Friday, 27 February 2015

Mengawal Pilkada Serentak


Research Associate Poltracking, mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia
KITA patut bersyukur bahwa polemik dan perdebatan panjang mengenai pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak telah menghasilkan banyak perbaikan. UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah sudah direvisi DPR (Jawa Pos, 25/2).

Salah satu poin penting dalam revisi UU tersebut adalah memutuskan pilkada serentak digelar dalam beberapa tahap. Tahap pertamaberlangsung Desember 2015. Tahap itu diperuntukkan bagi wilayah dengan masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada 2015 hingga semester pertama 2016.
Tahap kedua, pilkada serentak digelar Februari 2017. Tahap itu diperuntukkan bagi masa jabatan kepala daerah yang berakhir pada semester kedua 2016 dan 2017. Untuk tahap ketiga, pilkada serentak dihelat pada Juni 2018 di semua wilayah dengan akhir masa jabatan 2018 dan 2019. Pengaturan tahap tersebut bertujuan supaya pilkada serentak seluruh Indonesia bisa terlaksana pada 2027.
Selain itu, poin penting dalam revisi UU tersebut adalah pilkada berlangsung hanya satu putaran; pencalonan menggunakan sistem paket (kepala daerah dan wakil); syarat dukungan penduduk calon perseorangan ditingkatkan menjadi 3,5 persen; tidak ada ambang batas kemenangan; adanya pelarangan politik dinasti; sengketa pilkada masih ditangani Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum adanya peradilan khusus pada 2027; dan uji publik dihapus.
Sebagaimana diungkapkan dalam kolom Jati Diri Jawa Pos (25/2), dari regulasi undang-undang tersebut, sesungguhnya sudah ada nuansa efisiensi tenaga dan anggaran pelaksanaan pilkada serta upaya mencegah nepotisme dalam pemerintahan. Pasalnya, pilkada yang hanya berlangsung satu putaran serta secara serentak akan sangat menghemat biaya. Begitu pula, ketegangan yang tercipta tidak akan berkepanjangan hingga dua putaran seperti yang sering terjadi.
Meski demikian, menurut penulis, justru karena pilkada berlangsung satu putaran dan secara serentak itulah potensi konflik sekaligus pelanggaran sangat besar. Dengan diberlakukannya pilkada secara serentak, TNI-Polri akan kewalahan bila konflik juga terjadi secara serentak. Sebab, jika dibandingkan dengan pilpres dan pileg, pilkada merupakan pesta demokrasi yang paling rawan menimbulkan konflik. Apalagi saat ini masih terdapat dua partai –Partai Golkar dan PPP– yang memiliki kepengurusan ganda.
Bila hal tersebut tidak segera diselesaikan, potensi konflik dalam pilkada tidak hanya terjadi antarkandidat yang berbeda partai, tapi sesama kader di partai yang sama. Begitu pula, dengan diberlakukannya pilkada satu putaran, setiap kandidat pasti berusaha semaksimal-maksimalnya dan mengerahkan seluruh energi untuk bisa menang. Pada titik inilah, tidak tertutup kemungkinan segala cara akan ditempuh, termasuk cara-cara kotor dan culas.
Tentu, bila dipetakan, kecurangan dalam pilkada sesungguhnya dapat dibagi dua, yakni kecurangan saat pilkada dan kecurangan pra-pilkada. Kecurangan saat pilkada dimulai ketika sang kandidat sudah ditetapkan KPU sebagai peserta (kandidat) pilkada dan berlangsung hingga pemungutan suara. Dalam hal ini, kecurangan bisa berupa kampanye hitam, politik uang, intimidasi, hingga manipulasi hasil perolehan suara.
Namun, yang kerap luput dari pantauan adalah kecurangan pra-pilkada. Sebagaimana pernah diungkapkan Prof Mahfud MD (2012) dalam sebuah kuliah umum, ada beberapa modus kecurangan pra-pilkada. Pertama, praktik kecurangan yang hanya melibatkan kontestan atau orang yang bertarung. Misalnya, bagi calon perorangan, untuk mengumpulkan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai salah satu syarat, ternyata KTP-nya diambil dari bank, bukan dari dukungan yang bersangkutan.
Kedua, kecurangan yang melibatkan penyelenggara negara seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU). Misalnya, KPU memaksakan orang yang tidak memenuhi syarat diikutkan dalam pilkada. Atau sebaliknya, orang yang memenuhi syarat dicoret atau didiskualifikasi. Kecurangan tersebut berhubungan dengan hukum acara di MK. Jika kepesertaan seorang calon dibatalkan, orang tersebut tidak memenuhi syarat dalam kedudukan hukum untuk beperkara.
Karena itu, untuk mengantisipasi berbagai potensi kecurangan tersebut, dibutuhkan pengawasan ekstra supaya pesta demokrasi di tingkat lokal yang berlangsung secara serentak kali ini dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tentu, tugas pengawasan tidak boleh diserahkan hanya kepada Bawaslu semata. Publik luas juga harus ikut memantau pilkada supaya dapat berjalan dengan jujur dan adil serta terhindar dari segala praktik kecurangan.
UU Pilkada yang baru itu diharapkan bisa dijadikan alat untuk memperbaiki tatanan demokrasi supaya lebih baik. Jangan sampai ada pihak-pihak yang masih saja ’’bermain’’ dengan mencari kelemahan UU tersebut untuk berbuat culas. Tentu, faktor utama agar pilkada nanti bisa berjalan seperti yang diharapkan sangat bergantung pada penyelenggara pemerintah dan rakyat. Sebagus apa pun konsep dan aturan yang dibuat tidak menjamin pelaksanaan pilkada akan jauh lebih baik.
Sebab, aturan dan UU hanya sebuah alat dan regulasi. Bagaimanapun, sukses tidaknya pilkada serentak nanti sangat bergantung pada aktor-aktor di dalamnya, termasuk sumbangsih masyarakat luas untuk senantiasa mengawasi sekaligus mengawal jalannya demokrasi di tingkat lokal itu.
Sebab, seperti kata Samuel P. Huntington (1997), sebagai negara demokrasi baru, Indonesia saat ini dapat dikatakan sukses melalui fase krisis transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Kesuksesan demokrasi kita saat ini tentu jangan sampai ternodai praktik-praktik kecurangan dan keculasan dalam pilkada. Semoga. (*)

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons | Re-Design by PKS Piyungan