Seperti menyelesaikan sebuah puzzle, pada sebuah permainan di suatu dauroh, kami dibuat melingkar berkelompok, masing-masing anggota menjulurkan tangannya ke depan. Kemudian kami diperintahkan agar saling memegang tangan dengan anggota kelompok yang lain. Setelah itu diperintahkan untuk membentuk sebuah lingkaran, dengan tanpa melepaskan pegangan yang sudah terjalin. Dengan susah payah, akhirnya lingkaran itu terbentuk juga.
Setelah itu kami diminta untuk membuat lingkaran serupa, tetapi dilakukan sambil memejamkan mata. Bedanya, kali ini dipandu dengan instruksi, tangan anggota kelompok nomor sekian dipasangkan dengan anggota nomor sekian secara urut, tidak lagi acak seperti sebelumnya. Meski dilakukan dalam kondisi mata terpejam, lingkaran bisa terbentuk juga.
Pada permainan ke dua, untuk membentuk lingkaran dalam kondisi mata terpejam, tentunya lebih sulit dilakukan daripada pada permainan pertama. Berada dalam kondisi bisa melihat, meski dilakukan secara spontan, acak dan tanpa keteraturan, tugas tetap bisa diselesaikan. Berbeda ketika harus menyelesaikannya dalam kondisi keterbatasan, mata terpejam, tanpa bisa melihat sekeliling. Tetapi arahan dari instruktur yang memandu membuat tugas bisa diselesaikan.
Tak selalu lapang, kadang dihadapkan pada kondisi sempit penuh keterbatasan. Tak selalu mudah, kadang harus melewati keadaan sulit. Pada kondisi bebas pada permainan pertama, spontanitas tanpa terarah sudah memadai untuk terselesaikannya permainan. Tetapi dalam kondisi ada keterbatasan, tidak memadai lagi jika dikerjakan tanpa terorganisir atau tanpa adanya arahan sistematis.
Demikian pula lingkaran halaqah ini, pada awalnya begitu mudah untuk berkembang, terbentuk halaqah-halaqah baru, mendapatkan teman-teman baru. Sampai kemudian merasakan kondisi menjadi stagnan, jangankan untuk terus menambah dan berkembang, untuk mempertahankan yang sudah ada saja terasa berat, ada saja problematikanya.
Menempuh metode dan cara seperti dulu, sepertinya sudah tumpul tidak memadai. Semakin terasa lelah menempuh perjalanan, beban semakin terasa. Merasakan kondisi yang tak seperti dulu, tantangan yang dihadapi telah berbeda. Sebaliknya, kekuatan tak lagi utuh sebagaimana sedia kala.
Perjalanan kian jauh, saat ada tuntutan untuk berjalan lebih cepat. Sebaliknya, energi kian melemah, kian renta, dan lelah. Saat inilah diperlukannya suatu siasat yang berbeda. Fisik akan menua dan melemah, tetapi jiwa bisa tetap terjaga. Menyiasati keterbatasan, membutuhkan strategi yang lebih. Menyiasati kelelahan dalam berjalan, membutuhkan kendaraan untuk menopang perjalanan.
Perjalanan halaqah ini, makin dewasa, makin besar pula tuntutan dan tanggung jawabnya. Tak bisa lagi hanya berkumpul dan bersenang-senang seperti masa anak-anak sedang bermain. Beranjak dewasa, bersama meningkatnya tuntutan untuk mandiri, bahkan saatnya harus menanggung beban orang lain, menghadapi tingkatan ujian yang lebih tinggi.
Bukan hanya untuk tumbuh dan tumbuh, tibalah waktunya untuk berhadapan dengan dunia dan tantangannya. Bukan hanya untuk melenggang, tetapi mesti jua menyibak tantangannya. Masa persiapan telah berlalu, tiba saatnya menjalani pertarungan.
Mewujudkan agenda-agenda dakwah, pasti akan bersinggungan dengan problematika dunia yang tak sederhana. Tak lagi bisa mengandalkan spontanitas, tak hanya asal-asalan. Dibutuhkan langkah yang terarah, terukur dan profesional. Menghadapi keterbatasan diperlukan siasat, membutuhkan terobosan yang sesuai dengan tantangan dan bahkan ketika harus menyiasati kemustahilan.
Kerasnya dunia dengan semua intrik dan tipu dayanya, menyisihkan orang-orang yang lalai, sekalipun kekuatan mereka besar, hanya menjadi bulan-bulanan tak berdaya, terpedaya, terpecundangi, tanpa bisa berbuat apa.
Sebuah episode yang menuntut adanya usaha untuk merajut suatu upaya yang sebaik-baiknya, dengan upaya untuk meraih pertolongan Allah.
Setelah itu kami diminta untuk membuat lingkaran serupa, tetapi dilakukan sambil memejamkan mata. Bedanya, kali ini dipandu dengan instruksi, tangan anggota kelompok nomor sekian dipasangkan dengan anggota nomor sekian secara urut, tidak lagi acak seperti sebelumnya. Meski dilakukan dalam kondisi mata terpejam, lingkaran bisa terbentuk juga.
Pada permainan ke dua, untuk membentuk lingkaran dalam kondisi mata terpejam, tentunya lebih sulit dilakukan daripada pada permainan pertama. Berada dalam kondisi bisa melihat, meski dilakukan secara spontan, acak dan tanpa keteraturan, tugas tetap bisa diselesaikan. Berbeda ketika harus menyelesaikannya dalam kondisi keterbatasan, mata terpejam, tanpa bisa melihat sekeliling. Tetapi arahan dari instruktur yang memandu membuat tugas bisa diselesaikan.
Tak selalu lapang, kadang dihadapkan pada kondisi sempit penuh keterbatasan. Tak selalu mudah, kadang harus melewati keadaan sulit. Pada kondisi bebas pada permainan pertama, spontanitas tanpa terarah sudah memadai untuk terselesaikannya permainan. Tetapi dalam kondisi ada keterbatasan, tidak memadai lagi jika dikerjakan tanpa terorganisir atau tanpa adanya arahan sistematis.
Demikian pula lingkaran halaqah ini, pada awalnya begitu mudah untuk berkembang, terbentuk halaqah-halaqah baru, mendapatkan teman-teman baru. Sampai kemudian merasakan kondisi menjadi stagnan, jangankan untuk terus menambah dan berkembang, untuk mempertahankan yang sudah ada saja terasa berat, ada saja problematikanya.
Menempuh metode dan cara seperti dulu, sepertinya sudah tumpul tidak memadai. Semakin terasa lelah menempuh perjalanan, beban semakin terasa. Merasakan kondisi yang tak seperti dulu, tantangan yang dihadapi telah berbeda. Sebaliknya, kekuatan tak lagi utuh sebagaimana sedia kala.
Perjalanan kian jauh, saat ada tuntutan untuk berjalan lebih cepat. Sebaliknya, energi kian melemah, kian renta, dan lelah. Saat inilah diperlukannya suatu siasat yang berbeda. Fisik akan menua dan melemah, tetapi jiwa bisa tetap terjaga. Menyiasati keterbatasan, membutuhkan strategi yang lebih. Menyiasati kelelahan dalam berjalan, membutuhkan kendaraan untuk menopang perjalanan.
Perjalanan halaqah ini, makin dewasa, makin besar pula tuntutan dan tanggung jawabnya. Tak bisa lagi hanya berkumpul dan bersenang-senang seperti masa anak-anak sedang bermain. Beranjak dewasa, bersama meningkatnya tuntutan untuk mandiri, bahkan saatnya harus menanggung beban orang lain, menghadapi tingkatan ujian yang lebih tinggi.
Bukan hanya untuk tumbuh dan tumbuh, tibalah waktunya untuk berhadapan dengan dunia dan tantangannya. Bukan hanya untuk melenggang, tetapi mesti jua menyibak tantangannya. Masa persiapan telah berlalu, tiba saatnya menjalani pertarungan.
Mewujudkan agenda-agenda dakwah, pasti akan bersinggungan dengan problematika dunia yang tak sederhana. Tak lagi bisa mengandalkan spontanitas, tak hanya asal-asalan. Dibutuhkan langkah yang terarah, terukur dan profesional. Menghadapi keterbatasan diperlukan siasat, membutuhkan terobosan yang sesuai dengan tantangan dan bahkan ketika harus menyiasati kemustahilan.
Kerasnya dunia dengan semua intrik dan tipu dayanya, menyisihkan orang-orang yang lalai, sekalipun kekuatan mereka besar, hanya menjadi bulan-bulanan tak berdaya, terpedaya, terpecundangi, tanpa bisa berbuat apa.
Sebuah episode yang menuntut adanya usaha untuk merajut suatu upaya yang sebaik-baiknya, dengan upaya untuk meraih pertolongan Allah.
Muhamad Fauzi
Dakwatuna.com
0 comments:
Post a Comment