhum ayah mertua Terdakwa dan keluarganya. Infaq 1 milyar ini adalah atas kesapakatan keluarga dan diamanahkan kepada Saksi untuk diberikan kepada Terdakwa.
Uang yang Saksi berikan pada tanggal tersebut adalah untuk membeli kendaraan operasional partai PKS. Keperluannya adalah untuk menyambut tamu-tamu partai dari luar negeri. Hal ini saksi pesankan kepada Terdakwa, mengingat Saksi adalah staf di Bidang Hubungan Luar Negeri (BHLN) dan sering dimintai oleh Terdakwa dalam menyambut tamu-tamu dari luar negeri, sehingga Saksi tahu persis kebutuhan kendaraan untuk menyambut menyambut para tamu dari luar negeri yang pas. Adapun tamu-tamu yang sering didampingi oleh Saksi, diantaranya senator dari Inggris, sejumlah deputi menteri dari negara Eropa, Turki dan Timur Tengah.
Atas pemberian infaq Rp. 1 milyar tersebut, Saksi mengetahui sudah dibelikan mobil VW Carravel oleh Terdakwa, karena Saksi sering melihat mobil tersebut digunakan untuk menyambut tamu-tamu dari luar negeri dan Saksi juga pernah menggunakan mobil tersebut dalam menyambut dan mendampingi tamu-tamu luar negeri. Dan atas pembelian mobil tersebut, sudah Saksi beritahukan kepada keluarga Saksi.
Sementara, alasan Saksi memberikan infaq kepada PKS melalui Terdakwa adalah karena masalah kedekatan saja yang sudah sangat lama antara Terdakwa dengan Saksi dan keluarga. Dimana sejak dulu keluarga Terdakwa sering meminta nasihat baik dalam urusan keagamaan maupun urusan bisnis dan pernah juga dulu anak dari almarhum ayah mertua Saksi dibantu dalam studi anaknya di luar negeri.
Dalam memberikan infaq 1 milyar kepada Terdakwa tidak menggunakan tanda terima atau kwitansi sebagai bukti. Hal itu sudah biasa terjadi bagi Saksi dan keluarga dalam memberikan infaq tidak perlu ada tanda terimanya. Karena dari dulupun, waktu masih Partai Keadilan, Saksi pernah menginfakan sebuah mobil dan meminjamkan rumah untuk digunakan sebagai kantor DPW PKS Jakarta tidak pernah ada tanda terimanya.
Saksi juga menjelaskan profilnya, bahwa Saksi dan keluarga adalah wiraswastawan sejak tahun 70-an sudah memulai dagang ban yang dulu masih 1 toko sekarang sudah 6 toko di Jakarta. Dan salah satu merk ban terkenal sudah 16 tahun ada di toko Saksi dengan penjualan tertinggi di Indonesia. Dan salah satu toko Saksi merupakan pembayar pajak tertinggi di Jakarta Timur.
28    Tentang Pembelian Mobil Mitsubishi Grandis
Bahwa, terhadap pembelian 1 unit mobil Mitsubishi Grandis pembuatan tahun 2005 dibeli oleh Terdakwa LHI pada tahun 2012 dari pemilik pertama yang bernama Herma Yudi Irwanto seharga Rp.150.000.000,- . Adapun, sumber uang yang digunakan untuk membeli mobil tersebut adalah berasal dari penghasilan Terdakwa LHI ketika menjadi pembicara diluar negeri. Dimana Terdakwa LHI sering ke luar negeri menjadi pembicara dan mendapat honor sebagai pembicara sebagaimana keterangan Saksi berikut ini:
Saksi Deden, menerangkan dibawah sumpah dalam persidangan hari Kamis, 21 November 2013 bahwa saksi berdomisili di Belanda dan pernah mengundang Terdakwa LHI sebagai pembicara di Belanda dalam acara pengajian bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di Belanda. Dalam setiap kali Terdakwa LHI mengisi acara pengajian tersebut, Saksi selaku pelaksana acara tersebut memberikan honor sebesar 10,000 euro atau setara dengan Rp.150.000.000,- sebagai pembicara kepada Terdakwa LHI. Saksi sudah tiga kali menghadirkan Terdakwa LHI sebagai pembicara di Belanda yaitu tahun 2009, 2010 dan 2012.
Berdasarkan keterangan saksi diatas tersebut, adalah wajar apabila Terdakwa LHI mampu membeli mobil Mitsubishi Grandis dari Herma Yudi Irwanto seharga Rp.150.000.000,-.  Belum lagi, penghasilan Terdakwa LHI sebagai anggota DPR RI dalam setiap bulannya mendapatkan Rp.60.000.000,- perbulan dan dana kunjungan kerja pertriwulan yang ditotal-total dalam satu tahun bisa mendapatkan Rp. 1 Milyar.
29    Tentang Pembelian Rumah di Jalan H. Samali – Pejaten Pasar Minggu.
Bahwa, Terdakwa LHI tidak pernah membeli rumah yang berada di Jl. H.Samali No.27 Rt 10/Rw 001 Kelurahan Pejaten Barat Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan. Terdakwa LHI hanya menyewa rumah tersebut dari Ahmad Zaky karena, saat itu rumah yang dibeli oleh Terdakwa LHI melalui Ahmad Zaky yang di Batu Ampar tersebut pembangunannya belum selesai. Sementara, Terdakwa LHI selaku Presiden Partai tidak dapat lagi menerima tamu-tamu yang datang ke rumah Terdakwa LHI baik yang di Cipinang maupun rumah dinas DPR RI yang di Kalibata. Oleh karena itu, dibutuhkan rumah yang pantas untuk menerima tamu-tamu yang akan menemui Terdakwa LHI, yaitu di rumah yang kebetulah miliknya Ahmad Zaky yang berada di Jl. H.Samali tersebut dan Ahmad Zaky mempersilahkan Terdakwa LHI untuk menggunakan rumah tersebut dengan sewa Rp.100.000.000,- setahun.
Rumah di Jalan Haji Samali adalah milik Ahmad Zaki, justru terbukti dari hasil kesaksiannya Suryani Salam, yang dihadirkan oleh Sdr Penuntut Umum. Dibawah sumpah  dalam persidangan pada hari Kamis tanggl 10 Oktober 2013 saksi menerangkan bahwa Saksi adalah pemilik asal dari di Jl. H.Samali No.27 Rt 10/Rw 001 Kelurahan Pejaten Barat Kecamatan Pasar Minggu Jakarta Selatan sebelum dibeli oleh Ahmad Zaky secara cash bertahap sampai empat kali dengan total harga Rp.5.100.000.000,- melalui setoran oleh Ahmad Zaky ke rekening Bank Muamalat Cabang Pancoran No.3041704522 atas nama Hj.Suryani Salam dan tidak ada yang masuk ke rekening Saksi atas nama PT. Sirat Inti Buana. Proses pembeliannya pun  melalui prosedur yang sah menurut hukum seperti dibuatkan PPJB dan AJB antara Hj.Suryani Salam dengan Ahmad Zaky dihadapan PPAT M. Kholid Artha.
BAB III
TENTANG SURAT TUNTUTAN
Majelis Hakim yang mulia,
Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,
Hadirin yang setia mengikuti persidangan ini,
Selanjutnya dalam BAB III ini akan kami sampaikan untuk menanggapi secara khusus Surat Tuntutan yang disampaikan Sdr. Penuntut Umum pada persidangan tanggal 27 November 2013 yang lalu. Surat tuntutan sebanyak 1095 halaman dan setebal 10 cm hanyalah bernilai. Sebab 95 % hanyalah merupakan penulisan ulang surat dakwaan, catatan persidangan dan uraian barang bukti,  hanya 5 % yang merupakan hasil buah pikir Sdr Penuntut Umum. Agak menyedihkan jika diingat bahwa dengan hanya mengandalkan pemikiran yang 5% ini sdr JPU dengan tega menuntut Terdakwa LHI 18 tahun penjara.
Surat tuntutan JPU meliputi bagian Pendahuluan (halaman 1 sampai 2), Surat Dakwaan (halaman 2 sampai 94), Fakta Persidangan yang memuat keterangan saksi-saksi dan barang bukti yang menurut Penuntut Umum relevan (halaman 95 sampai 596), Analisa Fakta yang menguraikan mengenai hal-hal yang dimuat dalam surat dakwaan dikaitkan dengan alat bukti keterangan saksi, ahli, surat dan barang bukti serta keterangan terdakwa (halaman 597 sampai 921), dilanjutkan dengan Analisa Yuridis menyangkut analisa terhadap pasal-pasal yang didakwakan yaitu untuk menilai fakta perbuatan atau kejadian yang telah diuraikan dalam analisa fakta dan menerapkannya kedalam unsur-unsur pasal dari tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa (halaman 922 sampai 1079), Pertanggungjawaban Pidana (halaman 1079 sampai 1083) diakhiri dengan Tuntutan Pidana (halaman 1094 sampai 1095).
Sepanjang mengenai analisa fakta versi Surat Tuntutan ini tidak akan kami tanggapi secara khusus mengingat analisis kami pada Bab II pada dasarnya telah secara mutatis mutandis menangkis apa yang telah diuraikan oleh Sdr Penuntut Umum, sebagaimana yang diuraikan dalam halaman 597 sampai 921.
Selanjutnya tanggapan kami adalah sebagai berikut:
1.     Bahwa untuk uraian pengertian/unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, kami sependapat dengan PU dalam Surat Tuntutannya halaman 924 s.d. 928 .
Namun kami tidak sependapat dengan sdr PU, bahwa dengan terbuktinya Terdakwa LHI selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, sebagaimana halaman  924 s.d. 928, maka dengan sendirinya unsur tersebut terpenuhi sebab untuk dapat dipenuhi dan dipertanggungjawabkan Terdakwa  LHI haruslah terbukti terlebih dahulu hal-hal di bawah ini:
(a)    Bahwa Berdasar prinsip daad-daderstrafrecht (atau criminalact dan criminal responsibility) sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP, Terdakwa LHI dalam kapasitasnya selaku Presiden PKS yang tidak masuk dalam ruang lingkup pengertian pegawai negeri atau penyelenggara negera sebagaimana dimaksud di atas bukan merupakan subjek hukum dari Pasal 12 huruf UU Tipikor, maka dengan sendirinya Terdakwa LHI tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 12 huruf a tersebut.
(b)   Bahwa dalam kapasitasnya selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara untuk mengetahui dapat tidaknya Terdakwa LHI dipertanggungjawabkan melalui Pasal 12 huruf a UU Tipikor, sesuai dengan orde pembuktian seharusnya dibuktikan terlebih dahulu apakah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa LHI mengandung unsur wedderechtelijk dan apakah perbuatan yang wedderechtelijk sebagaimana dakwaan PU berada didalam atau diluar ruang lingkup wewenangnya, selaku anggota DPR RI.
(c)    Dengan demikian Terdakwa LHI dalam perkara a quo, untuk dapat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (penerapan azas toerekeningsvatbaar) dan untuk dapat dinyatakan bersalah (sebagai penerapan prinsip culpabilitas-mens rea), haruslah dibuktikan terlebih dahulu :
·         hubungan yang sedemikian rupa antara sikap bathin, motif yang mendorong Terdakwa LHI dengan perbuatan pidana yang didakwakan;
·         apakah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa LHI telah dapat dinilai sebagai perbuatan yang tercela menurut hukum pidana atau ada tidaknya strafhandeling yang cara-caranya sebagaimana yang didakwakan oleh PU;
·         posisi dan peran serta Terdakwa LHI selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara dikaitkan dengan strafhandeling-nya yang khusus yaitu ambtsdelict, harus dibuktikan apakah ambtsdelict itu dapat dilakukan oleh pihak yang bukan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara.
·         ada atau tidaknya alasan penghapus penuntutan atau alasan penghapus pidana.
Jika hal-hal tersebut dipenuhi, maka Terdakwa LHI patut dipertanggungjawabkan menurut hukum, demikian pula sebaliknya jika tidak maka unsur Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara adalah tidak relevan, dan harus dikatakan sebagai tidak terbukti.
2.     Tentang unsur Menerima Hadiah atau Janji.  Kami sepakat dengan pengertian yang disampaikan oleh sdr JPU dalam surat tuntutannnya dengan tambahan ;
(a)    Bahwa unsur hadiah atau janji mengandung sifat alternatif yaitu apabila salah satu unsur tersebut telah terbukti, maka unsur lainnya tidak perlu dibuktikan lagi.
(b)   Bahwa yang dimaksud dengan hadiah atau janji menurut R. Wiyono dalam bukunya “Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Ed. Kedua, 2008,  Penerbit Sinar Grafikahalaman 97 :
-        Hadiah adalah “sesuatu yang bernilai baik berupa benda berwujud atau benda tidak berwujud”
-        Janji adalah “tawaran sesuatu yang diajukan dan akan dipenuhi oleh si Pemberi Tawaran”
(c )  Sedangkan menurut Adami Chazawi dalam bukunya “Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Cet. Kedua, 2005, Penerbit Bayu Media, halaman 188-189″ :
Bahwa perbuatan menerima hadiah atau janji harus nyata-nyata telah diterimaoleh orang yang menerima yakni diperlukan syarat telah beralihnya kekuasaan atas benda itu ke tangan orang yang menerima. Sebelum kekuasaan atas benda itu beralih ke dalam kekuasaan si Penerima, maka perbuatan menerima belumlah dianggap terwujud secara sempurna, demikian juga dengan menerima suatu janji haruslahsecara nyatajanji tersebut diterima oleh Pegawai Negeri bisa dengan ucapan dan sebagainya sebagai pertanda diterimanya janji tersebut atau dengan isyarat misalnya anggukan kepala.
Berdasar apa yang dikemukan di atas dihubungkan dengan kedudukan dan kualitas Terdakwa LHI  selaku Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara, fakta-fakta hukum yang terungkap sama sekali tidak menunjukkan adanya korelasi nyata. Syarat bahwa janji atau hadiah itu nyata-nyata diterima oleh terdakwa tidak terpenuhi. Mendasarkan pada pendapatnya Adami Chazawi dalam kasus ini Terdakwa LHI tidak pernah menerima hadiah sebesar Rp 1, 3 milyar sebagaimana yang didakwakan karena Terdakwa LHI benar-benar tidak pernah menerima uang tersebut sehingga syarat telah beralihnya kekuasaan atas benda itu ke tangan orang yang menerimatidak terpenuhi.
Syarat yang lain adalah tentang kejelasan janji, artinya secara eksplisit harus benar-benar ada janji, sebab Pasal 12 a mensyaratkan demikian. Dari fakta yang terungkap di persidangan Maria tidak pernah berjanji akan memberikan Rp 40 Milyar,  fakta di persidangan membuktikan bahwa adanya janji tersebut hanya bersumber dari kata-katanya Fathanah. Baik Maria maupun Elda tidak pernah mengakui adanya janji tersebut.
        Dari kesaksian Maria Elizabeth Liman kita ketahui bahwa Maria tidak pernah sekalipun menawarkan sesuatu janji kepada Terdakwa LHI baik langsung ataupun tidak langsung, demikian pula Terdakwa LHI tidak pernah menerima tawaran sesuatu janji dari Saksi Maria Elizabeth Liman.
Dengan demikian perbuatan-perbuatan yang Terdakwa LHI lakukan tidak didorong oleh motif berupa pemberian atau janji dari Saksi Maria Elizabeth Liman, sebab untuk adanya janji haruslah secara nyata janji tersebut diterima oleh Terdakwa LHI bisa dengan ucapan dan sebagainya sebagai pertanda diterimanya janji tersebut atau dengan isyarat misalnya anggukan kepala.
3.     Tentang Unsur Diketahui Atau Patut Diduga Bahwa Hadiah Atau Janji Tersebut Diberikan Untuk Menggerakkan Agar Melakukan Atau Tidak Melakukan Sesuatu Dalam Jabatannya Bertentangan Dengan Kewajibannya.
(a)    Bahwa tindak pidana korupsi dalam Pasal 12 UU Tipikor merupakan hasil adopsi dan harmonisasi dari Pasal 419 KUHP yang merupakan delik jabatan (ambtsmijsdrif).
(b)   Bahwa dalam buku Delik-Delik Khusus Kejahatan Jabatan dan Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi ditulis oleh P.A..F Lamintang dan Theo Lamintang hlm.122 s.d. hlm.123, bahwa untuk dapat menyatakan seseorang itu terbukti telah memenuhi unsur-unsur tersebut maka sidang pengadilan yang memeriksa perkara orang tersebut, Hakim harus dapat membuktikan:
1.    Bahwa orang itu (Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) memang menghendaki menerima suatu pemberian atau suatu janji;
2.    Bahwa orang itu (Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) memang mengetahui yang ia terima itu merupakan suatu pemberian atau suatu janji;
3.    Bahwa orang itu (Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara) memang mengetahui pemberian atau janji yang bersangkutan telah diberikan kepadanya dengan maksud agar ia melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu didalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya bertentangan dengan kewajibannya.
(c)    Bahwa selanjutnya P.A.F. Lamintang menyatakan untuk dapat dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 419 angka 1 KUHP  (yang telah diadopsi dan harmonisasi dalam Pasal 12 UU Tipikor) cukuplah kiranya jika Pegawai Negeri itu telah menerima pemberian atau janji dengan pengetahuan bahwa pemberian atau janji itu telah diberikan kepadanya yakni agar ia melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu di dalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya bertentangan dengan kewajibannya;
(d)   Bahwa berkenaan dengan melakukan sesuatu atau mengalpakan sesuatu didalam menjalankan tugas jabatannya yang sifatnya bertentangan dengan kewajibannya, R. Soesilo dalam Buku : “KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, hlmn. 285 mencontohkan sebagai berikut :

Seorang Inspektur Polisi yang telah menangkap orang melanggar Suatu peristiwa pidana tidak membuat proses verbal (tidak melanjutkan perkara itu), karena menerima suap dari orang tersebut dikenakan Pasal 419 KUHP, karena ia mengalpakan sesuatu yang berlawanan dengan kewajiban jabatannya (membuat proses verbal). Orang yang telah memberi uang suap itu dikenakan Pasal 209 KUHP.
(e)    Berdasar apa yang dikemukan di atas dihubungkan dengan Surat Dakwaan dan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan ini maka tidak pernah bisa dibuktikan bahwa pemberian uang Rp 1,3 Milyar memang diketahui dan dikendaki oleh Terdakwa LHI dan dimaksudkan agar Terdakwa LHI melalaikan kewajibannya. Kewajibannya di DPR adalah sangat tidak relevan dengan apa yang akan dituju oleh penyuap dengan memberikan uang Rp 1,3 milyar.
(f)    Bahwa berdasar fakta-fakta di persidangan Terdakwa LHI tidak menghendakitidak mengetahui dan tidak pernah menerima pemberian atau janji dari PT. Indoguna Utama.
(g)   Bahwa dalam unsur a quo, pemberian atau janji dikaitkan harus merupakan causa (sebab) yang mendorong Terdakwa LHI untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Bahwa hubungan antara apa yang diperbuat oleh Terdakwa LHI  dikaitkan dengan kewajiban dalam jabatan Terdakwa LHI, sama sekali tidak ada kausalitasnya. Perbuatan berupa pertemuan di Restoran Steak Angus, memfasilitasi pertemuan Medan, mempertemukan Maria dengan Menteri Suswono tidak ada sinkronisasi maksud antara maksudnya Terdakwa LHI dengan Maksudnya Maria Elizabeth Liman. Pertemuan tersebut hanya membicarakan mengenai tingginya harga daging sapi, beredarnya daging celeng di masyarakat serta informasi tentang perusahaan importir yang menjualbelikan kuota, yang berbeda dengan maksud Maria ingin membicarakan penambahan kuta impor.
Bahwa kewajiban Terdakwa LHI selaku Penyelenggara Negara (anggota DPR-RI) yaitu sebagaimana diatur didalam UU  Nomor 27 tahun 2009, yaitu Tugas dan wewenang Anggota DPR yaitu :
Pasal 71 :
s.     menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat.
Pasal 72 :
(1)   DPR dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berhak meminta Pejabat Negara, Pejabat Pemerintah, Badan Hukum atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan bangsa dan negara
Pasal 79 :
Anggota DPR mempunyai kewajiban :
j.     menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat
Ketentuan-ketentuan tersebut dihubungkan dengan perbuatan Terdakwa LHI sebagaimana di atas, maka dapat ditarik kesimpulan:
1.    Bahwa meskipun Terdakwa LHI melahaikan kewajibannya sebagai anggota DPR tidak akan mempunyai manfaat bagi Maria Elizabeth Liman atau PT. Indoguna Utama.
2.    Bahwa perbuatan yang dilakukan Terdakwa LHI bukan untuk kepentingan satu perusahaan tertentu c.q. PT. Indoguna Utama, melainkan untuk kepentingan masyrakat luas akibat mahalnya harga daging, kelangkaan daging sapi dan beredarnya daging celeng dan tikus di masyarakat, sehingga perbuatan Terdakwa LHI masih dalam ruang lingkup kewajiban dalam jabatannya selaku anggota DPR; meskipun demikian tetap tidak hubungannnya dengan maksud Maria.
3.    Bahwa Terdakwa LHI tidak menghendakitidak mengetahui dan tidak pernah menerima pemberian atau janji dari PT. Indoguna Utama, sehingga perbuatan yang dilakukan Terdakwa LHI tidak dilakukan atau tidak didorong dengan motif janji atau pemberian dari satu perusahaan tertentu c.q. PT. Indoguna Utama.
Berdasar uraian di atas, bahwa unsur diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya bertentangan dengan kewajibannya tidak terbukti dan tidak terpenuhi.
BAB IV
ANALISIS YURIDIS
Majelis Hakim yang kami muliakan
Saudara Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati
Dalam bab ini pembahasan tentang Analisis Yuridis akan kami sampaikan dengan sistimatika sebagai berikut ;
A.DAKWAAN TIPIKOR

1. PERTAMA dan KEDUA ; PASAL 12 a dan Pasal 5
a.  UNSUR KESEPAKATAN
Unsur pertama dan utama dakwaan pasal 12.a maupun Pasal 5 adalah “pegawai negeri atau penyelenggara negara” yang menerima hadiah atau janji.
Persidangan telah membuktikan bahwa Terdakwa LHI adalah sebagai Anggota DPR RI periode 2009 – 2014, sehingga perihal apakah Terdakwa LHI “pegawai negeri atau penyelenggara negara”, tidak ada kontroversi.
Masalahnya apakah Terdakwa LHI selama menjadi anggota DPR pernah menerima hadiah atau janji? Baik Pasal 5 maupun Pasal 12.a, yang didakwakan ini telah dirumuskan secara alternatif, berarti Terdakwa LHI bisa dipersalahkan jika ; salah satu dari perbuatan menerima hadiah atau menerima janji terbukti.
Dalam kontek dakwaan Pasal 12.a dan Pasal 5 ini, Penuntut umum telah mendakwa Terdakwa LHI dengan rumusan menerima hadiah Rp 1.300.000.000 (Rp 1,3 Milyar)darikeseluruhan uang yang dijanjikan sejumlah Rp.40.000.000.000,- (Rp 40 milyar)dari Maria Elizabeth Liman
Sebagaimana yang telah kami kupas dalam bab-bab sebelumnya, persidangan ini tidak berhasil membuktikan adanya pemberian hadiah Rp 1,3 milyar dari Maria kepada Terdakwa LHI, yang terbukti hanyalah penerimaan uang Rp 1,3 Milyar oleh Ahmad Fathanah yang tidak pernah sampai keTerdakwa LHI. Dengan demikian unsur “menerima hadiah” tidak terbukti.
Perihal janji pemberian Rp 40 milyar kepada Terdakwa LHI, Maria bersaksi dibawah sumpah tidak pernah berjanji demikian. Persidangan ini hanya berhasil membuktikan bahwa adanya janji Rp 40 Milyar datangnya hanya dari Fathanah bukan dari Maria. Dengan demikian unsur bahwa Terdakwa LHI pernah menerima janji juga tidak terbukti karena apa yang disampaikan oleh Fathanah bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh Maria di persidangan perihal janji a quo.
Ahli, Dr Mudzakir, mengatakan di persidangan ini bahwa delik suap dalam pasal 12 a dan Pasal 5 mensyaratkan adanya unsur kesepakatan.  Berarti suap harus dilakukan sebagai hasil kesepakatan antara pemberi suap dengan pegawai negeri/penyelenggara negara sebelum pemberi suap memperoleh sesuatu yang diinginkannya.
Jadi di persidangan ini harus membuktikan, bahwa Terdakwa LHI telah menerima “suap” dari Maria dan bahwa “suap” tersebut adalah hasil dari“kesepakatan”antara Maria dengan Terdakwa LHI. Ternyata persidangan ini tidak pernah bisa membuktikan secara sah dan meyakinkan adanya suap maupun kesepakatan tersebut. Suap Rp 1, 3 Milyar, yang menerima bukan Terdakwa LHI namun Ahmad Fathanah, adanya kesepakatan juga tidak terbukti karena hanya bersumber dari apa yang dikatakan oleh seorang saksi Ahmad Fathanah saja.
b.  UNSUR KAUSALITAS
Keharusan adanya kesepakatan pada kasus suap Pasal 12 a dan Pasal 5 juga disampaikan ahli yang lain bernama Chairul Huda ketika memberikan keterangan ahlinya di Pengadilan Tipikor dalam kasus yang berbeda yaitu kasusnya M. Nazarudin. Disamping keharusan adanya kesekapatan, Chairul Huda menambahkan adanya syarathubungan sebab akibat (kausalitas) antara pemberian dengan perbuatan yang dilakukan si penerima hadiah.
Jadi perihal bukti adanya penerimaan hadiah atau kesepakatan, meskipun mungkin pengadilan ini berpendapat lain, maka kausalitas antara Terdakwa LHI sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan pemberi hadiah harus ada. Ini artinya adalah apakah antara Terdakwa LHI sebagai anggota DPR ada hubungannya dengan pemberian hadiah atau janji dari Maria (kalau memang benar pernah ada, quad non).
Bunyi dakwaannya adalah dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya.
Berarti ini adalah soal jawaban atas pertanyaan apakah yang menjadi ketertarikan (motivasi) Maria untuk memberi hadiah atau janji kepada seorang anggota DPR ? Sebab apapun yang mampu dilakukan oleh seorang anggota DPR seperti Terdakwa LHI, baik berupa perbuatan aktif maupun pasif, kalaupun perbuatan itu bertentangan dalam jabatannya, tidak ada yang dapat menguntungkan Maria sebagai pemberi hadiah atau janji (jika betul memang ada hadiah/janji tersebut).
Dengan kata lain, perbuatan Terdakwa LHI sebagai anggota DPR , jikapun ia bersida melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajibannya tidak akan ada hubungannya dengan maksud Maria , sebagaimana yang didakwakan, bermaksud memperoleh persetujuan dari Menteri Pertanian berupa rekomendasi penambahan kuota import daging saping.
Menurut Winatuningtyastiti, Sekjen DPR RI, yang bersaksi pada hari Senin 11 November 2013, pada pokoknya memberikan kesaksian bahwa Terdakwa LHI adalah anggota DPR di Komisi I, yaitu berurusan dengan bidang Pertahanan, Luar Negeri, BIN dan Kominfo. Mitra kerjanya adalah beberapa Kementrian dimana Kementrian Pertanian adalah bukan merupakan mitra kerjanya. Dengan demikian tidak mungkin Maria Elizabeth Liman mempunyai motif untuk menyuap Terdakwa LHI sehingga antara suap yang didakwakan dengan jabatan Terdakwa LHI sama sekali tidak mempunyai kausalitas.
Dengan demikian suap yang didakwakan (Pasal 12.a dan Pasal 5) hanya dimungkinkan dalam hubungannya Terdakwa LHI sebagai selaku Presiden PKS. Namun sebagaimana diketahui Presiden PKS bukanlah pegawai negeri maupun penyelenggara negara , dengan demikan unsur pidana berupa “pegawai negeri atau penyelenggara negara” tidak terpenuhi. Sedemikian maka DAKWAAN KESATU pertama dan Kedua tidak terbukti.

2.  KETIGA ; PASAL 11
Berbeda dengan Pasal 12 a dan Pasal 5 maka dalam pasal 11 ini tidak memerlukan adanya sebuah kesepakatan antara pemberi suap dan pegawai negeri atau penyelenggara negara. Yang penting telah terjadi penerimaan hadiah atau janji yang diketahui atau patut diduga pemberian itu karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya atau menurut pemberi suap ada hubungan dengan jabatannya.
Jadi pasal ini diterapkan pada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji sebagai ucapan terimakasih, tanpa ada kesepakatan sebelumnya, namun pemberian ini ada hubungannya dengan jabatan si pegawai negeri tersebut.
Sebagaimana dalam uraian kami pada Dakwaan Pertama dan Kedua diatas maka fakta bahwa Terdakwa LHI adalah anggota DPR komisi I, jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang didakwakan oleh Penuntut Umum atas maksud Maria Elizabeth Liman.
Menurut Ahli, Dr Mudzakir,“patut diduga” disini yang menduga adalah “pemberi suap” bukan “penerima”. Sehingga dugaan “Maria Elizabeth Liman” haruslah bisa dibuktikan oleh Penuntut Umum. Di persidangan ini yang terbukti adalah Terdakwa LHI sebagai Presiden PKS, fakta bahwa Terdakwa LHI adalah sebagai anggota DPR tidak pernah dihubungkan dengan Uang Rp 1,3 milyar maupun janji yang Rp 40 milyar.
Sebagaimana Dakwaan Pertama dan Kedua, unsur adanya hadiah maupun janji pada Dakwaan Ketiga juga tidak terbukti sehingga kami kerkeyakinan bahwa Penuntut Umum telah gagal membuktikan Dakwaan Ketiga secara sah dan meyakinkan.
B.DAKWAAN TPPU
1.     Sebagaimana kita ketahui terhadap dugaan adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),  Terdakwa LHI didakwa dengan dua (2) Undang-Undang yang berbeda. Yaitu:
(1)   UU15 Tahun 2002 tentang TPPU sebagaimana telah dirubah dengan UU 25 Tahun 2003 (UU 15/2002 jo 25/2003)  dan
(2)  Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan TPPU (UU No 8/2010 ).
UU 15/2002 jo 25/2003 diberlakukan pada Dakwaan Kedua dan Dakwaan Ketiga sedangkan UU no 8/2010 pada Dakwaan Keempat dan Dakwaan Kelima.
2.      Pada kesempatan ini kami tetap mempermasalah pemberlakukan UU no 15/2002 jo 25/2003 pada Dakwaan Kedua dan Dakwaan Ketiga, karena secara materiil (sebetulnya) melanggar asas legalitas. Meskipun perihal yang sama sudah pernah ada preseden sebelumnya, antara lain dalam kasusnya Irjen Djoko Susilo, namun kami ingin menyampaikan argumen yang berbeda.
Sebagaimana diungkapkan dalam Dakwaan Kedua dan Ketiga, harta kekayaan yang dipermasalahkan oleh Penuntut Umum adalah harta kekayaan yang diperoleh Terdakwa LHI sebelum berlakunya UU No 8/2010.
Meskipun atas dasar ketentuan Pasal 95- UU No 8/2010 diperbolehkan memberlakukan UU 15/2002 jo 25/2003, namun sebetulnya Undang-Undang ini telah kehilangan legitimasinya. Pada bagian konsideran kita bisa mempelajari ”ratio legis” mengapa UU No 8/2010 diundangkan menggantikan Undang-Undang sebelumnya, yaitu UU 15/2002 jo 25/2003. Pada konsideran huruf ”b” dikatakan untuk menjamin kepastian hukum. Secara a-contrario berarti  UU 15/2002 jo 25/2003 tidak memberikan jaminan kepastian hukum. Pada konsideran huruf ”c” pada pokoknya dinyatakan bahwa  UU 15/2002 jo 25/2003 sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum, tidak sesuai dengan praktik dan standar internasional sehingga oleh UU No 8/2010 dipandang perlu untuk diganti.
3.      Atas dasar uraian kami pada butir 2 diatas maka kami berpendapat Terdakwa LHI telah didakwa dengan Undang Undang, yaitu UU 15/2002 jo 25/2003  yang seharusnya telah dicabut dan tidak berlaku lagi dengan lahirnya UU No 8/2010, karena UU No 8 /2010 dengan jelas dan tegas  menyatakan UU 15/2002 jo 25/2003”perlu diganti”. Secara formil, memang Terdakwa LHI didakwa dengan Undang-Undang yang masih berlaku namun secara materiil Terdakwa LHI sedang diadili atas dasar UU No 8/2010 yang diberlakukan secara surut pada peristiwa yang terjadi sebelum UU No 8/2010. Karena dalam hukum pidana menganut asas kebenaran materiil maka mendasarkan pada asas ini, secara materiil pula sebenarnya pemberlakuan UU 15/2002 jo 25/2003 terhadap Terdakwa LHI bersifat retroaktif.
4.     Peradilan kita menganut asas Non-Retroaktif sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28-I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi dalam keadaan apa pun (non degradable rights).  Sebagaimana Pengadilan Tipikor ini telah menafsirkan adanya wewenang KPK untuk menuntut TPPU, dengan logika penafsiran yang sama berarti dapat dikatakan, bahwa Terdakwa LHI secara materiil telah dituntut oleh KPK atas dasar Undang Undang yang berlaku surut.
5.     Pemberlakuan surut suatu Undang Undang berarti juga merupakan pelanggaran atas asas legalitas, yang secara tegas dinyatakan pada Pasal 1 1 ayat (1) KUHAP “Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada” (nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli). Sebagai catatan penting, perlu diulang kembali, bahwa saat UU 15/2002 jo 25/2003 diundangkan, KPK belum terbentuk. KPK dibentuk tanggal 27 Desember 2002 sedangkan UU 15/2002 jo 25/2003 diundangkan pada tanggal 17 April 2002, sehingga secara defakto, sebetulnya KPK telah menuntut Terdakwa LHI secara retroaktif. Yang kami ingin katakan adalah bahwa KPK telah mengada-ada dalam perburuannya terhadap harta kekayaan dan transaksi keuangan Terdakwa LHI.
6.     Tentang unsur ”patut diduga dari hasil kejahatan” pada Dakwaan Kedua dan Ketiga. Dugaan seperti ini menurut pendapat kami tidak pada tempatnya, mengingat dalam kurun waktu tersebut dalam Dakwaan Kedua dan Ketiga ( 2004 – 2009) Terdakwa LHI adalah pengusaha sukses. Persidangan ini telah membuktikan bahwa Terdakwa LHI adalah pemegang saham mayoritas pada PT. Sirat Inti Buana. Menurut kesaksian Deli Agustin Pratama di persidangan ini, omzetnya dalam kurun waktu tersebut setiap tahun Rp 35 milyar lebih, bahwa ada pada tahun 2005 dan 2006 omzetnya +/- Rp 70 milyar sehingga memenuhi profil kekayaan dan transasi yang didakwakan dalam Dakwaan Kedua maupun Dakwaan Ketiga.
7.     Mengenai isu kewenangan KPK menuntut TPPU, Pengadilan ini telah menyampaikan sikapnya dalam putusan selanya, baik dalam kasus ini maupun dalam kasus sebelumnya. Namun kami merasa perlu membahas lagi pada kesempatan ini perihal kewenangan KPK karena terdapat hal yang menarik perhatian kami, yaitu adanya dua anggota dari 5 Majelis Hakim telah menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dalam putusan selanya, yaitu yang muliaI Made Hendra dan yang mulia Joko Subagyo. Keduanya menganggap penuntut umum KPK tidak berwenang menuntut perkara TPPU. Kebetulan ketertarikan kami pada dissenting opinion ini didukung juga oleh pendapat Ahli Dr. Muzakir, SH, Mhum dipersidangan ini, yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : Ahli Dr. Mudzakir mengatakan berdasarkan undang-undang yang berlaku saat ini (UU No 8/2010), kewenangan KPK terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) terbatas kepada penyelidikan dan penyidikan.
Menurut Ahli, penyelidikan dan penyidikan itu pun terbatas terhadap TPPU yang diduga berkaitan dengan kasus korupsi saja. Menurut Ahli, KPK tidak berwenang melakukan penuntutan TPPU terhadap seorang tersangka korupsi.
8.     Dua anggota majelis hakim dan seorang Ahli yang telah berpendapat bahwa KPK tidak mempunyai kewenangan menuntut TPPU tersebut berbeda dengan keterangan Ahli Yunus Husein (Mantan Kepala PPATK) yang dihadirkan dipersidangan oleh Penuntut Umum. Ahli Yunus Husein berpendapat bahwa : KPK mempunyai kewenangan menuntut TPPU, meskipun diakuinya UU No 8/2010 tidak memberikan kewenangan secara ekplisit.
9.     Pendapat Ahli Yunus Husein bahwa KPK mempunyai wewenang penuntutan atas kasus TPPU didasarkan pada penafsiran atas Pasal 68 UU No 8/2010 yang dihubungkan dengan Pasal 75. Menurut Ahli, Pasal 75 ini adalah dasar Hukum Acara bagi penuntutan TPPU bagi Jaksa KPK. Jika sedang menyidik kasus korupsi ditemukan bukti awal adanya TPPU maka penyidikkannya digabungkan kemudian penuntutannya dilakukan oleh penuntut umum Jaksa KPK, karena menurut Ahli, hal ini karena masalah efisiensi, dan sesuai pula dengan asas cepat, sederhana, dan biaya murah. Dalam kontek ini Ahli juga menyampaikan pendapat bahwa bahwa hukum formal boleh ditafsirkan namun hukum materiil tidak boleh. Pendapat Ahli yang lain sehubungan dengan kewenangan ini adalah ;  bahwa Jaksa di KPK dan Jaksa di Kejaksaan Agung sama-sama mempunyai kewenangan untuk menuntut TPPU karena Jaksa yang dipekerjakan di KPK tidak pernah diberhentikan dari Kejaksaan Agung.
10.   Atas dasar keterangan ahli Yunus Husein tersebut, perkenankanlah kami menguji kredibilitas keterangannya sebagai berikut ;
(10.1) Pendapat Ahli bahwa hukum formil boleh ditafsirkan sementara hukum materiil adalah tidak boleh, oleh yang mulia I Made Hendra pendapat tersebut dikoreksi, menurut yang mulia pendapat itu terbalik, karena yang mungkin ditafsirkan adalah justru hukum materiil sedang hukum formil tidak.
(10.2) Pendapat ahli bahwa Jaksa di KPK dan Jaksa di Kejaksaan Agung sama-sama boleh menuntut TPPU karena menurut Ahli Jaksa yang dipekerjakan di KPK tidak pernah diberhentikan dari Kejaksaan Agung, tidak memberi kejelasan makna. Makna yang bisa kami tangkap adalah bahwa menurut Ahli diperbolehkannya Jaksa KPK melakukan penuntut TPPU karena Kejaksaan adalah satu kesatuan (een ondeelbaar, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3) UU No 16/2004 tentang Kejaksaan RI). Pendapat ahli ini juga memperoleh koreksi dari yang mulia I Made Hendra, menurut hakim anggota ini, dengan mendasarkan pada Pasal 39 (3) KPK,  penuntut umum pada KPK diberhentikan sementara dari instansi Kejaksaan selama menjadi pegawai KPK, sehingga pendapat Ahli bahwa bahwa Jaksa di KPK diberkentikan dari Kejaksaan Agung adalah sama sekali keliru.
(10.3)  Kekeliruan pendapat Ahli juga bisa dilihat dari kenyataan Pasal 39 ayat 2 UU tentang KPK; yang menyatakan bahwa penuntutan dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama KPK. Dengan demikian pendapat ahli yang mempersamakan kewewenang antara jaksa di KPK dan Jaksa di Kejaksaan Agung adalah keliru.
(10.4) Kewenangan penegak hukum untuk bisa merampas kemerdekaan warga negara, menurut Ahli Mudzakir,  tidak boleh diperoleh hanya atas dasar penafsiran, harus atas dasar ketentuan Undang-Undang yang dinyatakan secara eksplisit. atas dasar penafsiran (Mudzakir namun harus lahir secara eksplisit dari UU. Pendapat ini juga didukung oleh pendapatnya Prof ROMLI ATMASASMITA (Kompas 31 juli 2013) yang mengatakan bahwa rumusan terbaik dalam UU Pidana adalah berpijak pada asas lex scripta, lex stricta, dan lex certa, termasuk penyusunan UU TPPU, sehingga ketiadaan penegasan bahwa jaksa KPK diberikan wewenang penuntutan perkara TPPU berakibat pada tidak adanya alas hukum yang sah bagi jaksa KPK menuntut perkara TPPU.
(10.5)  Alasan Ahli Yunus Husein bahwa meskipun tidak secara eksplisit Jaksa KPK diberikan kewenangan penuntutan perkara TPPU namun demi asas efisiensi, yaitu asas cepat, sederhana, dan biaya murah dapat dibenarkan. Pendapat ini memperoleh kritikan dari Yang Mulia Hakim anggota yang muliaI Made Hendra, dengan mengatakan, jika bicara hukum acara (formal) harus hanya mendasarkan pada yang tertulis dengan tegas jika soal kewenangan suatu instansi, jika semua instansi boleh menafsirkan kewenangan maka berarti polisi juga demi efisiensi berwenang melakukan penuntut, kan celaka negara ini. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Ahli Mudzakir dengan memberikan ilustrasi tentang peristiwa petrus (penembakan secara misterius terhadap tokoh-tokoh yang diperkirakan sebagai penjahat). Yang dapat diartikan dari ilustrasinya Ahli Mudzakir adalah bahwa alasan efisiensi tidak dibenarkan jika tidak didasari dengan kewenangan yang ditentukan secara tegas (eksplisit) dalam Undang-Undang.
11.   Sehubungan dengan pendapat ahli Yunus Husen perihal Pasal 68 jo Pasal 75, Prof Romli (Kompas cetak, 31 Juli 2013) mengatakan ; Pada Pasal 68 UU TPPU tersurat ungkapan “kecuali ditentukan lain dalam UU (TPPU) ini“. Kata “ini” harus ditafsirkan bahwa sepanjang tidak ditentukan lain dalam UU TPPU, bukan pada UU lain, sehingga tidak tepat dirujuk pada UU KPK. Arah Pasal 68 UU TPPU bukan pada UU KPK, melainkan pada UU TPPU. Kekecualian pada Pasal 68 UU TPPU adalah bahwa penyidikan perkara TPPU dapat juga dilakukan penyidik KPK, Kejaksaan, BNN, Ditjen Bea dan Cukai, dan Ditjen Pajak, dan tidak termasuk wewenang penuntutan khusus pada KPK, kecuali bagi Kejaksaan.
Pasal 75 UU TPPU hanya memberi mandat kepada penyidik asal untuk menggabungkan dengan penyidikan TPPU bukan penuntutan. Tidak ada satu pun penjelasan umum atau penjelasan pasal dalam UU TPPU 2010 yang memuat penjelasan kepala PPATK dalam artikel itu sehingga menjadi tanda tanya apakah kekosongan hukum pada wewenang KPK untuk melakukan penuntutan TPPU merupakan kekeliruan atau kelalaian atau mungkin kesengajaan tim penyusun UU TPPU tahun 2010.
12.   Bahwa untuk Dakwaan Keempat dan Dakwaan Kelima, Terdakwa LHI didakwa masing-masing dengan Pasal 3 dan Pasal 5 UU No 8/2010. Bahwa
untuk kedua dakwaan ini maka kami mempermasalahkan adanya kejahatan asal (Predicate crime). Karena sesungguhnya tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana yang keberadaannya baru terjadi setelah adanya tindak pidana yang mendahuluinya, yaitu tindak pidana asal. Dari tindak pidana asal (predicate crime) ini diperoleh harta kekayaan. Prof. Badar nawawi Arief menyebutnya sebagai hasil kejahatan (criminal proceeds). Hasil tindak pidana atau hasil kejahatan (criminal proceeds) inilah yang kemudian “dicuci” seolah-olah merupakan harta kekayaan yang diperoleh secara sah, sehingga terjadilah tindak pidana pencucian uang (money laundering). Sebagai tindak pidana ikutan (following crime),dengan demikian maka tindak pidana pencucian uang baru ada kalau sebelumnya ada tindak pidana asal.
13.   Masalahnya apakah untuk menjatuhkan putusan TPPU harus lebih dahulu dibuktikan adanya predicate crime ? Kami akan menyampaikan beberapa pendapat ahli sebagaimana dimuat dalam putusan MAHKAMAH AGUNG Nomor 1454 K/PID.SUS/2011 Tahun 2011 atas namaDR. Drs. BAHASYIM ASSIFIE, M.Si. bin KHALIL SARINOTO sebagai berikut:
(13.1) AHLI DR. YENTI GARNASIH, SH.MH. ; Bahwa ahli menerangkan terhadap perbuatan yang merupakan tindak pidana pencucian uang artinya ada 2 (dua) kejahatan yakni kejahatan pertama dan kejahatan kedua yang bila dibagi akan terdiri dari kejahatan pertama dan kejahatan pencucian uang ; untuk mulai penyidikan tidak perlu dibuktikan pidana- asalnya terlebih dahulu, namun dalam surat dakwaan harus dicantumkan dari kejahatan apa sumber keuangan berasal, dan hakim yang menyidangkan perkara TPPU harus betul-betul menunjukkan keyakinannya bahwa Pidana Asal terbukti.
(13.2) AHLI DR. RUDY SATRIO MUKANTARDJO, SH.MH. ; Bahwa ahli menerangkan terhadap perbuatan yang merupakan tindak pidana pencucian uang maka harus ada kejahatan lebih dahulu, jika tidak maka tidak ada TPPU.
(13.3) AHLI SUBINTORO, SH.MH.; Bahwa untuk mengungkap perkara money loundring harus ada tindak pidana asalnya sebagai-mana yang diatur pada Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
(13.4) AHLI DR. DIAN ADRIAWAN, SH.MH; Bahwa secara normatif harus ditentukan lebih dahulu apakah perbuatan money loundring perlu dibuktikan lebih dahulu predicate crimenya sebagai sarana utama mendakwa seseorang dalam kasus tindak pidana pencucian uang.
(13.5) AHLI PROF. DR. ANDI HAMZAH, SH: Bahwa untuk Tindak Pidana Pencucian Uang intinya harus ada tindak pidana asalnya dulu dan tindak pidana asalnya itu harus dibuktikan terlebih dahulu, kalau tidak dapat dibuktikan tindak pidana asalnya, maka berarti harus dikatakan/dinyatakan tidak ada pidana pencucian uang karena tindak pidana pencucian uang itu ada karena diawali dengan adanya tindak pidana asal ;
14.   Bahwa pendapat “predicate crime” harus ada lebih dahulu telah didukung oleh 5 ahli diatas, juga diperkuat dengan Ahli Mudzakir dalam persidangan. Ahli Mudzakir menjelaskan pasal 2 merupakan kejahatan asal dari TPPU atau TPPU pasal 3 pasal 4 sebagai dan juga pasal 5 itu baru ada jika ada pasal 2.  Jika tidak ada pasal 2 maka tidak mungkin ada pasal 3, pasal 4, pasal 5. Jadi menurut Ahli harus ada predicate crime baru kejahatan ini dijadikan dasar untuk memperkarakan seseorang atas dasar  pasal 3, pasal 4 atau Pasal 5.
15.   Tentang pembuktian terbalik. Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Dian Adriawan, berpendapat pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dapat diberlakukan setelah jaksa bisa membuktikan kejahatan asal usul harta kekayaan. Jika jaksa tak bisa membuktikan, majelis dapat membebaskan terdakwa.“Apabila jaksa tidak bisa membuktikan predicate crime maka dakwaan tidak terbukti dan beban pembuktian terbalik tidak bisa ke terdakwa dan hakim harus membebaskan. Kalau jaksa bisa membuktikan, baru pembuktian terbalik dberlakukan ke terdakwa,” (Hukum Online; Selasa 14 Desember 2010).
BAB V
PENUTUP
Majelis Hakim Yang Mulia
Jaksa Penuntut Umum Yang Terhormat.
Dan Hadirin sekalian Yang Juga kami hormati,
Seorang ahli ilmu politik dari Universitas Gajah Mada, Dr. Siti Mutiah Setiawati, MA mengatakan, “Korupsi adalah kejahatan yang luar biasa, tetapi menuduh orang yang tidak bersalah telah melakukan korupsi adalah kezaliman yang sangat luar biasa.”
Majelis Hakim yang kami muliakan,
Sebelum kami melanjutkan dengan permohonan kami, perkenankanlah kami menyampaikan masalah yang sifatnya penting namun diluar materi pokok, yaitu soal kemandiran peradilan. Kami katakan penting karena kemandiran peradilan adalah merupakan amanat konstitusi kita (Pasal 24 ayat 1 UUD 1945).
Perihal kemandiran peradilan ini telah kami kemukakan sejak awal persidangan sebagai ungkapan keprihatinan kami ketika dengan berat hati kami terpaksa mempermasalahkan tentang susunan majelis hakim. Sebagaimana kita ketahui  dalam perkara yang sama, tentang kuota importasi daging sapi, telah disidangkan dalam berkas yang berbeda, dengan komposisi majelis hakim yang disusun secara tumpang tindih (Overlapping) untuk masing-masing berkas perkara.
Kami berpendapat sistem penyusunan majelis hakim melalui penetapan ketua Pengadilan telah menimbulkan benturan kepentingan dan tanpa disadari telah dan akan menghilangkan kemandirian hakim.
Pada dua (2) persidangan lainnya, dalam perkara yang sama, vonis telah dijatuhkan ketika perkara Terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) tengah diperiksa. Yaitu perkaranya dua direktur PT. Indoguna (Arya Effendi dan Juard Effendi) dan perkaranya Ahmad Fathanah. Dalam perkara Indoguna, kedua terdakwa telah diputus bersalah karena dianggap telah terbukti menyuap Terdakwa LHI. Dalam perkara ini ketua majelisnya adalah anggota majelis hakim dalam perkara Terdakwa LHI, yaitu yang mulia Purwono Edi Santoso. Sementara itu dalam perkaranya Ahmad Fathanah, ketua majelis dan dua anggota majelisnya adalah juga merupakan anggota majelis hakim dalam perkara Terdakwa LHI, yaitu yang mulia Nawawi Pomolango, Yang Mulia I Made Hendra dan yang mulia Joko Subagyo.
Sebagaimana kita ketahui dalam kasusnya Fathanah Majelis Hakimnya telah menjatuhkan vonis yang pada pokoknya menyatakan Fathanah secara bersama-sama dengan Terdakwa LHI telah terbukti melakukan korupsi.                 Dengan demikian, dari 5 (lima) Majelis Hakim pada perkara Terdakwa LHI, maka 4 hakim diantaranya telah mempunyai sikap tentang kesalahan Terdakwa LHI. Dengan kata lain, mayoritas majelis hakim perkara Terdakwa LHI sudah berkeyakinan bahwa Terdakwa LHI bersalah sebelum putusan pengadilan ini memutuskan demikian. Disinilah letak benturan kepentingan dan hilangnya kemandirian hakim. Satu hakim anggota yang merupakan Ketua Majelis dalam perkara Arya dan Juard serta tiga (3) hakim anggota perkara Terdakwa LHI yang juga merupakan Ketua dan anggota majelis dalam perkara Fathanah, oleh karenanya tidak mungkin dan sulit diharapkan untuk bisa bersikap mandiri dalam perkara ini, karena tentu telah terpengaruh oleh putusan yang dibuatnya dalam perkara terdahulu yang telah berkeyakinan akan keterlibatan Terdakwa LHI pada kesalahan yang diperbuat oleh Arya, Juard dan Fathanah.
Bahwa keempat anggota majelis tersebut jelas berada pada posisi berbenturan (konflik) antara kepentingan harus netral pada perkara ini dan kepentingan harus konsekuen dengan putusan yang telah dibuat sebelumnya pada perkara Arya Cs dan Fathanah yang pada pokoknya telah juga mempersalahkan Terdakwa LHI.
Selain dari masalah benturan kepentingan dan kemandirian hakim maka keyakinan keempat hakim anggota majelis juga telah merubah suasana persidangan dari yang seharusnya menurut asas KUHAP adalah praduga tak bersalah (presumption of innocent) menjadi praduga bersalah (presumption of guilt).
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan
Mohon kiranya dipahami kami tidak sedang mengkritisi profesionalisme Majelis Hakim yang sedang mengadili Terdakwa LHI, namun kami mengkritisi sistem dan pelaksanaan penetapan sususnan majelis.
Ketidakmandirian hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak terlepas dari sejarah terbentuk Pengadilan Tipikor untuk pertama kalinya. Pengadilan Tipikor sejak awal memang sudah berada pada posisi tidak mandiri. UU Nomor 30 tahun 2002 yang merupakan dasar hukum terbentuknya KPK juga merupakan dasar hukum bagi terbentuknya Pengadilan Tipikor untuk pertama kali (Pasal 53 UU KPK).
Pengadilan Tipikor yang dibentuk atas dasar UU KPK ini dikatakan tidak mandiri karena pada dasarnya diberikan tugas yang sama oleh pembentuk undang-undang untuk memberantas korupsi (Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 30 tahun 2002). Sehingga jika Pengadilan Tipikor memutus berbeda dengan semangat KPK maka Pengadilan Tipikor akan dianggap anti pemberantasan korupsi. Dalam keadaan yang demikian terjadi tekanan psikologis terhadap hakim Pengadilan Tipikor harus memutus bersalah terhadap terdakwa yang dihadapkan ke pengadilan Tipikor oleh KPK.
Kampanye KPK perihal pemberantasan korupsi juga secara psikologis telah mempengaruhi imparsialitas peradilan dan telah mempengaruhi pendapat umum di masyarakat.
Hakim dalam suasana psikologis seperti itu, akan sulit diharapkan bisa bersikap mandiri ketika berhadapan dengan terdakwa. Jika hakim sampai membebaskan terdakwa maka hakim akan dianggap sebagai anti pemberantasan korupsi dan berpihak kepada koruptor, sebaliknya, jika menghukum Terdakwa nanti dikira karena takut pada pendapat masyarakat, padahal Hakim telah menjalankan tugasnya dengan benar. Keadaan serba salah inilah yang kami maksud sebagai hilangnya kemandirian hakim.
Kewajiban hakim untuk bersikap mandiri berarti hakim terikat  untuk memutus perkara hanya atas dasar ketentuan undang-undang. Menurut KUHAP sistem pembuktian yang dianut adalah Negatief Wettelijk Stelsel, yaitu metode pembuktian yang paling sulit diantara empat ajaran tentang pembuktian.
Menurut KUHAP, untuk membuktikan seorang bersalah harus diperoleh 2 alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim. Artinya jika terdapat bukti menurut undang-undang bahwa terdakwa bersalah, namun hakim tidak memperoleh keyakinan maka terdakwa harus dibebaskan. Demikian juga jika seorang hakim berkeyakinan terdakwa bersalah namun menurut undang-undang terdakwa tidak terbukti bersalah maka terdakwa juga harus dibebaskan.
Intinya, meskipun seorang jelas-jelas kelihatan bersalah, namun menurut KUHAP, adalah sangat sulit untuk membuktikan seorang bersalah. Dengan demikian, seharusnya lebih banyak putusan bebas daripada putusan untuk menghukum. Namun, karena ada suasana psikologis yang mengatakan, jika membebaskan terdakwa dicurigai adanya judicial corruption, maka praktek pengadilan kita lebih baik menjatuhkan putusan bersalah dari pada dituduh korupsi. Atau dengan kata lain, jika hakim bersikap mandiri maka sebetulnya akan lebih banyak terdakwa yang dibebaskan dari pada yang dihukum, karena sulitnya membuktikan kesalahan terdakwa.
Keadilan harus kita maknai sebagai keadaan yang netral dan proporsional. Perkara yang masuk ke pengadilan harus memberi kemungkinan yang sama bagi terdakwa untuk menerima hukuman atau dibebaskan dari hukuman. Jika tidak demikian maka tidak ada kemandirian peradilan.
Kemandirian atau independensi peradilan memperoleh maknanya jika terdapat kenyataan bahwa lembaga peradilan adalah tempat terjadinya keputusan penghukuman jika terdakwa bersalah dan pembebasan jika terdakwa tidak bersalah. Sehingga statistiknya harus seimbang (50 banding 50) antara mereka yang dihukum dengan mereka yang dibebaskan. Jika kenyataannnya yang dihukum lebih banyak, atau bahkan jauh lebih banyak dari yang dibebaskan maka ini petunjuk tidak adanya kemandirian hakim.
Terdakwa LHI yang saat ini duduk dihadapan yang mulia Majelis hakim sebagai terdakwa, benar-benar menaruh harapan dipundak majelis hakim agar kiranya dapat menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya.
Bagi Terdakwa LHI seorang politikus yang merintis karier politiknya dari bawah, sama sekali tidak terbayangkan bahwa diujung perjalanan kariernya sebagai Presiden Partai dan sebagai wakil rakyat di DPR, harus mengalami kenyataan duduk sebagai Terdakwa dengan tuduhan yang tentunya sangat menyinggung harga diri dan kehormatannya, yaitu korupsi dan melakukan pencucian uang, yang kemudian oleh yth JPU telah dituntut agar dimasukkan dalam penjara dan dipisahkan dari keluarga dan kerabatnya selama 18 tahun, ya selama 18 tahun, waktu yang demikian panjang.
Angka 10 ditambah 8 tahun penjara tersebut diucapkan oleh JPU dengan enteng dan tanpa beban.
Lalu apa dan berapa jumlah uang yang telah dikorupsi, dinikmati dan kemudian dicuci  oleh Terdakwa LHI  sehingga  oleh JPU pada KPK Terdakwa LHI pantas dituntut untuk dijebloskan dalam penjara selama 18 tahun? Ternyata, baik dalam surat dakwaan dan kemudian dalam surat tuntutannya tidak ada sejumlah uang yang telah dikorup dan kemudian dinikmati oleh Terdakwa LHI yang dapat dikwalifisir sebagai hasil kejahatan yang dilakukan oleh Terdakwa LHI, sehingga tuntutan penjara selama 18 tahun tersebut benar-benar tuntutan bombastis yang jauh dari rasa keadilan.
Saat ini Terdakwa LHI tidak ada harapan lain rasanya selain berharap Majelis hakim pada akhirnya dapat memutus perkara ini dengan putusan yang seadil-adilnya, yang dengan itu kiranya nanti masyarakat serta khalayak ramai dapat pula menilai secara obyektif, apakah benar Terdakwa LHI telah melakukan perbuatan yang didakwakan.
Dalam setiap kasus pidana, meskipun sudah cukup 2 alat bukti yang sah, jika sedikit saja ada keraguan pada diri hakim, tentang apakah terdakwa pantas dihukum atau tidak, maka terdakwa haruslah dibebaskan, inilah yang terkenal dengan istilah “beyond reasonable doubt “ yang ekuivalen dengan asas “in dubio proreo”
Prof Oemar Seno Adji SH dalam bukunya HUKUM,HAKIM PIDANA menulis “bahwa Hakim Pidana bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap tedakwa secara tepat. Ia harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Ia harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan…….”
Sekarang, kearifan dan harapan untuk mendapatkan keadilan berada pada Majelis hakim yang kami muliakan.
Tentang bagaimanah seorang hakim harus menjalankan tugasnya, perlu kami kutipkan pendapat Adi Andojo Soetjipto, Mantan Ketua Muda MA, yang dimuat pada rubik Opini Harian Kompas pada hari Selasa tanggal 3 Desember 2013 kemarin, dengan judul MA dan Hukuman Berat.
Kalau mengenai ada hakim agung yang menambah hukuman kemudian lalu dia disanjung sebagai hakim yang berani dan dianggap pahlawan antikorupsi, hal itu menurut pendapat saya adalah ”salah besar”. Sebab, menjatuhkan putusan dengan menambah atau mengurangi hukuman itu adalah tugas hakim berdasarkan rasa keadilannya dan bukan untuk tujuan tertentu.

Tugas pokok seorang hakim adalah demikian, yakni menghukum terdakwa kalau ternyata terdakwa terbukti bersalah atau membebaskan terdakwa apabila ternyata terdakwa tidak terbukti bersalah. Dan, bahwa seorang hakim harus mempunyai sifat-sifat adil, jujur, berani, itu memang suatu conditio sine qua non bagi seorang hakim. Dan, apabila ada seorang hakim yang membebaskan terdakwa karena dianggap kesalahannya tidak terbukti, janganlah lalu dia dianggap sebagai hakim yang pengecut dan yang ”prokorupsi” (Andi Andoyo Soetjipto)
Selanjutnya sebagai bagian dari penutup ini ijinkanlah kami mengutip suatu ayat dalam Al Quran. Meskipun kami mengetahui sebagian dari kita bukan beragama Islam namun karena surat dari Allah ini mengandung suatu ajaran yang universal maka pada kesempatan ini perlu kami presentasikan pada acara pembelaan ini. Kalimat Allah yang kami maksud adalah Surat An Nisa ayat 135, yang terjemahannya adalah sebagai berikut;
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Alllah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”
Ayat Allah tersebut bukan hanya mengandung ajaran yang relevan dengan hukum materiel kita, yaitu tentang menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, tetapi juga berbicara tentang kesaksian dan memutus perkara yang adalah relevan dengan hukum acara kita.
Selain dari pada itu Allah yang maha adil juga telah berfirman sebagaimana terbaca dalam kitab suci Al Qur’an  Annisa ayat 58 yang berbunyi :
Wa idza hakamtum bainan nass antahkumu bil adli”
Jika kamu akan menjatuhkan hukuman untuk seseorang, jatuhkanlah hukuman yang adil.
Ada tiga rangkaian kata dalam ayat tersebut yang menurut kami patut untuk direnungkan, yaitu“hakamtum” ,antahkumu, dan bil adli”, yang secara harfiah artinya menghakimi, menjatuhkan hukuman, dengan adil.
Ayat tersebut, jelas ditujukan kepada para Hakim sebagai insan penegak hukum dan keadilan, agar kiranya para Hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang dipercayakan kepadanya, benar-benar menjatuhkan putusan dengan adil sesuai dengan irah-irah “demi keadilan berdasarkan KETUHANAN YANG MAHA ESA.”
Kami ingin menutup pembelaan kami dengan menyampaikan kalimat Allah  yang lain yaitu Surat Al-Maidah Ayat 8; Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekalai-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesusungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Berdasar atas segala sesuatu yang kami uraikan diatas, kami mohon agar kiranya majelis Hakim dengan segala kewibawaannya berkenan menjatuhkan putusan sebagi berikut :
-       Menyatakan seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.
-       Membebaskan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq dari segala dakwaan Jaksa Penuntut Umum, atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan hukum.
-       Memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan Terdakwa LHI dari tahanan.
-       Memulihkan harkat, martabat, dan nama baik Terdakwa LHI.
Demikianlah Nota Pembelaan ini kami ajukan, semoga Allah SWT meridhoi kita semua.
Jakarta, 4 Desember,  2013
Hormat kami,
Tim Penasehat Hukum Terdakwa LHI
Mohamad Assegaf
Wirawan Adnan
Agus S.P Otto
Faizal Syahmenan
M. Sholeh Amin
Faudjan Muslim
Iim Abdul Halim
Yudha Ardian
Rahdie Noviadi
Zainudin Paru
Dendy K. Amudi
Sugiyono
Jefferson Dau

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan