Akhir 2014 rakyat dibuat bingung dengan kenaikan harga
BBM yang awalnya 6500 menjadi 8500, kini awal tahun 2015 Pemerintah kembali membuat
kebijakan fenomenal dengan menurunkan BBM dari yang semula 8500 menjadi 7500
per liter.
Pertanyaannya, benarkah BBM turun?
Bagi orang yang cerdas akan menilai bahwa apa yang
dilakukan pemerintah sesungguhnya sedang membodohi rakyatnya sendiri dengan
mengatakan BBM Turun, padahal aslinya tetap saja naik. Seharusnya kata yang
tepat mewakili itu adalah Pemerintahan Jokowi meralat kenaikan harga BBM,
bahasa sederhananya, tidak jadi naik 2000 melainkan naik 1000.
Permainan kata memang luar biasa dahsyat, ia seperti
kemasan makanan yang bisa menentukan image dari sebuah produk, entah produk itu
baik atau buruk ketika kemasannya menarik maka pasti diminati orang banyak, itu
pula yang saat ini terjadi di negeri ini, kemasan kata untuk membungkus citra
memiliki pengaruh yang sangat besar mengambil simpati rakyat.
Zamannya SBY ketika Jakarta lumpuh karena jalanan penuh
air hujan dikatakan Jakarta Banjir tapi sekarang era Pemerintahan Jokowi
walaupun debit airnya sama tapi media hanya mengatakan Jakarta digenangi air. Tentu
bahasa banjir dan digenangi bermakna berbeda, pembaca tahu sendirilah bedanya,
namun demikian sebenarnya maksudnya sama hanya saja cara mengarahkan pendengar
yang berbeda sehingga terkesan antara banjir dan digenangi itu beda!
Kembali ke laptop, dampak dari kenaikan BBM (sekali lagi bukan turun) telah berimbas pada kebutuhan hidup
masyarakat mulai dari sembako, transport bahkan pulsa menjadi naik, tidak
pernah ada rumus setelah naik akan turun kembali, apalagi wacana lain seperti
listrik dan LPG akan ikut naik, entah apalagi yang akan menyusul. Yang pasti
sebagai rakyat berharap kepada Pemerintah agar tidak menaikkan itu semua tapi
kalau terpaksa harus naik, apa boleh buat rakyat dituntut untuk bisa memutar
otak agar bisa bertahan hidup. So.. jangan menyerah. (Erf)
0 comments:
Post a Comment