Oleh: MOH MAHFUD MD
Jumat, 18 Agustus 2013, pekan lalu
karena harus terbang ke Pontianak dengan penerbangan terpagi, saya harus
melakukan salat subuh di Bandara Soekarno-Hatta.
Saat melakukan salat subuh di Garuda
Lounge, terasa ada tepukan ringan di bahu, pertanda ada
seseorangyangakanikutsalatsebagai makmum. Maka itu, saya
memosisikandirisebagaiimam, salatsubuh berdua dengan orang itu. Setelah salat
dan berdoa sendiri-sendiri, saya tinggalkan musala kecil itu dan duduk di ruang
tunggu sambil meminum teh dan menyarap kue-kue kecil. Tiba-tiba orang yang tadi
bermakmum salat subuh kepada saya bergabung duduk di kursi di depan saya.
”Pak Mahfud saat mengimami salat
subuh kok tidak berkunut? Pak Mahfud, kan orang NU?” tanya orang yang ternyata
mengenal saya itu. Setelah merenung sejenak saya menjawab, ”Karena saya mengira
Bapak orang Muhammadiyah, saya tidak berkunut. Kalau mengimami salat orang
Muhammadiyah, saya tidak berkunut karena tidak ingin memaksa orang ikut
berkunut. Kalau salat di rumah atau di mesjid-mesjid NU, saya selalu berkunut.
”Orang itu kemudian menjawab sambil
tertawa, ”Hahaha, sejak kecil saya selalu berkunut. Saya ini pengikut Tarekat
Syattariyah makanya saya tadi siap berdoa kunut bersama Pak Mahfud.” Kemudian
kami menyamakan permakluman dan pemahaman bahwa saya tak berkunut saat
mengimami salat karena tak mau memaksa orang ikut berkunut terhadap orang yang
tak biasa berkunut. Berkunut atau tidak berkunut salat tetap sah sebab soal
pilihan berkunut atau tidak adalah masalah furu’ yang kecil dalam beribadah.
Orang itu kemudian memperkenalkan
diri sebagai orang yang bernama Refrizal, anggota DPR RI dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Pagi itu, sama dengan saya, Pak Refrizal akan terbang ke
Padang dengan penerbangan pertama sehingga harus bersembahyang subuh di
bandara. Saya sungguh tidak pernah mengira pagi itu saya dapat bertukar cerita
dengan Pak Refrizal tentang apa yang kami alami bersama saat salat subuh itu
dengan mengenang cerita salat subuhnya KH Idham Cholid yang ketua PBNU bersama
Buya HAMKA yang tokoh Muhammadiyah.
Cerita itu sering saya dengar saat
saya masih menjadi mahasiswa di Yogyakarta. Bagaimana ceritanya? Pada suatu
hari Buya HAMKA dan KH Idham Cholid melakukan salat subuh berjamaah dan yang
menjadi imamnya adalah Idham Cholid. Ternyata Idham Cholid tidak membaca doa
kunut sehingga seusai salat HAMKA bertanya, mengapa Pak Idham yang ketua umum
NU tidak berkunut saat mengimami salat subuh.
Apa jawab Idham Cholid? ”Saya tidak
membaca doa kunut karena yang menjadi makmum adalah Pak HAMKA yang tokoh
Muhammadiyah. Saya tak mau memaksa orang yang tak berkunut agar ikut berkunut,”
jawab Idham Cholid. Beberapa hari kemudian giliran Idham Cholid yang menjadi
makmum salat subuh dan HAMKA yang menjadi imamnya. Ternyata saat salat subuh
itu HAMKA membaca doa kunut yang panjang dan fasih. Seusai salat Idham Cholid
pun bertanya, mengapa HAMKA yang tokoh Muhammadiyah berkunut saat mengimami
salat.
”Karena saya mengimami Pak Idham
Cholid, tokoh NU yang biasa berkunut kalau salat subuh. Saya tak mau memaksa
orang yang berkunut untuk tak berkunut,” jawab HAMKA. Cerita tentang salat
subuh berjamaah antara Idham Cholid dan HAMKA sangat berkesan bagi saya sebagai
contoh mulia dalam toleransi dan saling menghargai.
Di masa lalu, dan mungkin masih ada
sampai sekarang, sering terjadi pertengkaran bahkan permusuhan hanya karena
soal-soal kecil antara orang-orang NU dan orangorang Muhammadiyah seperti soal
kunut, melafalkan niat dengan nawaitu atau usalli, tahlilan, ziarah kubur, dan
sebagainya. Padahal itu semua sama sekali tidak menyangkut ihwal prinsip dalam
akidah, tapi hanya menyangkut ihwal yang sunah atau mubah, bukan terkait haram
atau mubah.
Kita bersyukur bahwa pada saat ini,
setelah puluhan tahun HAMKA dan Idham Cholid mencontohkan, pertengkaran dalam
soal-soal furu’ di kalangan muslimin di Indonesia sudah sangat berkurang.
Karena membaiknya pengertian atas masalah-masalah substansi keislaman, sekarang
ini sudah jauh lebih banyak warga NU dan Muhammadiyah yang tidak lagi
bertengkar dalam soal-soal furu’ (cabang kecil).
Mereka sudah bisa melihat dan
menyikapi dengan biasa perbedaan-perbedaan yang remeh-temeh itu. Toleransi
dalam urusan beragama seperti itu sungguh menyejukkan dan bisa membuat kekuatan
besar untuk bersama- sama membangun kemaslahatan umum. Toleransi seperti itu
menjadi penting pula untuk dikuatkan bukan hanya di internal satu agama,
melainkan dalam hubungan antarpemeluk agama yang berbeda.
Indonesia yang Bhinneka Tunggal
Ikainiakan menjadi lebih cepat maju kalau rakyatnya menghayati agamanya dengan
penuh toleran. Beragama dengan benar tentulah menimbulkan kedamaian di hati dan
kerukunan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Kalau Anda merasa tidak damai,
resah, atau marah terhadap orang lain yang berbeda keyakinan dengan Anda sehingga
kita tidak bisa tidur nyenyak, kita salah dalam beragama. ***
*http://www.koran-sindo.com
0 comments:
Post a Comment