Oleh Sapto Waluyo
Tragedi kemanusiaan kembali
terjadi di Mesir pasca-kudeta militer pada awal Juli 2013. Lebih dari 100 orang
tewas dan 4.500 luka-luka, saat pendukung pro-legitimasi berkumpul di lapangan
Masjid Rabiah al-Adawiyah, Naser City (Kompas, 28/7).
Yang mengerikan sebagian besar
mereka tertembak peluru aparat di bagian kepala atau dada. Penembakan terjadi
justru di tengah malam hingga pagi hari, saat pendemo sedang melakukan shalat
tarawih dan mempersiapkan sahur.
Tragedi itu melengkapi
pembantaian yang dilakukan di depan markas Garda Republik, tempat penahanan
Presiden Muhammad Mursi. Sedikitnya 56 tewas dan lebih dari 700 luka-luka (BBC,
8/7). Dinamika politik Mesir mengalami setback, dari fajar demokrasi kembali ke
malam gelap otoriterianisme baru.
Dalam konteks Indonesia yang
masih mengalami transisi panjang sejak reformasi 1998, tragedi Mesir memberi
pelajaran berharga. Perluasan demokratisasi dan pembentukan pemerintahan sipil
yang kuat adalah agenda penting abad 21 (Oxford Manifesto, 1997).
Karena itu, perlu jeli ketika
menyorot dinamika politik di suatu negara. Komentator emosional justru
meruntuhkan argumentasi paling mendasar, bahwa kedaulatan sungguh-sungguh di
tangan rakyat.
Komentar aneh antara lain dilontarkan
Zuhairi Misrawi, analis politik Timur Tengah lewat akun twitternya. Politisi
muda yang mengaku memperjuangkan prinsip demokrasi itu menilai, “Ikhwanul
Muslimin ingin mengesankan kepada dunia senagai ‘korban’. Padahal, mereka telah
memprovokasi militer untuk melakukan tindakan biadab. Jika IM tidak melawan
militer, maka tragedi berdarah itu tidak akan terjadi. Jadi kesalahan tidak
sepenuhnya pada militer.” (@zuhairimisrawi, 28/7)
Betapa naifnya pandangan Zuhairi,
seakan IM menghargai nyawa rakyat begitu murah demi mencapai citra politik yang
dibayangkannya.
Padahal, pimpinan IM tegas
menyatakan, bahwa mereka memperjuangkan pemulihan legitimasi pemerintahan sipil
berdasarkan konstitusi yang telah disetujui mayoritas rakyat dalam referendum
2012. IM tidak bergerak sendiri, tapi bersama kekuatan lain lintas-ideologi
yang bernaung di bawah “National Coalition to Support Legitimacy”.
Lebih jauh Zuhairi menuding, “IM
juga pegang senjata dan bom bunuh diri. Ini yang menyebabkan militer harus
mengambil tindakan keras. Puluhan militer dan rakyat Mesir ditembak dan dibom
oleh IM dalam dua pekan ini. Mesir menuju perang saudara,” (@zuhairimisrawi,
27/7).
Zuhairi menolak istilah
pembantaian karena media Mesir yang dikutipnya menyebut “isytibakat” (bentrok).
Tudingan Zuhairi sungguh tak
berdasar, karena insiden bentrok bersenjata terjadi di kawasan Sinai, kota
el-Arish atau Rafah, yang memang selama ini dikuasai milisi bersenjata tak
dikenal. Mereka tak ada hubungan organisatoris dengan IM. Bahkan, ada dugaan faksi
militer Mesir yang selama ini membina, meski tak sepenuhnya bisa mengendalikan.
Insiden itu justru memperlihatkan salah satu dampak kudeta adalah kerawanan di
daerah perbatasan.
Problematika Demokrasi
Demokrasi menyisakan persoalan
klasik, rakyat mana semestinya yang berdaulat? Rakyat yang ikut pemilihan umum
(apapun pilihan politiknya) ataukah rakyat yang tak memilih alias Golput
(apapun alasannya)?
Apakah rakyat yang mengeluarkan
mosi tidak percaya lewat petisi atau turun ke jalan sama nilainya dengan rakyat
yang datang ke bilik suara?
Pertarungan di kotak suara jelas
lebih terukur untuk menentukan siapa pemenang dan siapa yang berhak memerintah.
Tetapi, jika dua kubu demonstran sedang berhadapan, maka suara siapakah yang
paling menentukan?
Dalam pemilu sekurangnya ada KPU
selaku penyelenggara dan MK sebagai wasit, sedangkan adu kekuatan massa tak
jelas siapa menjadi penengah. Itulah enigma demokrasi, misteri yang sulit
dicerna.
Dalam kerangka problematik itu,
simpulan Zuhairi tentang pergantian rezim di Mesir amat mencengangkan. Sebagai
tokoh muda yang kencang menyuarakan demokrasi justru merayakan kudeta militer
lewat artikel provokatif,
“Ikhwanul Muslimin Tumbang*”
(Kompas, 5/7). Bukan kebetulan, Kompas pada hari sama menulis berita utama,
“Demokrasi Tumbang di Mesir”. Bukankah itu bermakna IM pendukung utama
demokrasi di negeri piramida dan, “mafhum mukhalafah”-nya, kelompok yang
menjatuhkan Mursi adalah anti-demokrasi?
Zuhairi menyatakan Mursi hanya
mementingkan kelompoknya sendiri dan memonopoli jabatan politik dan kantong
ekonomi. Faktanya, Mursi yang mengangkat Menhan Abdul Fattah al-Sisi
(menggantikan Marsekal Hussein Tanthawi, orang kuat Husni Mubarak) dan Ketua MK
Adly Mansour (hakim agama yang sempat menjadi Wakil Ketua MA). Jika tidak
dipromosikan Mursi, maka kedua tokoh itu tak akan tercatat dalam sejarah Mesir
modern. Bukti lain, lima menteri dalam kabinet Mursi menyatakan mundur saat
militer mengultimatum. Berarti mereka bukan loyalis Mursi atau IM.
Lalu, kelompok oposisi ingin
jatah kekuasaan apa lagi?
Mengakhiri Darurat Militer
Tindakan drastik yang dilakukan
Mursi dalam 100 hari pemerintahannya adalah mempercepat pensiun 70 jenderal
loyalis Mubarak bersamaan dengan pencopotan Hussein Thantawi dan Sami Annan
dari posisi Panglima dan Wakil Panglima Angkatan Bersenjata.
Entah hal itukah yang dimaksud
Zuhairi sebagai monopoli, padahal Mursi kemudian mengangkat perwira muda untuk
mulai gerakan reformasi militer Mesir. Selain itu, sesuai konstitusi, Presiden
Mursi berhak mengangkat Gubernur baru. Dari 27 posisi Gubernur, cuma 5 yang
berafiliasi partai, selebihnya kaum profesional.
Figur baru yang menyulut
kontroversi global adalah Gubernur Luxor yang dituduh tokoh Jamaah Islamiyah
dan diduga terlibat dalam insiden penembakan turis asing di kota wisata itu
pada 1997. Tuduhan itu tidak didukung oleh bukti peradilan dan semua orang tahu
Jamaah Islamiyah telah berubah fundamental, menempuh jalur demokrasi-damai dan
menjauhi cara kekerasan.
Kudeta militer saat ini justru
dapat membangkitkan kembali bibit kekerasan yang coba dinetralisir di Mesir
dalam satu dekada terakhir. Jika tokoh oposisi merasa diri mampu menjadi
Gubernur, mereka dapat mengajukan nama dan ikut seleksi, bukan mendukung
kudeta.
Sebenarnya Mursi telah melakukan
gebrakan berupa mobilisasi militer Mesir menguasai kembali Gurun Sinai yang di
masa Mubarak lepas ke tangan Israel. Hampir 70 persen lalulintas udara dan
darat Mesir dulu dikuasai Israel.
Politik cerdas Mursi dicermati
betul PM Israel Benyamin Netanyahu yang mengatakan, “Sikap Mursi jauh lebih
berbahaya daripada nuklir Iran’. Sementara itu pemerintah AS memuji inisiatif
Mursi memfasilitasi gencatan senjata antara Hamas dan Israel, hingga terbukanya
perbatasan Rafah mengakhiri blokade Jalur Gaza.
Militer Mesir memang “the real
actor” dalam politik nasional, namun kini semua prajurit di bawah komando
Panglima Tertinggi (Presiden).
Berdasarkan konstitusi baru, tak
ada lagi kekuasaan Dewan Tinggi Militer (SCAF) yang tak terbatas. Dulu SCAF
punya otoritas untuk membubarkan parlemen, membekukan partai hingga menangkap
tokoh sipil tanpa proses peradilan.
Mursi mengakhiri kezaliman itu
lewat Dekrit yang membuka jalan bagi penetapan konstitusi. Demi menghilangkan
ketergantungan atas bantuan militer AS, Mursi berinteraksi dengan Rusia dan
Jerman. Hasilnya, dalam dua bulan saja telah dikirim dua kapal selam tercanggih
dari Jerman, walau diprotes keras Israel.
Prioritas ekonomi
Alasan lain kudeta militer
disebut Zuhairi karena Mursi mengabaikan pemulihan ekonomi, malah lebih sibuk
mengutak-atik konstitusi yang bernuansa syariah. Benarkah?
Mursi mewarisi kondisi ekonomi
terburuk dalam sejarah Mesir yang ditinggalkan Mubarak. Hutang luar negeri
menumpuk, defisit anggaran mengancam.
Menurut “Strategic Analysis” (The
Henry Jackson Society, 2013), cadangan devisa Mesir menciut dari 13,5 miliar
dolar AS (2010) tinggal 4,8 miliar dolar AS. (2012).
Tahun 2008, ekonomi Mesir masih
tumbuh 7,2 persen. Kemudian turun jadi 4,7 persen (2009), 5 persen (2011), dan
naik sedikit 5,5 persen (2012). Akibat eskalasi politik yang digoyang terus
oposisi, pertumbuhan ekonomi Mesir kini terpuruk 2,2 persen (awal 2013). Angka
inflasi 2012 (7,3 persen) uniknya lebih rendah dari 2011 (11,8 persen).
Karena itu harga sembako relatif
stabil, hanya BBM melonjak. Angka pengangguran meningkat dari 12,06 persen
(2011) menjadi 12,31 persen (2012). Begitu pula angka kemiskinan masih tinggi
(40 persen).
Tak seorangpun sanggup melakukan
keajaiban dalam waktu satu tahun, namun kebijakan ekonomi Mursi jelas-tegas
memprioritaskan kecukupan pangan. Di era Mubarak produksi gandum domestik
dibatasi maksimal 20 persen, sekarang sudah melampaui 60 persen. Dulu Mesir
harus mengimpor gandung ke AS, sedang Mursi mengimpor dari negara yang lebih bersahabat
demi menghemat belanja negara, sambil meningkatkan pendapatan petani lokal.
Sebagai bukti komitmen
pro-kesejahteraan, Mursi menghapus hutang 40.000 petani yang memiliki pinjaman
di bawah 10.000 pounds (Rp 30 Juta). “Bail out” untuk rakyat kecil.
Investasi memang sulit datang di
tengah krisis politik, tapi kunjungan Mursi ke China (Agustus 2012)
menghasilkan perjanjian investasi senilai 4,9 miliar dolar AS. Bersama investor
Korea, Mursi merintis pembangunan pabrik Samsung terbesar di kawasan Arab, di
Provinsi Bani Suwef, agar barang elektronik terjangkau masyarakat.
Pembangunan pabrik otomotif
nasional, komputer, hingga peralatan militer sudah masuk dalam program kabinet
Mursi. Semua rencana itu kini hancur.
Yang paling membuat gerah
sebagian kaum liberal mungkin pengaturan penjualan “khamar” (minuman keras),
meski hal itu sama sekali tidak mengganggu sektor pariwisata.
Ada lagi, pergantian Direksi yang
mengelola Pelabuhan Suez yang di era Mubarak menghasilkan pemasukan sebanyak
5,6 miliar dolar AS per tahun. Mursi menargetkan Suez sebagai hub ekonomi
global dengan penghasilan meningkat 100 miliar dolar AS per tahun. Revitalisasi
Suez mengancam perdagangan di Dubai dan Kuwait, karena itu negara Teluk
mendukung kudeta.
Konstitusi Islam?
Isu menyesatkan seputar
konstitusi baru disebut Misrawi sebagai “konstitusi prematur” dan dituding
meminggirkan hak kaum perempuan dan kelompok minoritas. Bila kita cermati lebih
teliti konstitusi baru itu justru mengakui hak kaum perempuan dan minoritas
yang tak pernah disebut sekalimat pun dalam konstitusi lama produk militer.
Sangat aneh, apakah Zuhairi
betul-betul membaca naskah Konstitusi 2012 atau sekadar mengutip pendapat
komentator Arab? Bandingkan konstitusi itu dengan Dekrit 33 pasal yang
dikeluarkan rezim boneka Adly Mansour, sangat kontradiktif.
Konstitusi baru Mesir disetujui
mayoritas rakyat (71 persen) dalam referendum 2012 menegaskan berakhirnya
kondisi darurat militer selama lima dekade, digantikan sistem presidensialisme
yang dipilih untuk masa 4 tahun.
Pembatasan masa jabatan Presiden
itu dinyatakan dalam pasal 133, sehingga tak ada lagi presiden yang berkuasa
sesukanya. Pergantian pemerintahan dilakukan melalui Pemilu, bukan kudeta.
Secara khusus pasal 232
konstitusi baru Mesir mengisolasi petinggi Partai Nasional Demokrat (yang
berkuasa di era Mubarak) selama 10 tahun. Klausul itu mirip dengan kebijakan
Vaclav Havel ketika menjabat Presiden Ceko di masa transisi (1993-2003). Apakah
konstitusi macam itu yang dikritisi Zuhairi dan lebih menyukai Dekrit darurat?
Akan halnya klausul terkait
syariahi Islam disebut dalam pasal pertama bahwa Mesir adalah “negara sipil”
(bukan teokrasi) yang berdasarkan ajaran Islam Sunni. Dalam penjelasannya
dinyatakan, posisi penting Al Azhar sebagai rujukan untuk merancang regulasi
terkait warga Muslim. Jadi, tak ada yang disebut islamisasi konstitusi, karena
ketentuan itu mirip dengan konstitusi di negara lain (seperti Malaysia yang
menetapkan Islam sebagai agama negara dan Melayu jadi bahasa resmi).
Zuhairi begitu sengit mengecam
“ikhwanisasi Mesir” — sebuah istilah yang absurd, karena tak ada dalam dokumen
organisasi IM atau “Freedom and Justice Party” sebagai sayap politik, apalagi
kebijakan resmi Presiden Mursi.
Zuhairi lupa sikap terbuka
Muhammad Badie (Mursyid Aam IM) yang pada hari terpilihnya Mursi dalam Pilpres
putaran kedua menandaskan: “Hari ini rakyat Mesir memilih pemimpin baru. Saya,
tak terkecuali, sebagai warga negara Mesir tunduk kepada kepemimpinan baru yang
dipilih rakyat.” Sejak itu, Mursi melepaskan tugas sebagai pimpinan FJP dan
Maktab Irsyad IM (Ikhwan Web, 30 Juni 2012).
Ironisnya, Zuhairi kehilangan
kritisisme tatkala menyinggung aksi kelompok Tamarrud (pembangkang), padahal
itu mirip gejala awal Talibanisme. Kelompok yang tidak puas dengan pemerintahan
sah, malah berkolaborasi dengan unsur militer menempuh jalan ilegal. Akan
halnya, pengaruh asing dalam kejatuhan Mursi cukup disimak kritik keras dari
Dr. Aidh al-Qarni, dai yang disegani di Timur Tengah, atas dukungan Kerajaan
Saudi dan Emirat Arab untuk aksi militer.
Demokrasi sebagai sistem politik
modern mengandung janji dan misteri. Ada faktor substansi (kedaulatan rakyat),
ada pula aspek prosedur (penyelenggara, peserta dan pengawas pemilu serta
pemutus perkara jika terjadi sengketa).
Daulat individu akan berbaur
dengan legitimasi kolektif. Prinsip “one man, one vote, one value” tidak
membedakan seorang jenderal yang memimpin pasukan besar, seorang pengusaha yang
memiliki aset dan pegawai melimpah, seorang ulama/pendeta yang memimpin lembaga
berpengaruh, dengan rakyat jelata (penjual martabak atau kopi di pinggir kota
Kairo), semua punya hak/kewajiban sama.
Para jenderal, konglomerat dan
sebagian ulama itu mendukung kudeta dan membatalkan putusan rakyat dalam kotak
suara.
Demokrasi mempersilakan mantan
loyalis rezim masa lalu untuk bertarung memperebutkan suara setelah masa
“iddah” politik, asalkan mereka terbukti tidak melanggar hukum/HAM. Demokrasi
juga memberi peluang bagi pihak yang kalah dalam pemilu untuk beroposisi dan
berdemonstrasi. Tapi, demokrat sejati tak membiarkan militer merampas
legitimasi demi membentuk rezim boneka.
Sejumlah aktivis dan tokoh
independen hadir dalam demonstrasi pro-legitimasi pasca-kudeta, karena mereka
percaya konstitusi 2012 dan kebebasan sipil merupakan keniscayaan. Mereka
terkejut dengan sikap Presiden interim Adly Mansour yang memberangus kebebasan,
menangkap politisi tanpa peradilan, membredel media independen. Bahkan, Menhan
Abdel Fattah el-Sisi yang jelas lebih berkuasa dari Presiden Adly, secara
terbuka memobilisasi demonstran dan menembaki rakyat sendiri.
Jika rakyat Mesir telah memilih
perubahan fundamental untuk mengakhiri dominasi militer, mengapa kaum demokrat
dan liberal di negeri ini (termasuk Zuhairi) masih menyangsikannya. Padahal,
Mesir adalah negara pertama yang mengakui Kemerdekaan RI tahun 1945 dan tokoh
IM menjadi pelopor pembentukan Front Pembela Kemerdekaan Indonesia.
Jauh sebelum Zuhairi lahir, kaum
Islamis telah menunjukkan komitmen dan kontribusinya untuk pembebasan negeri
terjajah. Pengorbanan yang disaksikan dunia saat ini demi tegaknya legitimasi
pemerintahan sipil hasil demokrasi yang beradab. (*)
* Direktur Eksekutif “Center for
Indonesia Reform” (CIR), alumni Hubungan Internasional Fisip Universitas
Airlangga (Unair) dan S2-S3 di Rajaratnam School of International Studies
(RSIS) Nanyang Technological University (NTU) Singapura.
0 comments:
Post a Comment